Kajian Lontar Wrhaspati Tattwa
I Pendahuluan
Wrhaspati
Tattwa adalah
sebuah lontar yang tergolong tua usianya. Lontar ini menguraikan ajaran tentang
kebenaran tertinggi yang bersifat Siwastik yang diuraikan secara sistematik. Wrhaspati Tattwa terdiri dari 74
pasal/sloka yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Bahasa
Sansekertanya disusun dalam bentuk sloka dan Bahasa Jawa Kunonya disusun dalam
bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan atau penjelasan
bahasa Sansekertanya. Lontar Wrhaspati
Tattwa merupakan sebuah lontar mengandung ajaran samkya dan yoga. Bagian
yang mengajarkan pembentukan alam semesta beserta isinya mengikuti ajaran samkya dan bagian yang mengajarkan etika
pengendalian diri mengambil ajaran yoga.
Secara
etimologi Vrhaspati tattwa berasal
dari kata “Whraspati” dan “Tattwa”, pengertian Wrhaspati adalah nama
seorang bhagawan di sorga,,hal ini
sesuai dengan yang terdapat dalam Wrhaspati
Tattwa Sloka 1 yang berbunyi sebagai berikut:
Irikang kala bana sira wiku ring
swarga
Bhagawad Whraspati
ngaran ira
Terjemahannya:
Pada
saat itu ada seorang petapa di sorga bernama Wrhaspati, Ia datang dan memuja Hyang
Iswara ( Putra dkk, 1998 : 1 ).
Kemudian menurut Watra (2007 : 1) Tatwa berasal dari bahasa sansekerta. Tattwa memiliki berbagai pengertian
seperti : kebenaran, kenyataan, hakekat hidup, sifat kodrati, dan segala
sesuatu yang bersumber dari kebenaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa Wrhaspati
Tattwa berarti ajaran kebenaran atau hakekat kebenaran dharma dari Bhagawan
Wrhaspati.
Wrhaspati Tattwa berisi dialog antara
seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang
Iswara dengan seorang sisya
beliau yaitu Bhagawan Wrhaspati. Iswara dalam konsep pengider-ider di Bali adalah Dewa yang menempati arah timur. Iswara tidak lain adalah aspek dari Siwa sendiri. Di dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan bahwa Hyang Iswara berstana di puncak Gunung
Kailasa yang merupakan puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci
yang merupakan sebagai guru dunia (guru
loka) berkedudukan di Sorga. Dalam dialog tersebut, Sang Hyang Iswara mencoba menjelaskan kebenaran tertinggi tentang Siwa kepada Bhagawan Wrhaspati dengan metode tanya jawab.
Ajarannya ini diterjemahkan dalam 74
sloka berbahasa Sansekerta yang di terjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno. Wrhaspati Tattwa merupakan naskah jawa
kuno yang bersifat realistis. Di dalam menyajikan ajarannya dirangkum dalam
suatu mitologi yang tujuannya untuk mempermudah ajaranitu dimengerti.Mengingat
ajaran filsafat atau Tattwa yang
tinggi seperti ini memang sulit untuk dimengerti
II. Pembahasan
2.1 Karma Wasana
Wasana
artinya perbuatan yang dilakukan
oleh manusia di dunia ini. Ia menerima hasil perbuatannya itu pada kelahirannya
yang baru, apakah hasilnya itu baik atau buruk. Perbuatan apapun yang dilakukan
olehnya, pada akhirnya pasti akan menghasilkan buah. Seperti halnya periuk yang
berisi hinggu (getah damar) walaupun
hinggu itu telah habis dan periuk itu telah di gosok dan cuci, baunya tetap
tercium, karena bau itu tetap melekat pada periuk. Inilah yang dinamakan vasana. Demikian halnya dengan wasana perbuatan (Karma Wasana). Vasana itu ada dalam atman, ia melekat padanya. Ia
menodai atau mewarnai atman itu. Atman yang ternoda disebut Raga. Jadi Wasana menghasilkan Raga (Putra
dkk, 1998 : 4).
Oleh karena itu setiap perbuatan orang akan membuahkan Karma Wasana. Wasana yang telah mewarnai atman
akan menghasilkan Karma Wasana dan Karman. Keduanya itu kemudian membawa
kelahiran yang berbeda-beda (Misalnya yang mempunyai sifat dewa) melahirkan
dewa (devayoni), vidhyadhara (vidhyadhara yoni, raksasa (raksasayoni), daitya
(daityayoni), naga (nagayoni).
Sangat banyak yoni yang terjadi, yang
merupakan sumber kelahiran. Oleh karena itu dalam fisik yoni-yoni itu berbeda-beda. Adapun yang diperbuat oleh pikiran pada
yoni yang terdahulu, ia merupakan keinginan. Keinginan ini merupakan karma yang terjadi terus menerus.
Apabila yang dilakukan itu suatu perbuatan jahat, maka atman akan terlempar ke neraka, di mana ia akan mengalami
bermacam-macam siksaan. Bila akibat dari perbuatan jahat itu telah berakhir,
maka atman akan lahir menjadi
binatang yang rendah. Sebaliknya bila perbuatannya baik, ia akan lahir di surga
dan mengalami bermacam-macam kenikmatan. Setelah masa yang menyenangkan itu
berakhir ia akan lahir sebagai putra raja atau orang yang hidup makmur. Ia
dapat ilmu yang tinggi. (Putra, 1998 : 4).
Dapat dijumpai juga seperti orang buta yang tidak mengetahui
wujud gajah yang sesungguhnya, demikian juga manusia itu diliputi oleh
kebingungan, kemabukan itulah sebagai kegelapannya. Tattwa itu umpama gajah yang dianggap sebagai kepala, gading,
belalai, perut, kaki dan ekor. Ilmu pengetahuan dan sastra itu banyak adanya
yang dikembangkan oleh Sang Hyang Wisesa,
itulah yang menjadikan bingung dan terlena, saling tindih-menindih, tidak tahu
mana yang mulia mana yang utama, tidak tahu mana atas dan mana bawah, tidak
tahu kurang dan lebih, tidak tahu pergi dan datang. Pikiran yang demikian itu
disebut bingung yang tidak akan berhasil mencapai tujuan.
2.2 Cetana dan Acetana
Tattwa itu yaitu Cetana dan Acetana. Cetana yaitu pengetahuan (jnanasvabhava), tidak terpengaruh oleh
ketidak-sadaran dan bersifat abadi (nitya),
artinya tetap kokoh, tidak dapat disembunyikan. Itulah yang disebut dengan Cetana. Begitu pula dengan Acetana yang berarti tanpa pengetahuan,
ibarat batu. Itulah yang dinamakan Acetana.
Jika Cetana dan Acetana bertemu maka akan lahirlah
seluruh Tattwa yaitu Tattwa asal (Pradhana Tattwa), Triguna
Tattwa, Budhhi Tattwa, Ahangkara Tattwa, Bhayendriya Tattwa, Karmendriaya
Tattwa, Pancamahabhuta Tattwa. Ada tiga bentuk Cetana yaitu Paramaiswa
Tattwa, Sadasiwa Tattwa dan Siwa Tattwa (Putra dkk, 1998 : 9).
2.2.1 Paramasiwa Tattwa
Penjelasan tentang Paramasiwa Tattwa disampaikan dalam
sloka 7 sampai sloka 10 yang berbunyi :
Aprameya bhatara, tan pangen-angenan, apa
hetu, ri kadadinyan ananta, tan pahingan, anirdesyam, tan patuduhan, ri
kadadinyan tan palaksana, anaupamyam, tatan papada, ri kadadinyan tan hana pada
nira juga, anamayam, tatan keneng lara, ri kadadinyan alilang, suksma ta sira
sarwagata, kehibekan tikang rat denira, sahananya kabeh, nityomideng sadakala,
ri kadadinya n tan pasangkan, dhruwam, menget ta sira, ri kadadinyan tan polah,
umideng, sadakala, awyayam, tatan palwang, ri kadadinyan pariprna, Isvara ta
sira, Isvara ngaranya ri kadadinya n prabhu ta sira, sira ta pramana tan
kapramanan, nihan yang paramasivatattva ngaranya.
Nihan yang
sadasivatattva ngaranya, I sor ning paramasivatattva.
Terjemahan:
Iswara tidak dapat di ukur, tidak
berciri, tidak dapat dibandingkan, tidak tercemar, tidak tampak, ada
dimana-mana, abadi, tetap, tidak berkurang (sloka 7). Ia tidak dapat diukur
dalam arti tanpa akhir. Ia tidak berciri karena ia tidak mempunyai cirri. Ia
tidak dapat dibandingkan, karena tidak ada yang lain seperti Dia. Ia tidak
tercemar, karena ia tidak bernoda (sloka 8).
Ia tidak tampak karena ia tidak bisa
dilihat. Ia ada di mana-mana, karena ia ada dalam segala benda. Ia abadi karena
ia tidak berbentuk. Ia tetap karena ia tidak bergerak (sloka 9).
Ia
tidak berkurang karena ia tetap utuh. Ia tetap tenang Sivatattwa ini meliputi
seluruhnya (sloka 10)
Tuhan
tidak dapat dibayangkan, apremaya. Karena
bersifat ananta yaitu tidka terbatas.
anirdesyam berarti tidak dapat diberi
batasan karena ia mempunyai ciri. anaupamya
artinya tidak dapat dibandingkan, karena tidak ada yang menyamainya. Anamaya artinya tidak terkena penyakit
atau sakit karena Ia suci. Ia suksma karena
Ia tidak dilihat. Ia sarvagata karena
Ia ada dalam segalanya, Ia memenuhi seluruh jagat raya. Ia dhruva
yaitu kokoh, karena Ia tidak bergerak, tetap stabil. Ia avyaya yaitu Ia tidak pernah berkurang, karena Ia selalu utuh. Ia
adalah Iswara. Ia disebut Iswara karena ia sebagai guru. Ia
mengatur seluruhnya, namun tidak di atur (oleh siapa-siapa). Inilah yang
dinamakan Paramasiwa Tattwa.
Sekarang kujelaskan apa yang disebut
Sadasiwa Tattwa yang lebih rendah
daripada Paramasiwa Tattwa. (Putra
dkk, 1998 : 9-10).
2.2.2 Sadasiwa Tattwa
Penjelasan tentang Sadasiwa Tattwa disampaikan dalam sloka
11 sampai sloka 13 yang berbunyi :
Sawyaparah,
bhatara sadasiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira, aparan ikang
padmasana ngaranya sakti nira, sakti ngaranya, vibhusakti, prabhusakti,
jnanasakti, kriyasakti, nahan yang cadusakti.
Terjemahan
:
Sadasiwa aktif, berguna, bersinar, terdiri dari unsur kesadaran,
mempunyai kedudukan dan sifta-sifat. Ia memenuhi segalanya. Ia di puja karena
tanpa bentuk ( sloka 11).
Ia
maha pencipta, pelebur, pengasih, bersinar, abadi, maha tahu, dan ada di
mana-mana (sloka 12).
Bagi
orang yang tak punya tempat berlindung, Ia merupakan saudara, ibu dan ayah. Ia
merupakan penawar dari segala rasa sakit dan membebaskan manusia dari ikatan
tumimbal lahir. (sloka 13)
Padmasana sebagai tempat duduk Beliau, sakti-Nya meliputi: Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Disebut
Cadu Sakti yaitu empat kemahakuasaan Sang
Hyang Widhi. (Putra dkk, 1998 : 10-11).
1.4 Mayasira Tattwa, Maya Tattwa dan Pradhana Tattwa
Wibhu Sakti,
Beliau menciptakan dunia seluruhnya. Prabhu Sakti artinya beliau tanpa
tandingan di seluruh dunia. Cadu Sakti
adalah bunga Teratai yang
bernyala-nyala di tengahnya, tempat berstananya Bhatara pada saat Beliau berwujud. Adapun guna Beliau adalah Durasrawana artinya Beliau mampu
mendengar suara yang jauh dan dekat. Durasarwajnana
artinya Beliau mengetahui pikiran yang jauh mampu dekat. Duradarsana artinya Beliau melihat yang jauh maupun dekat. Anima, laghima, mahima, prapti, prakamya,
isitwa, yatrakamawasayitwa merupakan bagian-bagian dari astaiswarya yang merupakan sifat
Bhatara. Mayasira Tatwa tempat Sang Hyang Astawidyasana
seperti : Ananta, suksma, Siwatama,
Ekarudra, Ekanetra, Trimurti, Srikantha, Sikhandi. Di bawah Mayasira Tattwa adalah sunya sebagai badannya acetana,
sama dengan Siwa Tattwa, tetapi
bersifat acetana, itulah
kerendahannya dari Siwa Tattwa.
Pradhana Tattwa, wujud besar maya, sunya acetana sebagai badannya. Dipertemukan Atma Tattwa dengan Pradhana
Tattwa oleh Bhatara, maka atma yang
dalam keadaan acetana menjadi hilang
atau lupa. Digerakkannya Pradhana Tattwa
melahirkan Triguna Tattwa yaitu Sattwam, Rajah, Tamah. Pikiran yang
serba ringan dan jernih disebut satwa,
pikiran yang cepat gerakannya disebut dengan rajah, dan pikiran yang gelap-gelap disebut dengan tamah. Pikiran yang menyebabkan atma
menikmati sorga, jatuh ke neraka, menjadi binatang, lahir sebagai manusia dan
mencapai moksa atau kelepasan. Prilaku yang sungguh-sungguh jujur dan kokoh, ia
mengetahui perbedaan antara sesuatu dan batas-batasnya, ia memahami Iswara Tattwa, pandai lah ia, manis
tutur katanya dan indah badannya itu semua merupakan ciri-ciri pikiran Sattwika. Prilaku bengis, pemarah dan
menakutkan, congkak, suka memperkosa, panas hati, lobha, melakukan perbuatan
kasar dengan tangan, melakukan perbuatan kasar dengan kaki, berkata-kata kasar,
merupakan cirri-ciri dari pikiran Rajah.
Pikiran dihinggapi rasa takut, lelah tidak suci, suka mengantuk, cenderung
untuk berkata bohong, ingin membunuh, tidak hati-hati dan murung merupakan
cirri-ciri dari Tamah.
Apabila ketiga unsur itu sama, maka kita akan lahir sebagai manusia,
karena ketiga unsur itu memenuhi keinginan, masing-masing rajah berkata: “saya mau
berbuat jahat”. Sattwa menghalangi.
Tamah berkata: “Saya lelah dan tidak ingin berbuat apa-apa”. Rajah membuat kita bergerak. Sattwa
bersama rajah berkata: “Saya ingin berbuat baik”. Maka dicegah
oleh tamah. Demikian kerja ketiga
sifat itun silih berganti. Karena itu atman
tidak berbuat baik maupun buruk. Namun apabila atman berbuat baik dan buruk karena pengaruh ketiga sifat itu maka
kita akan lahir sebagi manusia. Sang Hyang Widhi telah memperhatikan antara
surga dan neraka merupakan tempat pensucian atman.
Apapun yang dikerjakan dalam kelahiran sebagai manusia, Sang Hyang Widhi
memperhatikannya, oleh karena Ia menjadi saksi dari segala perbuatan manusia
baik maupun buruk.
Apabila Tamah yang lebih
besar mempengaruhi pikiran maka akan menyebabkan atma menjadi binatang. Ada lima jenis binatang, seperti: pasu, mrga, paksi, sarisrpa, mina. Pasu adalah binatang piaraan di desa,
seperti: sapi, maka akan menyebabkan atma menjadi binatang. Mrga adalah jenis binatang yang ada di
dalam hutan. Paksi adalah segala
jenis binatang burung yang dapat terbang. Sarisrpa
adalah segala jenis binatang yang bergerak dengan dadanya. Mina adalah semua jenis binatang yang ada di dalam air. Dari Triguna buddhi, buddhi banyak jenisnya, antara lain: dharma, jnana, wairagya, aiswarya. Adapun kebalikannya yaitu adharma, ajnana, awairagya, anaiswarya yang
di sebut dengan pancawiparya.
1. Dharma
Perbuatan
mulia, yajna, tapa, dana punia, meninggalkan keluarga dan hidup dari sedekah,
yoga, inilah yang disebut dharma. Sila artinya melakukan perbuatan yang
baik. Yajna artinya melaksanakan
pemujaan api, tapa artinya menjadi
viku yang melakukan tapa-brata. Bhiku
artinya seorang yang didiksita, yoga
artinya mekukan meditasi. Itulah
beberapa cirri dharma.
2. Jnana
Pengindraan
langsung, menarik kesimpulan, ajaran-ajaran agama dari orang yang telah
mempelajarinya, inilah tiga cara untuk memperoleh pengetahuan. Demikianlah
orang yang mengetahui tentang tiga pramana, yaitu: pratyaksa, anumana, agama. Pratyaksa
artinya sesuatu yang dapat dilihat atau diraba. Anumana artinya seperti asap yang terlihat dari jauh, menandakan
adanya api (api itu sendiri tidak tampak). Inilah yang disebut anumana. Agama artinya ajaran para guru. Orang yang mengetahui ketiga
pramana ini, pratyaksa, anumana dan agama
disebut dengan istilah samyag-jnana.
3. Vairagya
Ketidak-terikatan
terhadap kesenangan, baik yang dilihat maupun yang didengar, pada badan yang
sehat dinamakan vairagya.
Ketidak-senangan kepada yoga tidak
berarti ketidak-terikatan (arti sebenarnya adalah orang yang tidak senang
kepada yoga bukan yogin melainkan
orang yang menganut vairagya). Ada
kesenangan dari yang dilihat seperti halnya raja yang berkuasa, ada kesenangan
dari yang didengar, seperti kahyangan yaitu tempat para Dewa. Kesenangan
seperti itu, yang dilihat maupun yang didengar tidak diinginkannya. Bahkan
menjadi rajapun ia tidak ingin. Lepas dari keinginan seperti itu dinamakan vairagya.
Aiswarya
Bhoga
artinya segala yang dimakan dan diminum. Upabhoga artinya segala yang dipakai.
Paribhoga punya istri dan pembantu. Orang yang memiliki semua itu aiswarya.
Adharma artinya buddhi yang tidak terlekati oleh dharma.
Ajnana artinya buddhi yang tidak terlekati oleh anumana, agama,
dan pratyaksa. Awairaragya artinya
keinginan buddhi yang tenggelam pada
sesuatu yang bernilai nista, madya, dan utama (rendah, sedang, dan tinggi). Anaiswarya artinya pikiran yang
terlekati oleh bhoga, upabhoga dan paribhoga.
Orang
yang memiliki samyagjnana
(pengetahuan sempurna), ia adalah orang yang utama, karena ia mencapai moksa
tidak terlahirkan kembali, memiliki empat kekuasaan (cadu sakti), ia disebut telah sampai pada janmawasana (penjelmaan) terakhir, berpulang ke dunianya Siwa, cetananya (kesadarannya) manunggal
denngan Bhatara.
Orang
yang telah mencapai wairagya
(ketidakterikatan), ia kembali ke dunia prakerti, bagaikan enaknya tidur tanpa
mimpi-mimpi, demikianlah kesenangan dan kebahagiaan yang ditemukan olehnya. Ia
kemudian menjadi Dewata. Demikian pahala dari wairagya.
Bhagya adalah perilaku budhi yang selalu senang, kendati pun tidak
menemukan kesenangan, katanya: “Ah, (barangkali) tidak ada perbuatan baikku
dahulu, sehingga tidak memperoleh kesenangan sekarang, sebab itu (aku)
mengusahakan perbuatan baik, agar tidak begini pada penjelmaan berikutnya”. Tusti juga namanya. Dengan tidak
berusaha keras, tetapi menunggu sebentar, maka akan datanga kemudian, disebut
juga tusti. Demikianlah jenis-jenis tusti yang dapat menghambat pengetahuannya karena perilakunya
senantiasa senang. Inilah yang disebut astasiddhi.
Dana
artinya orang yang mampu memberi. Adhyayana
artinya orang yang mampu mempelajari kitab suci. Tarka artinya pengetahuan untuk menafsirkan dengan tidak keliru
disebut bahyasiddi (kemampuan
jasmani).
Yang
disebut adhyatmikasiddhi (kemampuan
rohani). Orang yang mampu melenyapkan duhka
telu (tiga kesengsaraaan): adhyatmika
duhka, adhidaiwika duhka, adhibautika duhka. Adhyatmika duhka adalah sakit
yang berasal dari pikiran. Adhidaiwika
duhka adalah sakit karena disambar petir, gila, epilepsy, kerasukan roh
halus, dan semua jenis sakit yang dating dari Dewa. Adhibautika duhka adalah sakit karena kerasukan roh, dikenai ilmu
hitam, teluh, dan segala jenis sakit yang berasal dari bhuta. Orang yang
uttamasiddhi adalah Sang Yogiswara yang telah mencapai gunanima yang utama.
Panca Tam Matra
Ada
angin kencang, butir-butir angin itu terasa meresap pada kulit, itulah yang
disebut dengan sparsatanmatra. ada
yang disebut petang, setelah matahari terbenam, ada cahayanya berbekas,
butir-butir cahaya yang tampak itu,
itulah yang disebut rupatanmatra.
Yang disebut rasatanmatra adalah yang
dimakan terasa manis atau pahit, adapun butir-butir rasa yang dirasakan itu
tidak segera hilang ia berbekas pada lidah, ada sisanya yang tertinggal, itulah
rasatanmatra namanya. Gandhatanmatra yaitu ada kayu cendana
yang dibakar, butir-butir baunya yang dicium itulah yang disebut gandhatanmatra. Demikianlah yang disebut
pancatanmatra.
Panca Maha Bhuta
Dari
pancatanmatra lahir panca maha bhuta
yakni ether (akasa) lahir dari sabdatanmatra. Angin (vayu) lahir dari sparsatanmatra. Cahaya (teja)
lahir dari gandhatanmatra. Apah (air) lahir dari rasatanmatra. Prtiwi (tanah) lahir dari Gandhatanmatra.
Itulah yang disebut pancamahabhuta.
Berwujud nyata dapat dilihat dan dipegang. Demikianlah sifat seluruh
Tattwa-tattwa di atas menyusupi tattwa di bawahnya.
Sadrasa
Adapun
rasa itu enam jenisnya antara lain: lawana, amla, katuka, tikta, kasaya,
madhura. Lawana artinya asin. Amla artinya asam. Katuka artinya pedas. Kasaya
artinya sepet. Madhura artinya manis. Tikta artinya pahit. Demikianlah yang
disebut sadrasa (rasa yang enam).
Asentriya
Srotendriya terletak pada telingga. Twagindrriya terletak pada kulit,
menyebabkan atma merasakan panas dan
dingin fungsinya. Caksurindriya
terletak pada mata, menyebabkan atma
melihat rupa dan warna fungsinya. Jihwendriya
terletak pada lidah, menyebabkan atma
dapat merasakan rasa yang enam fungsinya. Granendriya terletak pada hidung,
menyebabkan atma dapat berfungsi
mencium bau busuk dan harum. Wagindriya
terletak pada tangan, menyebabbkan atma
dapat mengambil atau memegang fungsinya. Padendriya
terletak pada kaki, menyebabkan atma
dapat bejalan fungsinya. Payuindriya
terletak pada dubur, menyebabkan atma
dapat berak, pletus fungsinya. Upasthendriya
terletak pada venis dan vagina, menyebabkan atma
dapat kencing dan mengeluarkan sukla dan swanita fungsinya. Demikianlah prihal dasendriya dalam badan.
Badan
itu diumpamakan hiasannya kereta. Perbuatan baik dan buruk ibarat dunia, yang
berputar antara sorga dan ]neraka yang disebut “cakraning gilingan” (roda yang selalu berputar pada sumbunya). Atma ibarat lembu yang menarik kereta.
Bhatara Iswara sebagai sais, menyuruh lembu itu menarik kereta, tidak mau ia
tidak melaksanakan pertintah, karena itu pelayan yang seorang akan kepayahan.
Nadi dalam Badan
Ada
sepuluh nadi besar, seperti : ida,
pinggala, sumsumna, gandhari, hasti, jihwa, pusa, alambusa, kuhu, sangkhini,
itulah (kesepuluh) nadi besar itu. Ida
adalah tenggorokan kanan. Pinggala
adalah tenggorokan kiri. Sumsumna
adalah tenggorokan tengah.
Dasa Wayu
Semua
nadi itu sama-sama berisi wayu (daya hidup), sepuluh banyaknya yaitu :prana, apana, udana, wyana, naga, kurma,
krkara, dewadtta, dhananjaya. Adapun penjelasan sebagai berikut:
Daya
hidup yang disebut prana ada pada
mulut dan hidung, fungsinya untuk bernafas, pada dada bawahnya, ia menggerakkan
daya hidup (wayu) seluruhnya.
Samana berada
pada hati, fungsinya di sana mengolah sari-sari yang dimakan menjadi empedu.
Udana berada
pada ubun-ubun, fungsinya di sana adalah membuat berkedipnya mata dan
berkerutnya dahi serta menumbuhkan rambut.
Wyana ada pada seluruh persendian,
fungsinya disana menjadikan berjalan, melambat, memegang, menggerakkan semua
persendian pada badan dan membuat lupa, marah dan usia tua.
Naga fungsinya
menyemburkan. Daya hidup si kurma
membuat gemetar. Sedangkan daya hidup yang disebut membuat besin, Dewadata membuat menguap, Dhananjaya membuat suara. Inilah yang
disebut dengan Dasa wahyu.
Apabila kita pengikatnya, itu
sebabnya atma dengan damai mengembara
ke dunia lain, mana yang disebut dengan dunia lain adalah Pancapada (lima dunia0 yang mana merupakan stananya atma pada saat berwujud.
Ada
yang disebut Jagrapada, swapnapada,
susuptapada, turyapada dan turyantapada. Pada adalah dunia atau tempat
berstananya atma yang lima jumlahnya,
karena itu disebut pancapada. Jagrapada artinya terjadi, tiada
terhingga keterjagaannya, saat demikian atma
menjadi jelas terlihat dan dapat dirasakan. Adapun Swapnapada adalah tidak
jelas bagaikan maya (bayangan) yang ada dalam air, bila tenang airnya maka akan
tampaklah bayangannya, bila bergolak airnya maka bayangannya itu tidak jelas
dilihat. Demikian atma itu tidak akan
jelas, karena segala pada (stana) sama dengan atma. Sang Taijasa
namanya bila demikian. Apabila dalam susuptapada, tatkala tidur nyenyak,
keadaan sepi itu, tidak berkesadaran, nirwana, nisprakamya, tak tmpak dan tidak
terpikirkan susuptapada itu. Demikianlah atma hilang kesadarannya bercampur
dengan acetana, tidak berkesadaran, lupa sebagai sifatnya.
1.15 Hakekat
Ketuhanan
Bhagawan
Wrhaspati berkata : katanya : “atma yang ada dalam jagrapada, dalam tidur
lenyap (kesadarannya), lupa ia pada dunia seluruhnya, tidur itu bagaikan mati,
karena wiparit (berlawanan dengan hidup), kemungkinan sungguh terus mati,
lenyap tidak bangun lagi, karena hilng kesadaran dan atma itu.
Itulah
sebabnya pikiran itu tiak patut dianggap utama (wisesa). Adapun yang utama
(wisesa) adalah lupa, karena tidak mengalami suka duka. Bukanlah tidak ada,
tidak ada bdan Beliau, tidak patut itu dikatakan Bhatara, karena tidak ada
ukuran yang dapat menjelaskan. Itulah yang disebut utama, karena apabila ada
Bhatara (tampak) dapat kau tangkap (pegang), dan terkena penderitaan. Apabila
dianggap tidak ada (maya) seperti pendapatmu, mungkinkah ada dunia seluruhnya,
demikian juga jiwamu? Itulah tujuan pancawayu (lima jenis daya hidup) itu
diajarkan tadi, itulah sebagai pengikat atma, yang menyebabkan orang yang tidur
tidak terus mati.
1.16 Penegasan
tentang Sifat Ilmu Pengetahuan Kesunyatan
Dua
pengertian dimaksud adalah tahu dan dikehendki. Bila ada tahu, ada diketahui.
Itu sebabnya ada tiga perbedaan (tingkatan) cetana yang telah disebutkan di
depan, yaitu sebagai penyempurnaan yang dahulu, sebagai penguat semua Tattwa
seperti : Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, Siwa Tattwa. Inilah sarana untuk
menemukan Sang Hyang Wisesa (Hyang Widhi) yang merupakan tujuan utama.
1.17 Tiga Sarana
untuk Mencapai Kelepasan
Tiga macam
sarana yang harus dikerjakan oleh orang yang ingin mencapai kelepasan, antara
lain : Jnanabhyudreka, Indriyayogamarga, Trsnadosaksaya. Ketiganya itu patut
dikerjakan.
1.18 Sadangga Yoga
Adapun Sang
Yogiswara, beliau mengikuti Sang Hyang Prayogasandhi, oleh karena Sang Hyang
Wisesa tiada berciri-ciri, tidak dapat dibayangkan dalam wujud real, sulit
untuk dikatakan, itulah sebabnya ada tiga pramana, antara lain : gurutah,
sastratah dan swatah. Gurutah adalah ajaran yang diberikan oleh guru. Sastratah
adalah ajaran yang diperoleh melalui alat sastra (Kitab Suci). Swatah artinya
melalui dirinya sendiri menemukan Sang Hyang Wisesa. Inilah yang disebut yoga,
enam jenis yoga yang disebut sadanggayoga. Adapun yang disebut sadanggayoga,
alat bagi orang yang ingin menemukan Sang Hyang Wisesa. Pratyaharayoga,
dhyanayoga, pranayamayoga, dharanayoga, samadhiyoga, itulah yang disebut
sadanggayoga. Adapun penjelasan dari masing-masing bagian tersebut antara lain:
Seluruh
indriya ditarik dari obyeknya dan citta, buddhi dan manah tidak diberikan
mengembara, dijaga oleh citta yang suci. Itulah yang disebut dengan
pratyaharayoga. Pikiran yang tidak mendua, tidak berubah, tetap suci , tenang
senantiasa tidak terhalang. Itulah yang disebut dhyanayoga. Tutup semua lubang
(yang ada dalam tubuh), seperti : mata, hidung, mulut, telinga. Udara yang
telah dihisap tadi, itu dikeluarkan melalui ubun-ubun. Dan dapat dikeluarkan
melalui hidung, namun dengan cara perlahan-lahan uadara dikeluarkan. Itulah
yang disebut pranayamayoga. Ada suara omkara (AUM) terletak dihati, itulah
harus dikuasai dan tidak terdengar lagi tatkala melakukan yoga, itulah yang
disebut dharanayoga.
Sang Hyang Paramartha, tidak ada suara dan
sama-sama bersih adanya. Itulah yang disebut dengan tarkayoga.
Catur kalpa berarti tahu dan
diketahui, pengetahuan dan mengetahui, itulah yang disebut catur kalpa. Semua
itu tidak ada pada Sang Yogiswara. Itulah yang disebut samadhiyoga.
Demikianlah yang disebut
sadanggayoga, sebagai pengetahuan Sang Pendeta, sehingga ditemukan Sang Hyang
Wisesa. Sifat keyogiswaraan demikian dijaga oleh dasasila.
1.19
Dasa Sila
Ahimsa, Brahmacarya, Satya,
Awyawaharika, Astainya, Akrodha, Guru Susrusa, Sauca, aharalaghawa, Apramada.
Usahakanlah jiwa itu sebagai alat untuk melaksanakan yoga samadhi untuk
mencapai Sadhana. Yang disebut sadhana adalah yogamarga-jalan yoga-sebagai
dasar adalah dasasila. Dasasila itu membangunkan yoga, hal itu disebut menepati
dan ditempati. Jagrapada dipertemukan dengan turyapada. Disitulah ada
saptangga, saptagni dan saptamrta. Inilah yang disebut Saptangga.
Tanah (prthiwi), air (apah), cahaya
(teja), udara (wayu), ether (akasa), akal (budhi) dan pikiran (manah) itulah
yang disebut saptangga. Yang disebut saptagni. Adapun bagian-bagiannya yakni:
Ghrata artinya alat penciuman, Rasayita artinya alat perasa enam jenis rasa.drasta
artinya alat penglihatan, Sprasta artinya yang digunakan merasakan sentuhan.
Srota artinya alat pendengar. Manta artinya alat untuk berpikir. Bodha artinya
alat untuk mengetahui. Itulah yang disebut Saptagni. Jenis-jenis Tattwa yang
sepatutnya diketahui oleh Sang Yogiswara, sehingga dapat membakar kekotoran
yang ada dalam badannya. Inilah yang disebut Saptamrta. Adapun bagian-bagiannya
sebagai berikut:
Suara didengar, Sentuhan dirasakan,
Bentuk dilihat, Rasa dikecap, Bau dicium, Gagasan dipertimbangkan dan
Pengetahuan dipelajari. Inilah yang disebut Saptamrta. Usahakanlah semua itu,
kesemuanya dan kamawasana itu diketahui oleh Sang Yogiswara.
1.20
Siwagni
Segala derita Sang Yogiswara dan
seluruh wasana dibakar oleh Bhatara dalam apinya Siwa. Setelah karma wasana itu
musnah, maka tidak bergerak, teguh samadhinya. Itu sebabnya Sang Yogiswara
bersifat “cintamani” apa yang dikehendakinya datang, apa yang diinginkan
terjadi.
1.21
Astaiswarya
Sesungguhnya, dicapailah sifat-sifat
Astaiswarya itu oleh beliau. Astaiswarya tersebut adalah: laghima, mahima,
prapti, prakamya, isitwa, wasitwa yatrakamawasayitwa.
Demikian juga Sang Yogiswara keluar
masuk di bumi, tidak terhalang langkah-langkahnya, lalu lenyap badannya. Itulah
yang disebut anima.
Mula-mula badan beliau berat,
kemuadian ringan sebagai kapuk, mampu mengelilingi bulatan bumi, tercapailah
keinginan dan tujuan beliau. Itulah laghima namanya.
Beliau pergi ke tempat lain, dipuja,
disembah karena beliau adalah perwujudan penghormatan. Itulah mahima namanya.
Setiap yang dikehendaki oleh Sang
Yogiswara, akan segala sesuatu, dari karma wasananya sebagai pahalanya adalah
kesenangan pada beliau, disitulah kesenengan itu dinikmati atau tiada terhalang
oleh buah perbuatan baik, itu prapti namanya.
Ia dapat mengalahkan Sang Hyang
Brahma, Wisnu, Indra, Surya di istananya, apalagi Para Dewata. Karena Sang
Hyang Widhi Yang Maha Agung ada pada Sang Yogiswara, itu karena Beliau mampu
mengungguli para Dewata seluruhnya. Itulah yang disebut isitwa.
Beliau dapat memerintahkan para
Dewata, karena beliau yang memiliki dunia seluruhnya. Itulah wasitwa namanya.
Pada
saat demikian perwujudannya. Beliau dapat menghukum Dewa, Manusia, binatang,
setiap yang berani pada Beliau. Itulah yang disebut yatrakamawasayitwa.
Demikianlah yang disebut Astaiswarya yang kesemuanya merupakan pahala dari
sifat dan perilaku
1.22
Hambatan Dalam Yoga
Bila pemusatan pikiran sang Pendeta
(Yogiswara) tajam, maka terbakarlah Tattwa yang ada dibawah Pradhana Tattwa, Samapai dengan Triguna Tattwa, terbakar oleh Samadhi
(pemusatan pikiran) beliau. Semua itu adalah sahabat – sahabatnya sattwa. Inilah sahabat – sahabatnya rajah : ada seperti diayun – ayunkan
badan beliau dirasakan tatkala beryoga, diangkat – angkat, ditekan badan
beliau, dilemparkan badan beliau, digoyang – goyangkan, dibakar dan ringan.
Semua itu adalah sahabat rajah.
Inilah sahabat – sahabat tamah : ada seperti menjadi badan besar
badan beliau tattkala beliau beryoga, berat badannya, dingin, kemasukan roh
badannya, ada gelap, ada kebingungan, lupa,
menjadilah sifat cetananya.
Itulah sahabat – sahabatnya tamah.
Bila demikian sahabat yang ditemukan oleh beliau pada saat beryoga, waspadalah
beliau, membuat obat – obatan luar. Itulah sebabnya badannya dilepaskan, dengan
pengetahuannya yakni obat luar. Bebaskanlah dari badan pada saat samadhi, jangan memikirkan badan, jangan
merasakan dan memikirkan sesuatu dalam badan, karena hal itu sengsara namanya.
Itulah perilaku untuk mencapai kelepasan. Inilah Wrhaspati Tattwa.
II.
Kajian Ajaran - ajaran Inti Siva Siddhanta Yang Terkandung Dalam Kitab Wrhaspati Tattwa
Ajaran Siva Siddhanta di Bali sebagai sebuah kristalisasi dari semua paksa
yang pernah berkembang di Bali memiliki sumber – sumber ajaran salah satu
sumber ajarannya adalah Wrhaspati Tatwa.
Wrhaspati Tattwa sebagai pustaka suci
tradisional Bali memiliki nilai – nilai suci yang sarat dengan religius ajaran
siwa (siwaistik). Siwaistik adalah sebuah personifikasi
azas yang disebut Siwa-Sakti. Siwa adalah simbol Purusa atau Iswara atau
disimbolkan dengan kiblat Timur warna putih. Sakti adalah simbol Prakerti yang disimbolkan juga sebagai
kiblat utara warna hitam. Siwa-sakti
inilah pasangan dewata yang paling dimuliakan oleh penganut paham Siwa (Yasa, dkk, 2008:31).
Dari pemaparan diatas terkait dengan
ajaran – ajaran inti Siva Siddhanta
yang terkandung dalam Wrhaspati Tattwa,
secara garis besar dapat penulis kaji nilai – nilai ajarannya sebagai berikut :
Wrhaspati
Tattwa menyebutkan bahwa ada dua element tertinggi yang menjadi sumber adanya
segala sesuatu yakni Cetana dan Acetana. Cetana merupakan unsur
kesadaran (consciousnees) yang
terdiri atas Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa
Tattwa dan Siwa Tattwa dan acetana merupakan unsur ketidaksadaran (unconsciousnees). Cetana telu yakni tiga tingkat kesadaran. Paramasiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadasiwa menengah dan Siwatma terendah. Tinggi rendahnya
tingkat kesadaran tergantung pada frekuensi pengaruh maya ( , 2006 :7 ;
Pudja, 1983 : 7).
Sanghyang Widhi Paramasiwa adalah kesadaran tertinggi yang terbebas dari belenggu maya, karena itu Ia disebut nirguna brahman. Paramasiwa yang
kesadarannya mulai tersentuh oleh maya.
Pada saat itu Ia mulai tersentuh oleh sakti, guna dan swabhawaNya yang
merupakan hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Sadasiwa. Ia disimbulkan dengan bunga teratai sebagai stanaNya. Ia
digambarkan dalam mantra AUM (OM) denga Iswara
(I) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai
muka (TA), Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alat – alat
rahasia, Sadyojata (SA) sebagai
badan. Dewa Sakti, guna dan swabhawaNya, Ia aktif menciptakan segalanya karena
itu, Ia disebut Saguna brahman ( , 2006 : 8).
Pada tingkat Siwatma Tatwa, saki guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena
dipengaruhi maya. Karena itu, Siwatma Tattwa
disebut juga Mayasira Tattwa.
Bilamana pengaruh maya sudah demikian
besarnya terhadap Siwatma menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi
avidya. Apabila kesadarannya terpecah
– pecah dan menjiwai semua mahkluk hidup termasuk manusia didalamnya maka Ia
disebut Atma atau Jiwatma ( ,2006
: 8).
Meskipun Atma
merupakan bagian dari Sanghyang Widhi (Siwa),
namun karena adanya pengaruh maya (Pradhana Tattwa), maka Ia tidak
menyadari asalnya. Hal inilah yang menyebabkan Atma mengalami sorga-neraka-samsara secara berulang – ulang.
Reinkarnasi atma bergantung pada karma wasananya. Atma akan bersatu dengan
asalnya apabila semua selaras dengan ajaran Catur
Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama dan Astasiddhi. Untuk mengakhiri lingkaran reinkarnasi itu hendaknya
menyadari hakekat Tuhan dalam dirinya. Melalui cara mempelajari tattwa (jnanabhjindreka), tidak tenggelam dalam
kesenangan hawa nafsu (indriya-yogamarga)
dan tidak terikat pada pahala – pahala perbuatan baik atau perbuatan buruk (trsnadosaksaya). Sebagai persyaratan
untuk memperoleh kelepasan atau moksa. Selain itu, Wrhaspati Tattwa Tunggal tersebut yakni melalui pemusatan pikiran pada Brahman melalui enam
tahapannya yang disebut Sadanggayoga,
karena yoga dapat hakekatnya didasari dan dibangun oleh Dasasila. Bilamana dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran
– ajaran tadi, maka atma akan tetap berada dalam lingkaran samsara atau reinkarnasi (----, 2006:9)
PENUTUP
Kesimpulan
Wrhaspati
Tattwa termasuk
kedalam salah satu pustaka suci yang didalamnya terkandung nilai – nilai ajaran
suci yang sarat dengan religius tentang ajaran kebenaran tertinggi yakni Siwa (Siwaistik). Sumber ajaran ini
merupakan hasil dialog antara Bhatara
Siwa dengan Bhagawan Wrhaspati
mengenai cetana dan acetana sebagai pasangan-beroposisi
yakni Siwa-Sakti, Siwa-Maya, vidya-avidya,
siang-malam, suka-duka dsb.
Wrhaspati
Tattwa mengajarkan cara untuk mencapai kelepasan atau kebebasan dari ikatan
keduniawian melalui Sadanggayoga
yakni enam jalan menghubungkan diri denganNya yang dilandasi atas etika
moralitas disebut dengan Dasa Yama Brata
terdiri dari Yama dan Niyama Brata. Naskah ini juga
mengajarkan menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri.
Dengan mempelajari segala tattwa (jnanabhjindreka), tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriya-yogamarga) dan tidak terikat
pada pahala – pahala perbuatan baik atau perbuatan buruk (trsnadosaksaya). Sebagai persyaratan untuk memperoleh kelepasan
atau moksa. Berkenaan dengan itu juga, harapan penulis dalam tulisan ini
dikemukakan berdasarkan pertimbangan berikut. Perbuatan bukanlah kebaikan,
apabila makna (kebaikan) teks Wrhaspati
Tattwa dibiarkan berhenti pada terminal normatif, tanpa membawanya ke
wilayah aplikatif, kedalam dunia fenomena (manusia). Artinya kebaikan itu lebih
sebagai bukti daripada menjadi saksi. Perbuatan bukanlah kebaikan, jikalau
manusia hanya baik dalam pikiran dan tidak dalam tindakan. Swami Rama menegaskan bahwa pelaksanaan
dalam bentuk perbuatan lebih baik daripada meyimpannya dalam bentuk pengetahuan
hapalan yang hanya eksis dalam pikiran dan ucapan. Hal itu selaras dengan
filsafat tindakan bahwa tindakan tanpa pengetahuan akan berbahaya dan
sebaliknya pengetahuan tanpa tindakan akan sia – sia. Jadi, antara pengetahuan
dengan tindakan harus seimbang adanya. Inilah semangat utama yang mengalirkan
tulisan ini hendak memasuki wilayah – wilayah dunia praksis kehidupan.
Daftar Pustaka
Pudja, G, dkk. 1983. Tatwa
Darsana. TKP : Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Buddha
Departemen Agama
Anonim. 2006. Siwatattwa.
Bangli : Pemerintah Kabupaten Bangli
Yasa, I Wayan Suka, dkk. 2008. Siwaratri
(Wacana Perburuan Spiritual Dulu dan Kini). Denpasar : Fakultas Ilmu Agama
UNHI Bekerjasama Dengan Penerbit Widya Dharma
Putra,
I.G.A.G dkk. 1998. Wrhaspati Tattwa.
Surabaya : Paramita.
Tim
Penyusun. 2003. Siwa Tattwa. Denpasar
: Pemerintah Prov. Bali Kegiatan Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan
Beragama.
Watra, I
Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu (
Tattwa I). Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar