Pages

Sabtu, 27 Desember 2014

SKRIPSI AJARAN SIWASITIS DALAM TEKS TUTUR BAGUS DYARSA (Kajian Filosofis)

SKRIPSI

AJARAN SIWAISTIS DALAM TEKS TUTUR BAGUS DYARSA
(Kajian Filosofis)









KOMANG BUDIARSANA











FAKULTAS BRAHMA WIDYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015



BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Agama Hindu merupakan agama yang bersifat universal dan merupakan agama tertua dari semua agama yang masih ada. Budaya-budaya tua seperti Inca, Maya, Aztec dan lain-lain, memiliki usia ribuan tahun, tetapi tidak satupun dari budaya-budaya tersebut yang masih hidup sampai sekarang. Semuanya telah lenyap dan didokumentasikan dalam sejarah serta peninggalan-peninggalan artifak yang dapat kita jumpai sekarang. Berbeda halnya dengan peradaban Veda, tradisi dan prakteknya yang kita lihat sekarang ini telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu. Sejarahnya telah tercatat dengan baik di dalam Purana-Purana dan banyak diantaranya yang belum diteliti oleh para ahli sejarah. Sebagai kebudayaan tertua, kebudayaan Hindu menyebar keseluruh dunia termasuk ke Indonesia, salah satu bukti penyebaran kebudayaan Hindu ke Indonesia ditandai dengan adanya kerajaan-kerajaan Hindu yang pernah berkuasa seperti kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan lain-lain. Seiring perkembangan zaman dan masuknya pengaruh-pengaruh budaya luar perkembangan agama Hindu di Indonesia meredup, akan tetapi Bali sebagai satu-satunya pulau di indonesia yang masih mayoritas penduduknya adalah beragama Hindu. Menurut Wiana (2004) menjelaskan bahwa pulau Bali merupakan pulau yang sangat populer dimanca negara. Bahkan konon lebih populer dari nama Indonesia. Orang-orang asing pun memberikan bermacam-macam julukan. Ada yang menyebut pulau seribu pura, ada yang menyebutkan sorga terakhir, dan lain lain. Terkenalnya pulau Bali di mancanegara tidak terlepas dari kebudayaan yang dimiliki masyarakat Bali selain tradisi-tradisi tradisional yang unik, masyarakat Bali juga memiliki karya sastara tradisional dalam bentuk Lontar.
Lontar merupakan sebuah karya sastra yang mengandung makna brupa pesan-pesan yang ingin disampaikan orang yang membuat lontar (Sang Pengawi) kepada pembaca. Selain itu lontar merupakan kesusastraan Bali Purwa yang mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini, nilai-nilai tersebut dapat dianggap sebagai unsur-unsur budaya asli atau cermin dari pola kehidupan tradisional pendukungnya. Contohnya: Geguritan, Kekawin dan Kidung. Lontar-lontar yang terdapat di Bali sebagian besar berbahasa Jawa Kuna dan hurufnya adalah huruf Bali, disamping itu, ada juga beberapa lontar yang berbahasa Bali dengan huruf Bali. Seni karya sastra klasik dalam bentuk lontar selain mengandung pesan-pesan luhur kepada pembaca juga memiliki peranan yang sangat penting yaitu untuk mempertahankan bahasa daerah Bali mengingat bahasa daerah merupakan bahasa yang dipergunakan sehari-hari dalam berkomunikasi. Umat Hindu di Bali dalam menjalankan kehidupannya tidak hanya berpatokan pada kitab-kitab suci Hindu akan tetapi banyak karya-karya sastra tradisional (susastra Hindu) yang dijadiakan patokan dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karya-karya sastra tradisional ini sumber ajarannya tidak terlepas dari Veda sebagai kitab suci uamat Hindu. Intisari ajaran Veda dijadikan karya sastra dalam bentuk lontar untuk lebih mudah memahami ajaran Veda di Bali pada zaman dahulu. Salah satu contoh uamat Hindu dalam menjalankan kehidupan berpatokan pada lontar adalah pada saat bercocok tanam dikebun, harus menentukan hari baik kapan menanam biji-bijian, pohon berbuku, dan lain-lain, itu termuat dalam lontar Wariga dan memang memberikan hasil yang optimal apabila itu dilaksanakan dengan baik. Selain contoh diatas karya susastra Hindu klasik yang berupa lontar memiliki nilai-nilai kehidupan yang sangat relevan apabila di jalankan pada kehidupan masa kini, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam lontar-lontar masih kurang dipahami masyarakat Hindu khusunya di Bali. Perkembangan zaman dan budaya instan menjadi pengaruh terkikisnya kesadaran masyarakat Hindu di Bali dalam menggali makna dari lontar-lontar yang ada di Bali. Feneomena di masyarakat, lontar bagi masyarakat Hindu sanagat dikeramatkan sehingga masih banyak lontar-lontar yang belum terjamah, padahal nilai-nilai yang terkandung dalam lontar-lontar itu sangat penting untuk diketahui generasi muda saat ini supaya tidak terjadi degaradasi moral dan etika. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai ajaran Siwaistis yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyrsa. Teks Bagus Dyarsa tergolong kedalam teks tutur yang juga disebut Purwagamasasana bersumber dari kitab Smerti (Dharmasastra). Smerti sebagai Dharmasastra bersifat suplemen atau pelengkap dalam melengkapi keterangan pada kitab Sruti Titib (dalam Suweta, 2012: 1-2). Teks Tutur Bagus Dyarsa merupakan teks berpaham Siwaistis. Ajaran Siwa tertuang dalam wejangan-wejangan Bhatara Guru dengan Bagus Dyarsa yang perlu untuk diketahui dan dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini. keunikan dari teks ini yaitu diceritakan bahwa seorang pebotoh atau pejudi bernama Bagus Dyarsa dapat mencapai sorga tanpa lahir kedunia ini, pebotoh atau pejudi dapat dikatakan memiliki konotasi yang negatif dikalangan masyarakat, karena seseorang yang menekuni hal tersebut hanya mengisi kesenangan duniawi saja. berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam makna-makna yang terkadung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa. Karya sastra klasik berupa lontar merupakan warisan budaya Hindu yang memiliki nilai sangat luhur. Sehingga dengan meningkatkan minat para peneliti lontar dalam mengkaji isi sebuah lontar susastra Hindu klasik, merupakan tindakan apresiasi yang positif terhadap jerih payah para pendahulu umat Hindu dalam mengajarkan nilai-nilai luhur kepada generasi berikutnya. Sehingga diharapkan dengan pengkajian-pengkajian lontar-lontar yang masih belum banyak dipahami oleh umat hindu akan mengubah paradigma masyarakat khususnya umat Hindu ke arah yang positif dalam mengimplementasikan nilai-nilai luhur dari suatu lontar. Dalam penelitian ini yang dijadikan objek penelitian adalah Teks Tutur Bagus Dyarsa.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang akan dicari jawabannya pada penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa?
2. Bagaimana konsep-konsep ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa?
3. Apa makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa? 

1.3 Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka akan diperoleh dua tujuan penelitian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus seperti yang tertera di bawah ini:

1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah agar hasil penelitian ini bisa dan mampu memberikan informasi yang mendasar kepada seluruh umat Hindu dari berbagai jenjang kehidupan yang ada di Bali sehubungan dengan ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa

1.3.2 Tujuan Khusus
Selain tujuan umum, penelitian ini juaga memiliki tujuan khusus. Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, penelitian ini secara khusus bertujuan: 
1. Untuk mengetahui eksistensi ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa 
2. Untuk mengetahui konsep-konsep ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
3. Untuk mengetahui makna filosofis yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa

1.4 Manfaat Penelitian
Setelah penelitian dilaksanakan, maka diharapkan memiliki kegunaan baik secara teoretis maupun secara praktis sehingga dapat dijadikan bahan penelitian lebih jauh atau dijadikan bahan pertimbangan dan referensi bagi penelitian selanjutnya.

1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini mempunyai manfaat teoretis seperti yang tercantum berikut ini: 

1. Dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu dan wawasan baru mengenai ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. 

2. Dapat dijadiakan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam melihat dan menyikapi perkembangan keanekaragamaman budaya bangsa khususnya karya sastra klasik yang tertuang dalam bentuk lontar-lontar yang ada di Bali

1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memeberikan kontribusi kepada berbagai pihak. 1. Bagi peneliti dapat dijadikan sebagai landasan berpikir dalam mengkaji jenis permasalahan yang serupa. 2. Bagi masyarakat Hindu, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan serta menambah wawasan baru tentang ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dalam uraian berikut ini dilakukan dengan mengkaji pustaka-pustaka dan hasil penenlitian yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti. Sumber data kepustakaan yang dipakai oleh peneliti akan dapat bermanfaat sebagai pendukung atau pustaka pembanding, sehingga menjunjukkan perbedaan arah penelitian untuk menghindari kesamaan-kesamaan kajian dalam penenlitian.

Panya (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Makna Ajaran Kalepasan Ditinjau dari Lontar Tutur Angkus Prana”. Diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : Lontar Tutur Angkus Prana merupakan lontar dengan inti pokok ajarannya mengenai kalepasan. Sistem ajaran yang dikembangkan mirip dengan sistem pembelajaran Upanisad yaitu sifat ajarannya yang sangat rahasia. Sehingga hal-hal yang dapat disimpulkan dari penelitian dan pengkajian teks ini adalah konsep ajaran kalepasan yang terdapat dalam Lontar Tutur Akngkus Prana ada tiga, yakni : (1) Ajaran Kalepasan Jagatguru, (2) Ajaran Kalepasan Siwer Mas, (3) Ajaran Kalepasan Tutur Upadesa. Ketiga konsep ajaran kalepasan tersebut memiliki kemiripan yaitu untuk mencapai pembebasan Sanghyang Atma. Fungsi yang terdapat pada Lontar Tutur Angkus Prana adalah sebagai meningkatkan kesucian, meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani, meningkatkan pemujaan terhadap Tuhan, meningkatkan pengetahuan tentang Atma, Meningkatkan kepercayaan pada ke-Esaan Tuhan. Makna Kalepasan yang terdapat pada Lontar Tutur Angkus Prana adalah makna pembersih diri, pengendalian diri, religiusitas. satya, karma, dan pembebasan (Tyaga). Adapun persamaan antara penelitian Panya dengan penenlitian ini adalah sama-sama membahas tentang teks khususnya jenis teks tutur sebagai karya sastra klasik yang memiliki makna-makna luhur. Perbedaannya yaitu terdapat pada aspek kajian penelitiannya, penelitian Panya memfokuskan objek penelitian tentang makna ajaran kalepasan ditinjau dari lontar Tutur Angkus Prana, sedangkan aspek kajian penulis yaitu membahas tentang ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. Kontribusi terhadap penelitian ini adalah sebagai bahan perbandingan selain itu penelitian Panya juga memberikan gambaran mengenai penetapan teori dalam pengkajian teks, menggingat penelitian ini sama-sama merupakan pengkajian teks.  

Suci Hartini (2011) dalam penelitinnya yang berjudul “Nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Geguritan Prasthanika Parwa” diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Geguritan Prasthanika Parwa berisikan pokok-pokok ajaran agama Hindu di antaranya: Ajaran Tattwa, ajaran tentang Ketuhanan, Ajaran tentang etika dengan menekankan pada pendidikan budi pekerti dan ajaran tentang karma phala. Ketiga ajaran itu dapat menghantarkan umat manusia ke jalan yang baik sehingga pada akhirnya dapat mencapai kesempurnaan hidup yaitu moksa dan jagadhita. Nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terdapat dalam Geguritan Prasthanika Parwa meliputi: nilai pendidikan Tattwa, bahwa Tuhan (Sang Hyang Widhi) memang benar adanya dan berada pada setiap mahluk hidup dan pada akhirnya kembali kepada-Nya. Selanjutnya kepercayaan akan adanya Tuhan terimplementasi pada ajaran Panca Sradha. Nilai pendidikan etika teraplikasi pada sistem kepemimpinan Yudhistira dengan menerapkan ajaran dharma melalui tingkah laku yang benar, sebab tingkah laku yang benar merupakan kesadaran bagi umat manusia untuk berbuat dharma. Nilai pendidikan Satya yakni menuntun agar dalam melaksanakan suatu kewajiban dalam hidup ini selalu dapat menerapkan ajaran kebenaran dan kejujuran. Ajaran kepemimpinan tercermin pada sikap kepemimpinan Yudhistira selalu mengutamakan rakyat terlebih dahulu dari kepentingan dirinya, sehingga suasana keseimbangan dan kemakmuran dirasakan oleh rakyat. Adapun Persamaan antara penelitian Suci Hartini dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas lontar sebagai karya sastra klasik yang memiliki makana-makna luhur. Perbedaannya terdapat pada aspek kajian penelitiannya, yaitu penelitian Suci Hartini memfokuskan obyek penelitian tentang Nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Geguritan Prasthanika Parwa , Sedangkan aspek kajian penulis yaitu tentang ajaran Siwaistis yang terdapat pada Teks Tutur Bagus Dyarsa. Kontribusi terhadap penelitian ini adalah sebagai bahan perbandingan serta memberikan gambaran mengenai cara menentukan dan menggunakan teori, mengingat penelitian ini bersifat kajian teks (library research). 

Watra (2007) pada buku yang berjudul “Pandangan Filosofis, Etika Dan Upakara Dalam Siwaratri Di Era Modern” diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Dari sudut perkembangan zaman Siwaratri sebagai salah satu bentuk upacara dalam ajaran agama Hindu di Bali, pada mulanya terbatas dilaksanakan oleh kalangan-kalangan tertentu, namun dalam perkembangan dewasa ini upacara tersebut semakin meluas dilaksanakan oleh beberapa Perguruan Tinggi yang berbasis Hindu dan masyarakat Bali. Dari sudut filosofisnya Perayan Hari Suci Siwaratri pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan upacara-upacara keagamaan lainnya di Bali, namun upacara Siwaratri lebih menekankan pada unsur nilai kemanunggalan Atman dengan Paramatman. Pengangkatan esensi dan makna upacara, Siwaratri menuangkan suatu perlambang perayaan yang mendobrak rutinitas dan penciptaan baru dengan simbolisasi “malam perenungan dosa” mengakui diri sebagai manusia papa, untuk selanjutnya berbuat kebaikan. Bertitik tolak dari filsafat atau tattwa, maka umat Hindu tidak cukup memahami filsafatnya, maka diperlukan pengejawantahan dihadapan masyarakat. Artinya diberikan tauladan bagaimana perilaku seseorang seharusnya yang menjalankan Brata Siwaratri. Manunggalnya Atman dengan Paramtanman, yaitu dengan: Tapa Brata (menahan lapar), Mona Brata (berbicara yang perlu dibicarakan), Yoga (melaksanakan kewajiban tanpa pamerih), dan Smadhi (mengingat selalu nama Tuhan), bahwa Beliaulah yang paling berkuasa di ketiga dunia ini. Filsafat (mencari kebijaksanaan) sebagai dasar untuk beretika, filsafat dan etika sebagai dasar munculnya sebuah simbolis-simbolis. Karena keterbatasan manusia untuk memahami ketiga lapisan alam semesta ini, maka manusia membuat simbol dalam bentuk upakara. Jadi filsafat, etika dan upakara adalah konsep dasar agama Hindu. Adapun persamaan penelitian Warta dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas mengenai konsep ajaran Siwa yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Perbedaanya terdapat pada objek penelitian, objek kajian penelitian Watra tentang Pandangan Filosofis, Etika Dan Upakara Dalam Siwaratri Di era modern sedangkan objek kajian penulis Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. Kontribusi terhadap penelitian ini adalah sebagai bahan perbandingan selain itu buku ini juga memberikan kontribusi mengenai konsep ajaran Siwa.

Montana (2013) dalam penelitinnya yang berjudul “Kajian Filosofis Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Nilacandra” diperoleh hasil penelitian yaitu, bentuk ajaran Siwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra meliputi ajaran Dharma menjabarkan mengenai bahwa umat manusia harus memegang teguh ajaran dharma, ajaran etika menjabarkan mengenai etika atau tingkah laku manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, ajaran triguna menjabarkan mengenai tiga sifat yang harus dikendalikan umat manusia, ajaran bhakti menjabarkan ketaatan Nilacandra dalam memuja Sang Hyang Wrocana dan ajaran Tat Twam Asi mengajarkan bahwa setiap manusia tidak ada bedanya satu dengan yang lainnya. Berdasarkan analisis fungsi ajaran Siwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra ini meliputi: fungsi pendidikan memberikan ajaran moral kepada masyarakat dan fungsi pelestarian karya sastra melalui kegiantan mabebasan, seni tari dan, seni pewayangan. Nilai filosofis ajaran Siwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra bahwa sesungguhnya ajaran Siwa-Buddha merupakan tunggal dan ajaran Siwa-Buddha sama tidak ada bedanya hanya penyebutannya saja yang berbeda. Adapun persamaan penelitian Montana dengan penelitian ini yaitu sama-sama membahas mengenai konsep ajaran Siwa dari segi kajian filosofis. Perbedaanya terdapat pada objek penelitian yang dikaji, objek penelitian Montana yaitu Kajian Filosofis Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Nilacandra, sedangkan objek penelitian yang dikaji dalam penelitian ini adalah teks Lontar Tutur Bagus Dyarsa. Antara teks lontar jenis kakawin berbeda dengan teks lontar jenis tutur. Kakawin diikat oleh aturan pada lingsa, sedangkan dalam lontar jenis tutur tidak terdapat aturan pada lingsa. Dari perbedaan tersebut jelas akan menghasilkan arah penelitian dan hasil penelitian yang berbeda pula. Kontribusi penelitian Montana terhadap penelitian ini adalah sebagai pustaka pembanding bagi peneliti dalam menafsirkan makna dan nilai filsafat Hindu yang terkandung dalam teks Lontar Bagus Dyarsa, mengingat dalam teks Kakawin Nilacandra juga sarat akan makna dan nilai filosofis di dalamnya.

2.2 Konsep
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tim Penyusun, (1995: 520) dijelakan bahwa konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret. Sementara itu menurut Burhan Ashshofa (2004) pada buku yang berjudul“Metode Penelitian Hukum” konsep merupakan abtraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan kelompok, atau individu tertentu. Hamidi (2005: 87) menyatakan bahwa kejelasan tentang apa yang hendak diteliti ini sangant penting, sedang apa yang hendak diteliti telah ditetapkan dalam bentuk kata-kata kunci penelitian. Adapun konsep yang perlu dijelaskan terkait dengan penenlitian ini meliputi : 

2.2.1 Ajaran Siwaistis 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online kata ajaran berasal dari kata dasar “ajar” yang artinya petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui, kemudian mendapatkan akhiran -an sehingga menjadi “ajaran” yang berarti segala sesuatu yang diajarkan baik itu berupa nasihat, petuah maupun petunjuk. Sedangkan Siwaistis merupakan suatu paham bahwa segala sesuatu di dunia ini berasal dari Siwa. Siwa merupakan dewa tertinggi dalam kepercayaan Hindu di Bali pada khususnya. Selanjutnya Siwananda (2007: 45) menyatakan bahwa sistem Siwa Siddhanta adalah saringan dari esensi Vedanta. Ia lazim terdapat di India Selatan sebelum era Kristiani. Tinnelvelly dan Madurai pusat mazab Siwa Siddhanta Saivite atau penganut Siwa Siddhanta menghasilkan secara seksama filsafat yang membedakan yang disebut Siwa Siddhanta sekitar abad kesebelas Masehi. Ajaran agama Hindu yang berkembang di Indonesia adalah ajaran Siwa Siddhanta, ajaran ini diartikan sebagai doktrin dari ajaran Siwa. Menurut Sara Sastra (2005) dalam bukunya yang berjudul “Konsepsi Monotheisme dalam Agama Hindu” dijelaskan bahwa ajaran Siwa Siddhanta merupakan ajaran agama Hindu yang berkembang di Indonesia, yaitu suatu ajaran yang menekankan pada pemujaan lingga dan tokoh Tri Murti yaitu Brahma, Visnu dan Siwa. Dapat tiartikan bahwa Siwa sebagai dewa tertinggi yang dipuja disamping merangkul segala sekta-sekta yang ada. Jadi ajaran Siwaistis berasal dari kata Siwa merupakan ajaran berpaham Siwa artinya, Siwa merupakan realitas tertinggi semua alam semesta beserta isinya berasal Siwa. Jiwa-jiwa yang menghidupi setiap mahluk adalah dari intisari yang sama dengan Siwa tetapi tidak identik sama. Dalam konsep Tri Murti (tiga manifestasi atau perwujudan Tuhan), Siwa disebutkan sebagai dewa terakhir. Setelah Brahma (pencipta) dan Wisnu (pemelihara). Siwa disebut juga sosok yang bertanggung jawab terhadap penyerapan alam semesta. Ia merupakan perwujudan dari sifat Tamas (kelembaman/kegelapan) dalam Tri Guna kecendrungan menuju pelenyapan (Widya Sena, 2013: 2). Sivananda (2007: 45) menyatakan bahwa Tuhan Siwa adalah realitas tertinggi. Ia adalah abadi, tanpa wujud, bebas, ada di mana-mana, satu tanpa kedua, tanpa awal, tanpa sebab, tanpa cacat, ada sendiri, selalu bebas, selalu murni, ia tidak dibatasi olh waktu. Ia adalah kebahagiaan tanpa batas dan kecerdasan tanpa batas. 

2.2.2 Teks Tutur Bagus Dyarsa
Tutur menurut kamus Bali Indonesia diartikan “nasihat” (Tim Penyusun, 1978: 614). Selanjutnya pada kamus besar Bahasa Indonesia (dalam Panya, 2007: 14) disebutkan tutur adalah ucapan, kata, perkataan. Sementara itu tutur menurut Ketut Marma seorang penerjemah teks, tutur merupakan suatu kalimat yang berisi pesan-pesan atau tujuan tujuan tertentu yang ingin disampaikan (Ketut Marma, wawancara 25/03/2015) Secara leksikal tutur berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yang artinya; ingatan, kenang-kenangan, kesadaran, lubuk jiwa mahluk yang paling dalam, “ budi yang dalam” (tempat persatuan yang muhtlak); tradisi suci, smrti (sebagai lawan sruti), teks berisi dokrin religi, dokrin religi. Wruh ta yen dharmayukti, menget ring sinanggih tutur (Zoetmulder dalam Suweta, 2012:7). Bila mengetahui Dharma kebenaran, senantiasa ingat dengan yang disebut sadar. Selanjutnya Zoetmulder dalam Suweta (2012:7), atutur berarti; mengingat, mengenang kembali, menyadari sepenuhnya, terus-menerus mengingat. Swastha Ta Bhuwana De Nira , Kapwatutur I Dharmaya Sowan-Sowan; Tumingal Ta Dewi Kunti Ri Sang Karna, Matutur Ta Sira Ry Anak Nira Ri San Hyan Aditya (kebahagian hidup di dunia, kemudian Dewi Kunti meninggalkan anaknya, karena telah mengingatkan tentang kebenaran, wejangan itu dilakukan ketika Sang Karna memuja Dewa Surya). Anatur, tinutur yang berarti; mengingat, mengenang kembali, menyadari. Tuturen reh in laku pacidra; mengingatkan agar tidak bertingkah laku tercela. Dengan demikian memperhatikan pemaparan di atas, tutur berarti mengingatkan kembali tentang kebenaran agar dilaksanakan, sehingga tidak menyimpang dari dharma, dalam hal ini tentang kebenaran Tuhan (Suweta, 2012: 7). Haryati Soebadio (dalam Panya, 2007: 14) istilah tutur mengandung unsur-unsur dasar mengingat menghafalkan, mengajarkan, sesuatu yang dihafalkan oleh si murid. Jadi tutur adalah pelajaran dogmatis yang diteruskan kepada murid-murid yang memenuhi syarat. Teks Tutur Bagus Dyarsa merupakan Teks koleksi Gedong Kertya, SingaRaja. Teks ini berasal dari turunan dari buku kepunyaan I Gusti Putu Djlantik Anak Agung Negara Buleleng yang diturun oleh I Putu Griya, Br Paketan SingaRaja. Teks Bagus Dyarsa torgolong dalam teks tutur yang tidak terikat oleh pada lingsa maupun guru lagu. Pada lingsa diambil dari dua suku kata yaitu pada yang berarti banyaknya suku kata dalam suatu kalimat, sedangkan lingsa berarti perubahan suara pada kalimat terakhir. Jadi pada lingsa artinya jumlah suku kata serta rima dalam suatu barisnya. Sementara itu guru lagu berasal dari kata guru dan lagu, guru yang berarti panjang dan lagu berarti pendek. Guru lagu adalah panjang pendek suku kata dan pola mengenai selang-seling huruf hidup pada suku kata terakhir suatu tembang atau kekawin. Teks Tutur Bagus Dyarsa ini ditulis dalam huruf Bali berbahasa campuran antara bahasa Bali dengan bahasa Jawa kuno dan berjumlah 33 lembar daun lontar. 

2.2.3 Kajian Filosofis
Tim Penyusun (dalam Montana 2013: 19) kajian berasal dari kata ”kaji” yang artinya pelajaran terutama dalam hal keagamaan, dan mendapatkan akhiran “an” yang berarti melakukan sesuatu proses dari hasil mengkaji. Jadi kajian adalah proses rasionalisasi dan pembuktian empirik terhadap kepercayaan atau ketiakpercayaan menjadi pemahaman atau ilmu pengetahuan tentang keagamaan. Filosofis atau filsafat berasal dari kata Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Kata tersebut juga berasal dari kata Yunani philosophis yang berasal dari kata kerja philein yang berarti mencintai, atau philia yang berarti cinta, dan Sophia yang berarti kearifan. Dari kata tersebut lahirlah kata inggris philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” (Achmadi, 2008: 1). Lebih lanjut Surajio (2008: 3) menyatakan bahwa secara terminologi filsafat dapat diartikan sebagai arti yang dikandung oleh istilah atau statemen ‘filsafat’. Batasan dari filsafat itu banyak, maka sebagai gambaran dikenalkan beberapa batasan. Menurut Plato filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Selain itu, Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan). Secara umum filsafat di klasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu epistemologi (filsafat tentang pengetahuan), aksiologi (filsafat tentang nilai), dan ontologi (filsafat tentang eksistensi sesuatu atau keberadaan) Jujun S. Suriasumantri (1986: 2) menjelaskan mengenai ontologi yaitu azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakekat realitas. Sementara itu Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melaui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut dipreoleh dengan menggunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang yang dilakukan menurut syarat keilmuan yang bersifat terbuka dan menjungjung kebenaran diatas segala-galanya (Suriasumantri, 1991: 9). Berbeda dengan epistemologi, aksiologi yang di pahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya dapat di gunakan sebagai teori untuk membahas suatu permasalahan, kajian aksiologi akan terfokus pada nilai-nilai yang terkandung pada suatu hal. Dalam kajian aksiologi ilmu membicarakan untuk apa dan siapa. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu, axios yang berarti nilai. Sedangkan logos, yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori tentang nilai. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia online aksiologi memiliki arti yaitu: (1) Kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, (2) Kajian tentang nilai, khususnya etika. Sementara itu, menurut Jujun S. Suryasumantri (1990: 227) mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai nilai kegunaan ilmu. Artinya teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Drs. H. Mohammad Adib (dalam Endra Wirawan, 2013: 22) aksiologi adalah cabang ilmu yang membicarakan orientasi atau nilai suatu kehidupan. Beliau juga menyebutkan bahwa aksiologi merupakan teori nilai, karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus bertindak dan hidup. Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Menurut Luis O. Kattsoft (2004: 319) aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia banyak terdapat cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistemologi. Lorens Bagus (2005: 33) meyatakan bahwa aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala hal yang bernilai. Dan pada bagian akhir beliau juga menegaskan bahwa aksiologi adalah studi filosofis tentang hakekat nilai-nilai. Menurut Bramel (dalam Aceng Rahmat, 2011: 155), aksiologi terbagi kedalam tiga bagian, yaitu : (1) Moral Conduct, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika, (2) esthetic Expression, ekspresi keindahann yang melahirkan estetika, (3) Socio-Political Life, kehidupan sosio-politik, bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio politik. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuatuion. a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau suatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan sperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontibusi. b. Nilai sebagi kata benda kongkret . contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali digunakan untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai. Seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai. c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi (Amsal Bakhtiar, 2012: 164). Dari beberapa pendapat diatas, dapat diananlisa secara garis besar bahwa teori tentang nilai (aksiologi) dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tetapi kadang kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaraan yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya bukan pada subjeknya yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai bersifat subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian, kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

2.3 Landasan Teori 
James Black (1999: 49) menguraikan teori adalah sekumpulan Konsep, definisi dan dalil yang saling terkait yang menghadirkan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan menetapkan hubungan diantara variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena. Teori adalah suatu ilmu yang relevan yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentatang variabel yang akan diteliti sebagai dasar untuk memberikan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan (hipotesis) serta penyusunan instrumen penenlitian (Riduwan, 2004: 19). Teori adalah merupakan landasan dasar untuk melaksanakan suatu penelitian. pada penelitian ini menggunakan tiga teori, adapun teori yang dimaksud adalah sebagai berikut:

2.3.1 Teori Semiotika
Ratna (dalam Afriadi, 2008: 48) menjelaskan bahwa Semiotika berasal dari kata seme, yaitu bahasa Yunani yang berarti ‘penafsiran tanda’. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotik berasal dari kata semeion yang berarti ‘tanda’. Dalam pengertian yang lebih luas yaitu sebagai teori, semiotik berarti studi sistematis mengenai produksi dan iterpretasi tanda, bagaimana cara kerjanaya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, melalui tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya atau dengan sesamanya, sekaligua mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah mahluk homo semioticus. Menurut Culler (dalam Ratna, 2004: 97) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya, sedangkan semiotika pada tanda. Selden (dalam Ratna, 2004: 97) menganggap bahwa strukturalisme dan semiotika termasuk kedalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioprasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Demikian juga sebaliknya. Terkait dengan sastra tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyian dan bahasa tubuh (body language). Kerangka pemikiran semiotik memberikan pandangan bahwa srtuktur estetik lebih terlihat sebagai hal yang mengandung esensi dan kedinamisan sehingga sehingga dapat dipahami secara dialektik oleh karena hubungan dengan perkembangan budaya dan lingkungan manusia (Atmaja, 1988: 30). Teori semiotik adalah teori yang berpijak atas asumsi bahwa karya sastra adalah tanda-tanda yang mesti diberi tanda atau diinterpretasikan. Dalam kehidupan sehari-hari, tanda yang menjadi kajian semiotika hanya yang menyangkut tanda yang tidak dialami, yang berhubungan atau hubungannya bersifat arbiter. Hanya yang berbentuk simbol misalnya burung yang sayapnya patah tidak bisa terbang (tidak kajian semiotik, karena hubungannya biasa-biasa saja). Sedangkan burung yang sayapnya normal tidak bisa terbang, hal ini termasuk kajian semiotika (hubungannya tidak wajar) tidak dapat diterangkan secara ilmiah sebab hanya menyangkut suatu kelompok binatang saja. Dalam penelitian teori semiotik sangat penting digunakan untuk membedah masalah eksistensi Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa, sebelum membahas mengenai tanda-tanda yang terdapat pada Teks Tutur Bagus Dyarsa terlebih dahulu akan diuraikan mengenai struktur cerita Teks Tutur Bagus Dyarsa.

2.3.2 Teori Simbol 
Penelitian ini juga menggunakan teori simbol, seperti yang dikemukakan Triguna (2000: 7) bahwa simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pemahaman. Menurut Coulson 1978 (dalam Titib, 2001: 63) kata Simbol dalam bahasa inggrisnya adalah symbol mengandung arti untuk sesuatu atau juga menggambarkan sesuatu, khususnya untuk menggambarkan sesuatu yang immaterial, abstrak, suatu ide, kualitas, tanda-tanda suatu objek, proses dan lain-lain. Eliade (dalam Pals, 2001: 284-285) bahwa simbol berakar pada prinsip-prinsip keserupaan, atau analogi. Hal-hal tertentu memiliki kualitas, bentuk karakter yang serupa dengan sesuatu yang lain. Dalam bidang pengamalan agama, berupa hal dilihat serupa atau dengan mengesahkan yang sakral hal-hal itu memberi petunjuk pada supranatural. Lebih lanjut Titib (2003: 66) menyatakan bahwa simbol keagamaan mampu mengungkapkan suatu modalitas dari yang nyata atau suatu struktur dunia yang tidak tampak pada pengalaman langsung. Dalam mengilustrasikan bagaimana suatu simbol mampu mengungkapkan modalitas kenyataan yang tidak terjangkau oleh pengalaman manusia. dalam penelitian ini teori simbol sangat penting digunakan untuk membedah masalah konsep-konsep Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. 

2.3.3 Teori Makna 
Dalam setiap aktivitas kehidupan manusia terkandung suatu makna, begitu halnya dengan karya sastra klasik berupa lontar. Makna-makna yang terdapat pada sebuah karya dapat dipakai sebagai cerminan dalam bertingkah laku. Adapun pengertian makna menurut Daryono, (1997: 416) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan kata makna mempunyai pengertian yang sama dengan “arti” dan maksud. Lebih lanjut Suharto, (1996: 163) bahwa makna mempunyai pengertian yang sama “arti”. Selanjutnya Menurut Sutrisno (dalam Suwita, 2005 : 34) memaparkan tentang makna yaitu sebuah kata atau maksud yang terkandung dalam sesuatu hal. Jadi berdasarkan beberapa pengertian mengeani makna, maka teori makna sangat penting digunakan untuk membahas mengenai makna yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa.

2.4 Model Penelitian 
Model penelitian adalah cara dalam kerangka berpikir bgaimana dan dalam model apa penelitian tersebut dilakukan. Melalui kerangka yang ada dalam suatu model penelitian seorang peneliti akan menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan. Model penelitian adalah suatu gambaran penelitian yang di buat oleh peneliti dalam bentuk bagan yang menunjukkan hubungan langsung dan hubungan timbal balik antara satu kosep dengan konsep yang lainnya yang terdapat dalam objek penelitian, sehingga mempermudah peneliti dalam menyusun kerangka berpikir yang sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun bagan dari model yang dikembangkan dalam penelitian ini seperti bagan dibawah ini yaitu sebagai berikut : Bagan Model Penelitian Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa Sumber: Rekontruksi Pemikiran Penulis (2015) Keterangan Tanda : = Hubungan Pengaruh Langsung.

Keterangan Bagan Model Penelitian : Kesusastraan Bali dibagi menjadi dua, yaitu kesusastraan Bali Purwa atau klasik dan kesusastraan Bali Anyar atau modern. Kesusastraan Bali Purwa atau klasik dapat berupa Parwa, Kakawin, Kidung, Geguritan, dan lain sebagainya. Sedangkan kesusastraan Bali Anyar atau modern contohnya seperti novel dan lain-lain. Kesusastraan Bali Purwa menciptakan berbagai macam karya sastra pada jaman dulu dan hingga kini masih terdapat bukti-bukti peninggalannya, salah satu contoh peninggalan kesusastraan Bali Purwa yaitu Teks Tutur Bagus Dyarsa. Teks Tutur berbeda dengan Kakawin, Kidung dan Geguritan letak perbedaannya terdapat pada aturan pada lingsa dan guru lagu yang mengikat Kakawin, Kidung dan Geguritan sementara Tutur tidak terikat dengan aturan itu. Pada lingsa diambil dari dua suku kata yaitu pada yang berarti banyaknya suku kata dalam suatu kalimat, sedangkan lingsa berarti perubahan suara pada kalimat terakhir. Jadi pada lingsa artinya jumlah suku kata serta rima dalam suatu barisnya. Sementara itu guru lagu berasal dari kata guru dan lagu, guru yang berarti panjang dan lagu berarti pendek. Guru lagu adalah panjang pendek suku kata dan pola mengenai selang-seling huruf hidup pada suku kata terakhir suatu tembang atau kekawin. Dalam penelitian ini menggunakan teori semiotika, teori simbol dan teori makna, masing-masing teori ini akan membahas satu permasalahan yang terdapat pada rumusan masalah yaitu yang pertama mengenai eksistensi Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa, selanjutnya konsep-konsep Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa, dan yang terakhir adalah makna filosofis yang terdapat dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. Dari pembahasan masing-masing permasalahan tersebut akan mendapatkan suatu hasil penelitian yaitu karya sastra kalsik berupa lontar Tutur Bagus Dyarsa yaitu ingin memperkenalkan ajaran Siwaistis kepada masyarakat dengan mengenal ataupun mengetahui ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa sehingga terwujud suatu pemahaman ajaran Siwaistis di masyarakat.

BAB III METODE PENELITIAN

Masyhuri dan Zainuddin (2008: 151) menyatakan bahwa metode penelitian adalah salah satu cara yang digunakan oleh peneliti untuk mencapai sautu tujuan yang tepat dan akurat. Selain itu metode juga merupakan suatu cara untuk memahami objek penelitian, karena keberhasilan suatu penelitian akan banyak dipengaruhi oleh metode yang digunakan, sehingga metode dikatakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengadakan suatu penelitian. Menurut Suriasumantri (1990: 119) metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metode mempunyai peranan penting dalam penelitian agar memperoleh hasil yang baik maka diperlukan memilih metode yang tepat guna memperoleh, menganlisa, dan mengolah data yang obyektif yang relevan dengan permasalahan yang dibahas yaitu Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa (Kajian Filosofis).

3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Karakteristik penelitian kualitatif adalah objek yang menjadi fokus penelitian. Penelitian kualitatif tidak menekankan pada kuantum atau jumlah, jadi dapat disimpulkan bahwa, penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang tidak melakukan perhitungan-perhitungan dalam bentuk angka. Dalam penelitian ini penulis menggunakan kajian filosofis untuk menelaah suatu permasalahan. Kajian filosofis bertujuan untuk membahahas secara mendalam makna dari Teks Tutur Bagus Dyarsa. 

3.2 Jenis Data dan Sumber Data
3.2.1 Jenis Data 
Sugiyono (2009: 68) menyatakan bahwa data adalah sebuah informasi yang dapat memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau masalah baik berupa angka-angka maupun yang bentuk kategori seperti baik, buruk, tinggi rendah dan sebagainya. Jenis data yang diambil dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Dalam penelitian kepustakaan, permasalahan yang muncul dalam kegiatan penelitian akan mengacu pada sumber-sumber kepustakaan yang ada seperti : lontar, prasasti, dan lontar atau sumber kepustakaan lainnya, yang ada hubungannya dengan penelitian. Dalam penelitian ini, data primer akan diambil dari teks transliterasi Lontar Tutur Bagus Dyarsa. 
3.2.2 Sumber Data Dalam kamus umum Bahasa Indonesia data primer adalah data yang pertama, utama dan yang pokok (Poerwardamita, 1984: 768). Jadi yang dimaksud data primer adalah keterangan yang nyata dan benar yang diperoleh langsung dari obyeknya. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan dari sumber data tidak langsung, bisa dari perpustakaan dan laporan-laporan terdahulu. Menurut Poerwadarmita (1984: 791) Menyatakan bahwa kata skunder artinya yang kedua. Jadi yang dimaksud data skunder adalah suatu keterangan yang diperoleh dari sumber yang kedua seperti misalnya dari membaca buku-buku, Teks-teks dan catatan-catatan. Data ini juga dapat berupa hasil dokumentasi dan arsip-arsip resmi. Jenis data yang diambil dalam penelitaian ini adalah ini adalah data dari sumber kepustakaan yaitu data skunder. Data skunder adalah data yang diperoleh dan di kumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya di peroleh dari kepustakaan atau dari laporan-laporan penelitian yang terdahulu, seperti naskah-naskah, arsip-arsip resmi dan buku-buku jurnal sebagai penunjang yang isinya berkaitan dengan topik penelitian. 

3.3 Teknik Pengumpulan Data Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik, studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Data adalah bahan mentah yang tidak mempunyai arti apabila didalam suatu penyelidikan, data tersebut tidak segera diolah. Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data yakni sebagai berikut: 
3.3.1 Studi Kepustakaan Studi kepustakaan (library research) adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang belum diketahui dengan jalan membaca buku-buku, monografi dan sejenisnya yang ada hubungannya dengan Teks Tutur Bagus Dyarsa. Menurut Mukajir (1994: 64) mengungkapkan bahwa metode metode kepustakaan merupakan sautu usaha atau cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan penelitian kepustakaan seperti melalui membaca, menulis mengutip materi dari kepustakaan yang tersajikan, disebut sebagai metode kepustakaan. Dalam penelitian ini, studi pustaka dilakukan dengan memahami data dengan baik sebagaimana yang terdapat pada teks transliterasi Teks Tutur Bagus Dyarsa. 
3.3.2 Studi Dokumentasi Menurut Hadi (1983: 73) menyatakan bahwa pencatatan dokumen adalah salah satu yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau dokumen dari segala macam serta pencatatan yang sistematis. Selain itu menurut Usman dan Purnomo (2003: 73) menyatakan bahwa dokomentasi adalah pengambilan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, data yang ditampilkan cendrung merupakan data skunder, studi dokumentasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah berupa foto-foto Teks Tutur Bagus Dyarsa yang diambil dari sumber aslinya di Gedong Kirtya Singaraja. 

3.4 Teknik Analisis Data Teeuw (1984: 123) menyatakan bahwa teks yang dibaca, mempunyai kesatuan, keseluruhan, kebulatan makna. Metode teknik analisis data diharapkan menghasilkan suatu deskripsi mengenai fenomena yang terjadi secara mendalam. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis dengan pendekatan filosofis yaitu mengkaji secara mendalam nilai-nilai yang terkandung di dalam isi teks dengan menggunakan pengetahuan, ide-ide dan konsep yang ada.

3.5 Penyajian Analisis Data Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu data yang telah terkumpul baik data primer maupun data skunder dianalisis secara terus menerus dengan pendekatan filosofis yaitu menganalisis makna yang terdapat dalam teks Tutur Bagus Dyarsa. Dalam penelitian ini menggunakan teori semiotika, teori simbol dan teori makna. Teori-teori ini akan digunakan untuk membedah permaslahan tentang eksistensi Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa, konsep-konsep Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa dan makna filosofis yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. Setelah upaya penyajian data dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah penyimpulan sementara. Simpulan yang bersifat sementara akan diuji dengan simpulan-simpulan data yang terjaring dari hasil terjemahan. Selanjutnya dari simpulan-simpulan yang bersifat sementara akan ditarik suatu simpulan umum secara induktif sebagai hasil akhir penelitian. Dalam menganalisis data diperlukan ketelitian dari seorang peneliti karena data yang telah terkumpul harus disajikan dengan uraian bahasa yang mudah dipahami. Mengingat penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengkaji teks, maka data-data yang telah terkumpul disajikan dengan metode formal dan nonformal. Metode formal yang dimaksud adalah data yang disajikan tidak bisa terlepas dari penggunaan tanda-tanda tertentu seperti tanda baca dan tanda-tanda lainnya. Sedangkan, metode nonformal yang dimaksud adalah data yang disajikan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh peneliti.


BAB IV PENYAJIAN HASIL PENELITIAN

4.1 Struktur Teks Tutur Bagus Dyarsa


Struktur merupakan bagian yang paling mendasar yang  membangun suatu karya sastra (Putu Gede Wiriasa, wawancara 07/04/2015).

  Berdasarkan hal tersebut diatas bahwa stuktur dikatakan sebagai hal yang bersifat fundamental yang  membangun suatu karya sastra. Dalam penelitian ini struktur teks Tutur Bagus Dyarsa penting untuk dibahas untuk mengetahui hal-hal yang membangun teks Tutur Bagus Dyarsa. Jika ditinjau dari struktur luar struktur teks Tutur Bagus Dyarsa yang terdapat di Gedong Kertya Singaraja berbeda dengan Teks Bagus Dyarsa yang terdapat di Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Jika ditinjau dari struktur luar teks Tutur Bagus Dyarsa yang terdapat di Gedong Kertya Singaraja terdiri dari 34 lembar termasuk yang terakhir lembar kosong sebagai alas supaya bagian penutup lontar tidak mudah lapuk. Teks Tutur Bagus Dyarsa yang terdapat di Gedong Kertya Singaraja memiliki ukuran panjang yaitu mencapai 50,5 cm dan lebar 3,5 cm masing-masing ditulis empat baris. Pada lembar kiri atas ditulis kode lontar, nomor kropak dan nomor lontar yaitu IIIB/1/597 berisi tulisan lampiran 1-33, fungsinya supaya mudah untuk mencari lontar Bagus Dyarsa. Pada lembar kanan atas ditulis Bagus Dyarsa, turunan dari buku kepunyaan I Gusti Putu  Djlantik Anak-Agung Negara Buleleng, diturun oleh I Putu Griya, Br. Paketan Singaraja. Sebagai lembar awal dan juga sampul maka dibuat dua lembar ditempel menjadi satu demikian juga pada lembar akhir sebagai alas dibuat dua helai daun lontar yang ditempel menjadi satu. Pada lembar kedua dan seterusnya ditulis empat baris bolak-balik, kecuali bagian akhir yang dikosongkan fungsinya adalah untuk menjaga lontar agar tetap awet.
Berbeda dengan lontar Bagus Dyarsa yang terdapat di Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Perbedaanya terdapat pada bagian atas dan akhir lontar diberikan potongan bambu dengan ukuran sesuai dengan  lontar sebagai atap dan alas permanen agar mampu menjaga lontar tahan lebih lama. Ukuran lontar Bagus Dyarsa yang terdapat di Dinas Kebudayaan Provinsi Bali memiliki ukuran yang lebih pendek dari lontar Bagus Dyarsa yang terdapat di Gedong Kertya Singaraja. Namun demikian jumlah halamannya dapat dikatakan dua kali lipat dari Lontar Bagus Dyarsa yang terdapat di Gedeong Kertya, Singaraja.  Panjang lontar 30 cm dengan lebar 3,5 cm dengan jumlah 61 lembar dua lembar dibelakang merupakan bagian kosong sebagai alas yang berfungsi menjaga lontar agar tahan lama. Pada bagaian kiri atas sekaligus berfungsi sebagai sampul ditempel klasifikasi lontar nomor kropak dan halaman lontar berfungsi untuk mempermudah mencari lontar Bagus Dyarsa. Pada bagian kanan atas sekaligus berfungsi sebagai sampul ditulis judul, ukuran lontar serta asal lontar pada halaman dua dan selanjutnya ditulis empat baris bolak-balik kecuali pada halaman terakir dikosongkan dua lembar yang berfungsi sebagai alas. Lontar Bagus Dyarsa yang terdapat di Dinas Kebudayaan Provinsi Bali berasal dari Puri Kawanan, Buleleng. Meskipun pada struktur luar yang berbeda namun struktur dalam keduanya sama.


4.1.1 Sinopsis Teks Tutur Bagus Dyarsa
Bagus Dyarsa adalah seorang pejudi sabung ayam, dari kecil Bagus Dyarsa sudah terbiasa dengan judi terutama sabung ayam. Istrinya bernama Ni Suddha Jnyanā yang sangat setia bersamanya dan tak pernah merasa kesal dengan kelakuan suaminya. Bagus Dyarsa memiliki anak bernama I Wiracitta yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Dalam perjudian Bagus Dyarsa tidak pernah menang dalam bertaruh, sawah, tegalan serta isi rumahnya telah habis dijual untuk berjudi. Tipu daya dalam arena perjudian membuatnya demikian, akan tetapi Bagus Dyarsa tidak pernah merasa bosan dan selalu senag hatinya ketika berjudi. Sehingga musim masa sulit (paceklik) tiba istrinya bekerja menjadi seorang penenun untuk menghidupi anak dan suaminya.
Pada suatu hari anak Agung mengadakan sabung ayam dalam kaitannya dengan upacara keagamaan, anak Agung adalah seorang raja yang sangat terkenal karena selalu bertaruh banyak dalam area perjudian. Bagus Dyarsa tidak hadir pada waktu itu karena dirinya tidak memiliki uang untuk taruhan. Sehingga istrinya memberikannya uang dari hasil menenun. Semua itu dilakukan oleh istrinya supaya Bagus Dyarsa merasa senang. Datanglah Bagus Dyarsa ke arena perjudian, dengan bekal yang sedikit Bagus Dyarsa mencoba untuk menghematnya dengan bertaruh sedikit-sedikit. Meskipun demikian Bagus Dyarsa tidak pernah menang dalam taruhan hingga uangnya hampir habis, Bagus Dyarsa mulai kebingungan dan keluar dari area pertaruhan. Hari menjelang sore Bagus Dyarsa membeli makanan untuk dimakannya karena merasa diri lapar. Baru memakan tiga suap nasi tiba-tiba datang seorang pengemis yang tua renta, baunya sangat menyengat terdapat luka yang keluar nanah dari kedua kakinya. Pengemis itu ingin meminta sisa makanan Bagus Dyarsa. Tetapi Bagus Dyarsa tidak memberikannya sisa makanannya melainkan diajak makan bersama tanpa rasa ragu.
Setelah selesai makan pengemis itu ingin menginap dirumah Bagus Dyarsa, pengemis itu berkata sesak nafasnya akan kumat apabila menempuh hawa dingin untuk pergi kerumahnya di puncak gunung. Bagus Dyarsa mengijinkannya dan mengajak pengemis itu bermalam dirumahnya. Setelah sampai dirumahnya, Bagus Dyarsa menyuruh istrinya menyediakan hidangan untuk makan malam bersama pengemis itu. Sambil menunggu, Bagus Dyarsa bercengkrama panjang lebar. Dalam perbincangannya pengemis itu meminta anaknya I Wiracitta untuk diajak mengantarkan pengemis itu dan tinggal bersamanya, suatu saat apabila sudah beranjak dewasa I Wiracitta akan dikembalikan lagi oleh pengemis itu. Tanpa panjang lebar Bagus Dyarsa mengijinkannya karena Bagus Dyarsa yakin pengemis itu akan mengajarkan anaknya tentang kebenaran. Bagus Dyarsa menyuruh istrinya untuk memotong seekor ayam untuk lauk yang akan dihidangkan, Ni Suddha Jnyāna menurutinya, pengemis itu memita Bagus Dyarsa untuk mengambilkan tiga helai bulu ayam yang dipotonya tadi dan dimita untuk menaruhnya di sanggah kemulan. Pengemis itu berkata apabila suatu saat nanti Bagus Dyarsa ingin bertemu dengannya maka Bagus Dyarsa disuruh untuk mencabut bulu ayam tersebut dan menaruhnya ditengah jalan setelah itu ikuti kemana perginya bulu ayam itu. Setelah hidangan disiapkan oleh Ni Suddha Jnyanā, Bagus Dyarsa mengajak pengemis itu makan bersama keluarganya, dan Bagus Dyarsa memberitahukan kepada istrinya bahwa anaknya akan diajak tinggal bersama pengemis itu, demikian juga I Wiracitta diberi tahu bahwa dirinya akan tinggal bersama pengemis itu.
Esok harinya pengemis itu dan I Wiracitta meninggalkan rumah Bagus Dyarsa, setelah menempuh jalan yang begitu panjang, dan jalan yang sangat sulit mereka lalui, I Wiracitta merasakan hal yang aneh kepada pengemis itu, pegemis itu seolah-olah berjalan tiada halangan melewati batu cadas ditepi jurang yang curam. Sementara I Wiracitta masih muda tetapi cepat sekali merasakan lelah. Tibalah mereka ditempat peristirahatan, pengemis duduk diatas batu dan menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya kepada I Wiracitta dibawah pohon jambu bahwa dirinya adalah Bhatara Guru.
Diceritakan sekarang warga desa telah selesai membuat alun-alun desa dan akan diadakan sabung ayam yang berkaitan dengan upacara. Bagus Dyarsa diperintahkan oleh sang raja supaya bertaruh dengannya sebanyak tigaratus ribu. Merasa diri seorang yang miskin Bagus Dyarsa termenung dan ingat pada kata-kata pengemis itu, maka Bagus Dyarsa berpamitan kepada istrinya untuk pergi kerumah pengemis itu untuk memita ayam yang akan di adu dengan raja. saat fajar menyingsing Bagus Dyarsa mengambil bulu ayam yang ditaruhnya di sanggah kemulan, sesampai di pinggir jalan Bagus Dyarsa meletakkan bulu ayam tersebut dan datanglah angin yang menerbangkannya, lalu diikuti arah terbangnya bulu ayam tersebut oleh Bagus Dyarsa. Semakin jauh perjalanan Bagus Dyarsa semakin aneh yang ditemuinya hingga sampai pada suatu tempat yang sangat luas tidak ada pegunungan yang terlihat, yang ada hanya langit dan tanah sejauh mata memandang. Disana terlihat Bhagawan Penyarikan dan banyak sekali terlihat atman yang kepanasan dan masih banyak lagi atman dengan berbagai penderitaan. Bagus Dyarsa melanjutkan perjalanannya, hingga sampai pada tempat pengemis. Bulu ayam itu masuk ke dalam (jeroan) sementara Bagus Dyarsa menunggu di luar (jaba). Melihat hal tersebut Bhatara Guru menyuruh I Wiracitta menemui ayahnya, setelah bertemu ayahnya I Wiracitta menceritakan semuanya bahwa pengemis itu adalah penjelmaan Bhatara Guru, Bagus Dyarsa merasa heran sambil berjalan menemui Bhatara Guru.
Bagus Dyarsa diberikan wejangan oleh Bhatara Guru tentang kebenaran, setelah lama diberikan suatu pencerahan, Bhatara Guru memberikan seekor ayam lengakap dengan intan sebagai taruhnnya. Bagus Dyarsa pulang kerumahnya dengan membawa seekor ayam. Sembilan hari lamanya datanglah perintah kedesa-desa untuk mempersiapkan taruhan. Bagus Dyarsa datang dengan terlambat sehingga harus membayar denda dan membawa seekor ayam yang takut (jerih), semua pebotoh mengejeknya. Bagus Dyarsa berkata siapapun termasuk manusia asalkan ayamnya galak ia akan bertaruh satu kendi berlian, maka sang raja mencoba meminjam ayam Bagus Dyarsa, setelah diberikan tiba-tiba ayam itu galak mematuk dan mencakar raja. karena tidak mungkin seekor ayam melawan manusia maka raja itu mengambil ayamnya, setelah diadu di arena, ayam Bagus Dyarsa takut (jerih) lari kesana kemari dan sang raja beserta pebotoh lainya menertawakannya.  Setelah lari kesana kemari ketakutan ayam milik Bagus Dyarsa, tanpa disangka ayam Bagus Dyarsa menyerang ayam raja hingga mati, kemudian ayam tersebut menyerang raja hingga terluka dibagian lambungnya, sang raja roboh dan meninggal karena perbuatannya yang licik suka memeras rakyatnya dengan memungut pajak berlebih selain itu raja juga selalu berkata-kata kasar kepada rakyatnya, sang raja hanya meyenangkan keinginannya tanpa memperhatikan rakyatnya. Bagus Dyarsa pulang dengan sembunyi-sembunyi. Para pengawal raja Gusti Sulaksana dan I Gusti Nyoman Samirana menyerang rumah Bagus Dyarsa tetapi berkat anugrah Bhatara Guru semua prajurit raja dikalahkan. Ayam yang diberikan oleh Bhatara Guru berubah menjadi garuda dan Bagus Dyarsa mengendarainya dengan gagah. Ida Gede Siwa Buddha datang dengan semua muridnya dan dirinya siap untuk menjadi abdi Bagus Dyarsa. setelah kejadian itu Bagus Dyarsa dinobatkan menjadi raja dengan gelar Gusti Agung Niti Yukti. dan kemudian digantikan oleh anaknya I Wiracitta dengan gelar Prabhu Wijaya Kusuma berkat Bhatara Guru I Wiracitta telah menguasai ilmu ketatanegaraan dengan baik sehingga kerajaan yang dipimpinnya aman dan terntram tiada kejahatan yang terjadi. Semantara itu Bagus Dyarsa dan Istrinya di diksa oleh Hyang Narada. Setelah upacara diksa Bagus Dyarsa diberi gelar Bhagawān Mrettalociha dan istrinya diberi gelar Bhathara Nayopasuci. Mereka berdua diajak ke surga tinggal bersama para dewa dan tanpa lahir kembali.

4.1.2 Tokoh atau Penokohan Teks Tutur Bagus Dyarsa
Tarigan (1984: 150) menyatakan bahwa keberhasilan sebuah cipta sastra sangat tergantung pada kecakapan pengarang mengidupkan tokoh-tokoh melaui imajinasinya. Seorang pengarang tidak boleh memikirkan tokoh tersebut sebagai potret yang mati dan statis, tetapi harus memandang dan menyajikan sebagai hal yang hidup dan dinamis.
 Esten Mursal dalam Duani (2013: 35) menyatakan bahwa, apabila dilihat dari cara pengarang melukiskan watak-watak tokoh ceritanya ada tiga cara yaitu (1) dengan cara analitik, pengarang secara langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya. (2) dengan cara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung bagaimana watak tokoh-tokoh ceritanya, misalnya melaui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk lahir (potongan tubuh dan sebgaianya) melaui percakapan (dialog) melaui perbuatan sang tokoh, (3) dengan cara gabungan yaitu dengan analitik dan dramatik, pengarang menceritaka tokohnya dengan analitik dan dramatik atau sebaliknya.
Hutagalung (dalam Sukada, 1982: 11) menyatakan bahwa perwatakan seorang tokoh memiliki dua dimensi sebagai struktur pokok, yaitu pisikologis dan sosiologis. Kedua aspek tersebut memiliki beberapa dimensi yaitu dimensi pisikologis (angan-angan, kekecewaan, cita-cita, ambisi, tempramen seseoran dan sebagainya), dan dimensi sosiologis (lingkungan, agama, bangsa, pangkat, keturunan atau asal-usul dan sebagainya).
Tokoh utama dan pelengkap (komplementer), ditentukan oleh banyak atau sedikitnya seorang tokoh berhubungan atau kontak dengan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh utama merupakan tokoh yang terlibat dan dikuasai oleh serangkaian peristiwa, tempat mereka muncul baik sebagai pemenang ataupun sebagai yang kalah, senang atau tidak senang, lebih kaya atau lebih miskin, lebih baik atau lebih jelek, tetapi semuanya merupakan yang lebih arif bijaksana bagi pengalaman dan menjadi orang baik mengagumkan sekalipun dalam kematian atau kekalahan (Tarigan, 1984: 143). Sedangkan tokoh skunder merupakan tokoh yang berperan dalam menghadapi atau bersama-sama tokoh utama dalam membangun cerita, jadi gerakannya tidak sedominan tokoh utama, berikutnya tokoh pelengkap atau penunjang merupakan tokoh yang berfungsi membangun kelancaran gerak tokoh utama dan tokoh skunder dalam cerita.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penokohan adalah cara menggambarkan seorang tokoh cerita. Tokoh adalah seorang individu yang mengalami berbagai peristiwa dalam sebuah cerita, sedangkan perwatakan mengacu pada segi kejiwaan rohani yang menghidupi tokoh. Penokohan dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa dinilai dari segi analitik dan dramatik sebagai tokoh utama adalah Bagus Dyarsa menjadi tokoh pusat (ceter figure) dalam pengisahannya. Bhatara Guru sebagai tokoh skunder, sedangkan Ni Suddha Jnyāna (sebagai istri Bagus Dyarsa), I Wiracitta (sebagai anak Bagus Dyarsa), Hyang Narada (utusan Bhatara Guru), Ida Gede Siwa Buddha (Brahmana), Anak Agung (Raja), I Gusti Nyoman Samirana dan Gusti Sulaksana (sebagai patih Raja), pebotoh (pejudi), prajurit raja dan Bhagawan Penyarikan merupakan tokoh pelengkap (komplementer).

4.1.2.1 Tokoh Primer (Utama) Teks Tutur Bagus Dyarsa
Dari segi soisologis Bagus Dyarsa adalah seorang pebotoh (pejudi), pengarang melukiskan dengan kutipan berikut:
“Ada tuturan carita ilu satwa pagantian jani unggahang di gurit ada jani kawuwus babotoh maambek rurus Bagus Dyarsa arané uling cenik mangalilus twara surud ring palalyan manuukin legan manah”. (Bagus Dyarsa, 1b)

Terjemahannya:

‘Ada sebuah cerita jaman dahulu sebagai gantinya didalam geguritan. Ada seorang pebotoh (pejudi) yang baik Bagus Dyarsa namanya, dari kecil pekerjaannya adalah berjudi selalu mengikuti kesenangannya semata’.

Begitulah pengarang melukiskan Bagus Dyarsa lahir dilingkungan pejudi, sehingga dari kecil Bagus Dyarsa sudah terbiasa dalam hal berjudi terutama judi sabung ayam. Bagus Dyarsa memiliki keluarga yang sangat sederhana, mempunayi anak dan istri. Istrinya bekerja sebagai tukang tenun demi mencukupi kehidupan keluarganya sehari-hari.
 Dari segi psikologis Bagus Dyarsa adalah seorang yang berhati baik pengarang melukiskan dengan kutipan sebagai berikut:
“déning suba paek sañja mablañja manumbas skul dagangé éncong nadingang lantas mara madaaran. Bau mara mangesop ping telu sagét ada teka gagéndong mangidih-idih matungked pati tuyud mangundit karoso ibus – anak bungkut suba tuwa batis maka dadwa berung mecat banyahé macatcat ebone banges malekag. Uled nyané liu paklejuh buyung masliweran buka nyawané ngababin plis matané liu macéhcéh marabu-rabu manyongkok raris mangucap “Gustin tityang Dewa Ratu tityang manunas lungsuran basang tityangé bes layah”. Bagus Dyarsa mamunyi alus “mai ké menékan” bareng madaar kaki I tuwa lingña alus “tityang mindah Déwa ratu tityang manunas lungsuran” Bagus Dyarsa masahut “Nah kaki mai menékan bareng kén tityang madaar”. “Apan tityang kaki saja tanruh tan hina wang wangsā tanruh ring sor pangālewih lagut kakiné gudgud tuwa bungkut bwin berung kémad saja baan tityang mambahang kaki manglungsur” tumuli raris kajemak kapradi kājak menékan. “Tabé tityang Gusti Déwa Ratu tityang janma jelé” Bagus Dyarsa nyautin “manegak kaki ditu tumuli bareng manyekul” dagangé mangadésemang ngelén mata mecik cunguh” (Bagus Dyarsa, 3a-3b).

Terjemahannya:

‘sebab sudah agak senja  kemudian membeli nasi, dangangnya dengan sigap mengambilkan lalu Bagus Dyarsa makan, baru memakan tiga suap makanan  lalu datanglah pengemis memakai tongkat dan sudah tua membawa tas dari daun ibus orangnya sudah tua, kakinya keduanya borok, nanahnya keluar mengalir di kedua kakinya, baunya minta ampun, apalagi ulatnya banyak sekali dikerubuti lalat seperti sarang lebah, matanya yang sudah rabun  kemudian dengan menraba raba dia lalu berjongkok. Wahai Gusti, berikanlah saya makanan, saya sangat lapar. Bagus Dyarsa lalu berkata duduklah disini kek, bareng-bareng makan dengan saya, pengemis itu berkata halus, saya tidak berani tuan saya hanya meminta sisa nasi tuan, Bagus Dyarsa berkata, wahai kakek, kemarilah duduklah diatas dan mari makan bersama saya. Apakah yang menyebabkan kakek ragu tidak ada manusia yang hina, tidak ada yang dibawah, walaupun kakek orang tua yang sudah bongkok dan banyak borok, saya merasa berdosa apabila memberikan kakek sisa makanan dari saya. Kemudian pengemis itu di papahnya kemudian diajak keatas, maafkanlah kakek wahai anak muda kakek adalah orang hina. Bagus Dyarsaarsa berkata, duduklah disana makanlah bersama saya. Dagangnya kemudian tersenyum kecut sambil memegang hidungnya’.

Dari kutipan tersebut pengarang melukiskan Bagus Dyarsa adalah seorang yang berhati sangat baik, meskipun semua orang tidak tahan mecim bau pengemis itu tetapi Bagus Dyarsa mampu untuk mengajak pengemis itu makan bersama dengan tanpa rasa ragu, pengarang juga melukiskan bahwa sikap Bagus Dyarsa sangat berbakti kepada seorang yang lebih tua, dengan perkataan yang halus, Bagus Dyarsa juga mempapah pengemis itu tanda sikap bhakti Bagus Dyarsa kepada seorang yang lebih tua yang sedang berjongkok semntara Bagus Dyarsa duduk di atas hal tersebut menunjukkan sikap kesopanan yang tertanam dalam kepribadin Bagus Dyarsa.
Selain itu dari segi psikologis pengarang juga melukiskan Bagus Dyarsa memiliki karakter pemaaf dan memiliki kasih sayang, hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:
 Bagus Dyarsa kapiwelas kayun suka manguripang panjaké padha pajerit nunas urip manungkul pajongkok makumpul sāmpun sami kanugrahan I Bagus Dyarsa tedun titib kaparek bān panjak padha nunas kajanjinan” (Bagus Dyarsa, 29a-29b).

Terjemahannya:
‘Bagus Dyarsa merasa kasihan  dan menghidupkan kembali pengawal sang raja. Semuanya kemudian bersujud menyembahnya. Dan semuanya diberikan restu oleh Bagus Dyarsa. Kemudian turun dengan pelan pelan. Sebab di sembah oleh para prajurit untuk memohon ampun’.

Dari kutipan diatas bahwa pengarang melukiskan tokoh Bagus Dyarsa yang memiliki sifat humanisme tinggi, Bagus Dyarsa tidak sombong dengan kemampuannya yang dianugrahkan oleh Bhatara Guru. Bagus Dyarsa tidak ingin menyakiti sesama manusia ia hanya berjalan pada ajaran dharma (kebenaran). Selain itu juga dari segi psikologis Bagus Dyarsa adalah raja yang bijaksana dan mampu mengayomi rakyatnya.

4.1.2.2 Tokoh Skunder dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Bhatara Guru yang tinggal di gunung Kailasa dilukiskan oleh pengarang menjadi seorang pengemis yang tua renta turun kedunia dengan tujuan meminta I Wiracitta untuk tinggal bersamanya, I Wiracitta adalah anak Bagus Dyarsa. Pengarang melukiskan seorang pengemis itu sudah tua dan sangat bau, seperti kutipan berikut:
“anak bungkut suba tuwa batis maka dadwa berung mecat banyahé macatcat ebone banges malekag. Uled nyané liu paklejuh buyung masliweran buka nyawané ngababin plis matané liu macéhcéh marabu-rabu manyongkok raris mangucap “Gustin tityang Dewa Ratu tityang manunas lungsuran basang tityangé bes layah”.(Bagus Dyarsa, 3b).

Terjemahannya:

‘orangnya sudah tua, kakinya keduanya borok, nanahnya keluar mengalir di kedua kakinya, baunya minta ampun, apalagi ulatnya banyak sekali dikerubuti lalat seperti sarang lebah, matanya yang sudah rabun  kemudian dengan menraba raba dia lalu berjongkok. Wahai Gusti, berikanlah saya makanan, saya sangat lapar’.


Dari kutipan diatas bahwa pengarang melukiskan seorang pengemis yang sangat bau dan kakinya bengkak yang keluar nanah, dan berisi ulat didalamnya. Sebenarnya itu adalah penjelmaan Bhatara Guru yang akan membantu Bagus Dyarsa menjadi seorang raja. Itulah ciri fisik dari pengemis itu jika dilihat dari segi psikologi. Jika dilihat dari sosiologi pengemis itu tinggal di sebuah gunung yang teramat dingin, gunung Kailasa namanya, pengemis itu tinggal sendirian disana sehingga pengemis itu meminta I Wiracitta untuk tinggal bersamanya.

4.1.2.3 Tokoh Pelengkap dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Adapun tokoh pelengkap (komplementer) yang ditampilkan oleh pengarang antara lain: Ni Suddha Jnyāna (sebagai istri Bagus Dyarsa), I Wiracitta (sebagai anak Bagus Dyarsa), Hyang Narada (utusan Bhatara Guru), Ida Gede Siwa Buddha (Brahmana), Anak Agung (Raja), I Gusti Nyoman Samirana dan Gusti Sulaksana (sebagai patih Raja), pejudi (pebotoh), prajurit Raja dan Bhagawan Penyarikan merupakan tokoh pelengkap (komplementer).
Pengarang melukiskan Ni Suddha Jnyāna memiliki sifat penurut kepada suami, tidak pernah menentang kehendak suami. Seperti kutipan berikut:
“Néné istri patibrata anulus nulus kadharmané ajrih ring sang guru laki satata manut kayun Ni Suddha Jnyanāran ipun nene muani masih dharma palapan tekén né eluh sangkan suka makurenan twara taén macengilan”. (Bagus Dyarsa,1b-2a).

Terjemahannya:
‘Istrinya sangat setia dengan suami, selalu menjalankan kewajibannya dan tiada berani menentang si suami, Ni Suddha Jnyanā namanya. Sedangkan suaminya juga sabar dan tidak gegabah  dengan istrinya. Tidak pernah bertengkar’.

Tokoh pelengkap lainnya adalah I Wiracitta merupakan anak dari Bagus Dyarsa. I Wiracitta adalah anak yang selalu berbakti kepada kedua orang tuanya, I Wiracita dari segi fisik baru berusia satu tahun. Karena sifatnya yang sangat sopan sehingga banyak warga yang senang kepadanya. Seperti kutipan berikut:
“Mangelah pyanak muani awukud lintang tutubadah degeng malih ngidhep munyi twara kakéhan laku liu anak padha lulut I Wiracitta arané matuwuh bawu satahun lintang bhakti ring kawitan mangleganin mémé bapa.” (Bagus Dyarsa, 1b).

Terjemahannya:

‘mempunyai seorang anak laki-laki yang sangat penurut, pendiam serta selalu mendengarkan perkataan orang tuanya, sehingga banyak sekali masyarakat yang menyukai I Wiracitta namanya yang baru berumur satu tahun, selalu berbakti kepada orang tua, dan mampu menyenangkan hati ayah dan ibunya’.

Demikian pengarang melukiskan sifat I Wiracitta yang selalu berbakti kepada orang tuanya, tidak pernah berani melawan orang tuanya. Sehingga ayah dan ibunya sangat menyayanginya.
Tokoh pelengkap lainnya adalah Hyang Narada, pengarang melukiskan bahwa Hyang Narada adalah sosok dewa yang menghantarkan I Wiracitta dari surga kepada Bagus Dyarsa. Hyang Narada adalah utusan dari Bhatara Guru.
“Hyang Narada mésem tur amuwus “doning prāpta mangké angater anak ta iki kinéndara Hyang Guru pawekas ira lan ingsun dén katekéng sira mangké apan sira wus amangguh sira anda kawibhawan amuktya ring sura krama. Anak ta angantyana nara tumaka sukaning rāt winari wreténg nāgari wus antya ling Hyang Guru miteket anak ta iku wésaning anglus nāgara sāmpun sinang sayéng tanuduran tan karaksa dénya apan pascat suréng swargga”. (Bagus Dyarsa, 31b-32a)


Terjemahannya:

‘Hyang narada kemudian tersenyum kemudian bersabda: Kedatanganku kemari adalah untuk mengantarkan anakmu kepada dirimu sang raja atas perintah Hyang Guru sebab kamu telah berhasil mencapai segala tujuanmu untuk menjadi raja dan mensejahtrakan rakyatmu kelak anakmu yang akan menggantikannmu untuk menciptakan kesejahtraan rakyat dunia ini sebab beliau Bhatara Guru telah banyak sekali memberikan petuah kepada anakmu dan kamu tiada usah merasa kawatir sebab anakmu telah menjadi orang yang sangat pintar dalam ketatanegaraan, satriya wibawa dalam medan tempur serta pandai mengayomi rakyatmu. Sekarag kamu hendaknya mulai mempersiapkan diri untuk berbuat baik menuju kedamaian’.

Tokoh pelemgkaap selanjutnya adalah Ida Gede Siwa Buddha dalam cerita ini pengarang melukiskan bahwa Ida Gede Siwa Buddha adalah seorang Brahmana. Seperti kutipan berikut:
“Ida Gede Siwa Buddha rawuh ada petang dasa para Santana mangiring sami padha manyabuk mamepes ,masabda alus “duh Gusti Bagus Dyarsa sāmpun mamanjangang sungsut bapa mangaturang awak bapa wantah mangawula. Sakayun-kayun I Gusti nguduh bapa mangiringang tan piwal sadédé singgih” Bagus Dyarsa gumuyu tumuli alon amuwus “sāmpun padandha sangsaya doh manah tityang mamusuh ring ida maha pāndhita padandha patirtan tityang”.(Bagus Dyarsa, 29b)

Terjemahannya:
‘Ida Gede Siwa Buddha kemudian datang bersama dengan empat puluh muridnya. Kemudian datang bersujud  dan memohon ampun. Wahai anakku Gusti Bagus Dyarsa, janganlah engkau mengambil hati atas kejadian ini bapak datang untuk menyerahkan jiwa dan raga untuk menjadi abdimu. Apapun yang ananda Gusti perintahkan, bapak akan melaksanakannya tiada berani menentangnya. Bagus Dyarsa kemudian tersenyum  dan berkata halus; janganlah Ratu Pranda kahwatir, tiada mungkin hamba akan memusuhi seorang Brahmana sebab Brahmana adalah patirtan hamba’.

Dari kutipan diatas jelas bahwa pengarang melukiskan tokoh Ida Gede Siwa Buddha sebagai seorang Brahmana yang menasehati Bagus Dyarsa ketika terjadi suatu konflik. Seorang Brahmana adalah seorang yang bijaksana, yang akan menjadi abdi Bagus Dyarsa beserta dengan murid-muridnya. Tokoh pelengkap selanjutnya adalah Anak Agung sebagai raja yang memerintah di tempat Bagus Dyarsa tinggal. Dari segi psikologi Anak Agung dilukiskan oleh pengarang sebagai seorang raja yang sangat serakah, selain itu raja tidak mencerminkan seorang raja karena selalu berkata-kata kasar kepada raknyatnya. Seperti kutipan berikut:
“I Bagus Dyarsa wenang ya dosa ping kalih dosan nyané sép tedun wenang dosa pitung atus kocap di awig-awigé bwin baan syap nyané anggun masih yogya ka tengahang kocap wenang dosa domas”. “Apang jani jwa manawur yén lebih alebak nikel dadi telung tali”(Bagus Dyarsa, 26b)

Terjemahannya:

‘I Bagus Dyarsa selayaknya di kasi denda dua kali lipat  sebab terlambat datang  patut kena denda tujuh ratus, dan ayamnya yang penakut patut kena denda delapan ratus. Supaya sekarang juga di bayar. Jika tidak dibayar akan dilipat gandakan menjadi tiga ribu’.

Dari kutipan tersebut pengarang menggambarkan Anak Agung sebagai seorang yang sangat serakah, memeras rakyatnya dengan pajak. Keserakahan dari raja tersebut akan membawanya pada kehancuran. Kata-kata kasar yang sering diucapkan sang raja kepada rakyatnya sehingga banyak rakayat yang tidak suka padanya. Setelah Bagus Dyarsa menjadi raja semua rakyat merasa senang.
Tokoh pelengkap selanjutnya adalah Gusti Sulaksana dan Gusti Nyoman Samirana kedua tokoh ini adalah abdi sang raja, yang selalu taat pada perintah raja. Mereka berdua sangat sombong dan angkuh merasa diri menjadi abdi sang raja. Setelah meninggalnya sang raja Gusti Samirana dan Gusti Nyoman Sulaksana dengan kesombongannya ingin menyerang Bagus Dyarsa pada saat itu Bagus Dyarsa berada dirumahnya, sperti kutipan berikut:
“Gusti Sulaksana ngembus duhung miwah Gusti Nyoman Samirana ngunus kris sāmpun manggebug kulkul panjaké teka patlebus sikepé katah mangambyar pajalané pagrubug ngojog umah I Dyarsa sāmpun ngatepang kiteran” (Bagus Dyarsa, 28a-28b).

Terjemahannya:

‘Gusti Sulaksana menghunus pedang dan Gusti Nyoman Samirana menghunus keris, para pengawal telah memukul kentongan. Para pengawal berdatangan dan berbaris untuk menyerang rumahnya Bagus Dyarsa’.

Begitulah diceritakan oleh pengarang bahwa Gusti Sulaksana dan Gusti Nyoman Samirana sangat patuh terhadap rajanya. Seolah-olah membela raja yang sudah tidak benar. Kesombongannya akhirnya tunduk ketika Bagus Dyarsa menunjukkan anugrah dari Bhatara Guru.  Tokoh pelengkap selanjutnya adalah pejudi (pebotoh) di arena perjudian dan memiliki karakter beragam, sebagian besar sifatnya mencela Bagus Dyarsa dan mencainya. Pengarang juga menambahkan prajurit raja yang setia kepadanya, saat sang raja meninggal prajurit ini ingin membalas dendam kepada Bagus Dyarsa tetapi semuanya sia-sia.
Tokoh pelengkap yang trakhir adalah Hyang Penyarikan, pengarang menggambarkan Hyang Penyarikan bertempat di neraka yang bertugas menghukum para atman yang semasa hidupnya melakukan kesalahan kesalahan, selalu berbuat tidak baik. Seperti kutipan berikut:
“Hyang panyarikan muwus “né kita buin katepuk pipil kitané dingehang kita kocapé ne malu mamati wong tanpa dosa laut kita kailangang”. Twara kéto kāndhan bane malu kang atma angucap “duh ratu tityang” panyarikan mawuwus “né pipil kitané katepuk kocap kita bisa ngléyak manaranjana maneluh twara kéto kāndan iba eda iba matilas”. (Bagus Dyarsa, 16b)
Terjemahannya:
‘Hyang penyarikan berkata. ada lagi catatanmu yang saya temukan, kamu dahulu telah membunuh orang tanpa dosa  kemudian kamu kubur semuanya. Bukankah begitu yang kamu telah perbuat dahulu, atman kemudian berkata benar tuanku, Penyarikan berkata saya juga temukan katanya kamu dahulu ngeleyak (black magic) neranjana,  maneluh,  bukankan demikian adanya’

Begitulah pengarang menggambarkan tugas Bhagawan Penyarikan di neraka yang sangat panas, kemudian Bhagawan Penyarikan bertemu dengan Bagus Dyarsa, Bhagawan Penyarikan sudah memiliki catatan tentang riwayat hidup Bagus Dyarsa.
Penokohan dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa terdiri dari Bagus Dyarsa (sebagai tokoh  primer atau utama), Bhatara Guru (sebagai tokoh sekunder) dan tokoh pelengkap (komplementer) yaitu: Ni Suddha Jnyana (sebagai istri Bagus Dyarsa), I Wiracitta (sebagai anak Bagus Dyarsa), Hyang Narada (utusan Bhatara Guru), Ida Gede Siwa Buddha (sebagai Brahmana), Anak Agung (sebagai Raja), Gusti Sulaksana dan Gusti Nyoman Samirana (patih Raja), pejudi, prajurit raja, dan Bhagawan Penyarikan adalah tokoh pelengkap atau komplementer.

4.1.3 Insiden dalam Teks Tutur Bagu Dyarsa
Menurut Panuti Sudjiman (1986: 35-46) Kamus istilah sastra, yang dimaksud istilah insiden adalah suatu kejadian atau pristiwa yang menjadi bagian yang dipilih dari lakuan. Insiden yang dirangkaikan dengan cara tertentu, merupakan episode dalam alur, Berdasarkan pengertian Kamus istilah sastra tersebut, yang dimaksud dengan pristiwa (event) adalah kejadian yang penting, khususnya yang berhubungan dengan atau merupakan akibat peristiwa yang mendahuluinya. Sedangkan lakuan diartikan sebagai deretan peristiwa nyata atau fiksi membangun sebagian alur karya dramatik. Gerak, dialog, dan narasi merupakan lakuan.
Insiden adalah suatu bagian dari struktur cerita yang membentuk suatu karya sastra menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Sukada (1987: 58) menyatakan bahwa insiden adalah kejadian-kejadian atau pristiwa-pristiwa yang terkandung dalam cerita besar atau kecil yang secara keseluruhan membangun atau membentuk struktur cerita. Dari beberapa pengertian insiden dapat disimpulkan bahwa  bagian peristiwa yang terkandung dalam sebuah cerita. Berdasarkan pengertian tersebut inseiden yang membentuk struktur cerita dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa sebagai berikut:
Insiden pertama, ditempat Bagus Dyarsa berjudi sabung ayam (metajen) Bagus Dyarsa membeli makanan karena merasa diri lapar dan hari sudah menjelang sore. Bagus Dyarsa bertemu dengan seorang pengemis yang ingin meminta sisa nasi Bagus Dyarsa. Bagus Dyarsa mengajak makan bersama pengemis itu tanpa rasa ragu, seperti kutipan berikut:
“Angan apisan tong taén ngukup pipisé das onya pitung atus suba bresih enu magantulan satus kasisi klingas klingus déning suba paek sañja mablañja manumbas skul dagangé éncong nadingang lantas mara madaaran. Bau mara mangesop ping telu sagét ada teka gagéndong mangidih-idih matungked pati tuyud mangundit karoso ibus” – (Bagus Dyarsa, 3a)

Terjemahannya:
‘Sekalipun tidak pernah menang, uangnya hampir habis sebanyak 700, sisannya hanya tinggal seratus, lalu dia kepinggir arena kebingungan, sebab sudah agak senja  kemudian membeli nasi, dangangnya dengan sigap mengambilkan lalu Bagus Dyarsa makan, baru memakan tiga suap makanan  lalu datanglah pengemis memakai tongkat dan sudah tua membawa tas dari daun ibus’

Insiden yang ke dua terjadi di rumah Bagus Dyarsa, ketika pengemis itu meminta menginap dirumahnya Bagus Dyarsa karena hari sudah malam dan sesak nafas pengemis itu akan kumat apabila terkena hawa malam yang dingin, Bagus Dyarsa mengijinkannya untuk bermalam dirumahnya, tiba di rumahnya Bagus Dyarsa dibuatkan makanan oleh istri Bagus Dyarsa dan Bagus Dyarsa menyuruh Istrinya utuk memotong seekor ayam sebagai lauk makan malamnya bersama pengemis itu. Pengemis itu meminta agar Bagus Dyarsa mengambilkan bulu ayam tiga helai saja dan diminta untuk menaruh bulu ayam itu di sanggah kemulan.
Pengemis itu berkata pada Bagus Dyarsa bahwa apabila nanti Bagus Dyarsa ingin bertemu dengannya maka bulu ayam itu akan menghantarkan Bagus Dyarsa pada ruma pengemis itu. Pengemis itupun meminta anak Bagus Dyarsa untuk menghantarkan pulang esok harinya. Dan Bagus Dyarsa mengijinka hal tersebut. Adapun kutipan ceritanya sebagai berikut:
“Tumuli usan dané manyekul madaaran sedah i tuwa hamuwus aris “Gusti tityang mahatur né mangkin sāmpun dasdalu dekah tityangé mangentah boya dados tityang mantuk tityang nunas madunungan tityang mapamit né béñjang”. Bagus Dyarsa raris ngajak mantuk, suba teked jumah masan anak ngeñjit sundih Bagus Dyarsa amuwus “Né jani nyai matamyu kema dabdabang manyakan” né eluh éñcong manguup ka paon raris manyakan, Bagus Dyarsa māneman. Satwa tan ikangin tan ikawuh maideh-idehan sagét idup sagét mati anake odah muwus “Gusti tityang lintang lucu agung pinunas tityangé bwat iccan Gustiné nulus anak Gusti tunas tityang ajak tityang mantuk bénjang”. “Pungkur lamun dané sāmpun dugur tityang mangastu kang kalih ngaturang ring Gusti apang wénten manunggu kubun tityangé di gunung kāla tityang nénten jumah tityang jat luwas manganggur ka sisin tukadé kaja ngalih Ong pacang janganan”. (Bagus Dyarsa, 4a-4b)



Terjemahannya:
‘setelah makan lalu memakan sirih, sang kakek lalu berkata pelan, wahai Gusti, saya rasa sudah akan malam, sesak nafasku kumat, saya tidak bisa pulang, ijinkanlah saya bermalam  dirumah tuan, saya akan pulang besok pagi. Kemudian Bagus Dyarsa lalu membawa kakek itu pulang, setelah sudah sampai dirumah sudah saatnya menyalakan lampu. Bagus Dyarsa berkata, wahai adinda, ini ada tamu, cepatlah adinda siapkan makanan, cepatlah memasak, istrinya kemudian pergi kedapur kemudian menanak nasi, Bagus Dyarsa kemudian bercengkrama dengan pengemis tersebut, ngalor ngidul, setelah itu kemudian berkatalah pengemis tersebut, wahai gusti kalau diijinkan hamba memohon dengan sangat kerelaan Gusti untuk memberikan anakmu  untuk saya ajak besok, nanti apabila sudah dewasa saya akan memberikan kembali kepada Gusti, sebab supaya ada yang menunggui rumah saya di pegunungan pada saat saya pergi dan tidak ada dirumah, tatkala saya pergi mencari jamur untuk lauk’

Insiden yang ketiga di bawah pohon jambu dalam cerita ini terjadi pada saat I Wiracitta ikut berjalan kerumah pengemis itu, setelah melewati jarak yang begitu jauh I Wiracitta melihat kejadian aneh pada pengemis itu, seolah-olah pengemis itu berjalan tanpa ada halangan sedikitpun padahal dia sudah tua jalan yang di tempuh sangat sulit batu cadas yang sangat berbahaya ditepi jurang. Tibalah mereka pada peristirahatan, mereka duduk diatas batu dibawah pohon jambu disanalah pengemis itu menunjukkan dirnya adalah seorang dewa. Beliau bernama Bhatara Guru. Adapun kutipan adalah sebagai berikut:
“Marérén negak di duur batu di batan nyambuné anaké odah mamunyi “né apang tau, kaki dong manusa tau kaki Sanghyang Guru Déwa mapinda jalema bungkut” tumuli masalin warnna Tri Nayana Catur Bhuja. I Wiracitta nikel ping telu mendek angaksama ring pada Bhatara asih ring hina guna kolug tan wruhing sor pangaluhur apan manusa jatiné lingira Sanghyang amuwus karaningsun apinda janma tumeduning Madhya Loka.”(Bagus Dyarsa, 6b-7a)

Terjemahannya:
‘Kemudian beristirahat duduk diatas batu  dibawah pohon jambu, kakek itu berkata, wahai engkau, kakek sebenarnya bukanlah manusia, kakek adalah Sang Hyang Guru Dewa yang menjelma menjadi seorang kakek yang bungkuk, lalu kakek itu berubah wujud menjadi manusia bermata tiga bertangan empat, I Wiracitta kemudian bersujud tiga kali dan memohon ampun  karena beliau berkenan kepada manusia yang hina, yang tidak tahu mana yang tinggi dan rendah, sebab merasa sebagai manusia hina, sang Hyang Bhatara berkata, yang menyebabkan aku turun kedunia menjelma menjadi manusia’.

Insiden yang keempat yang terdapat pada Teks Tutur Bagus Dyarsa yaitu pada saat I Wiracitta berada di jagat Siwaloka bersama Bhatara Guru. I Wiracitta merasa sangat heran akan kemegahan jagat Siwaloka, dirinya dapat menyaksikan seluruh sthana semua para dewa yang begitu megah dan menakjubkan. I Wiracitta dibersihkan secara lahir dan batin untuk layak bersanding dengan semua yang ada di jagat Siwaloka. Selain itu I Wiracitta akan diajarkan banyak mengenai ajaran kebenaran oleh Bhatara Guru supaya menjadi raja yang bijaksana nantinya setelah menggantikan Bagus Dyarsa. Adapun kutipan sastranya adalah sebagai berikut:
“IWiracitta né nguri muksah amoring awun hilang katot tan kaduluha dasa muhur ta mangké katon ring purwwa samunuh kang swargga ring siwapada téjané abhra dumilah. Sang sapta resi adulur-dulur amapag Bhathāra widhyadara widhyadari sapta resi gumuruh sangkā sineranging garantung sāmpun prapta ring bacñingah alungguh Hyang Déwa Guru ring padma mina-sutéja pinareking widhyadara. Sang sapta resi awéda humung padha ngastungkara angaturakna wajik tangan kālawan suku gandhaning dhupa merik arum apan mangkana tingkahé ring kadéwatan winuwus IWiracitta kawengan apaning tembé umulat. Tumuli angucap Sanghyang Guru watek resi kabeh lah dyusen reké wong iIdidiné mari letuh wenang hana sapalungguh kālawaning widhyadara sang sapta resi hanuun tumuli ginawa ring lwah suranadi dinyusan” (Bagus Dyarsa, 7a-7b)

Terjemahannya:
‘I Wiracitta yang berada dibelakangnya seolah olah lenyap ditelan kabut tiada terasa telah melewati sepuluh lapis alam, kemudian disebelah timur maka terlihatlah sorga di jagat Siwaloka, yang bersinar terang. Sang Sapta Rsi kemudian beriringan menyambut Bhatara diiringi oleh widyadara widyadari, Sapta Rsi dengan gemuruh menyampaikan puja  hingga mereka sampai di kedaton dan duduk, Hyang Dewa Guru kemudian duduk diatas   sebuah teratai yang bersinar dengan diapit oleh widyadara widyadari. Sang Sapta Rsi kemudian menyampaikan puja mantra dan membersihkan kaki tangan beliau, bau dupa yang harum semerbak, sebab seperti itulah tata cara di kedewatan, Berkatalah I Wiracitta sambil terkagum kagum sebab baru pertama kali melihat. Kemudian berkatalah Sang Hyng Guru, para Rsi semuanya, bersihkanlah dahulu tubuh orang ini sebab sekarang masih dalam keadaan kotor sebelum layak duduk bersanding dengan widyadara widyadari, Sang Rsi kemudian semuanya menyembah lalu membawa Iwiracitta ke sungai dan pancoran kemudian di mandikan’.

Insiden kelima, setelah membuat alun-alun di desa sang raja akan mengadakan sabung ayam yang berkaitan dengan upacara. Bagus Dyarsa diperintahkan oleh sang raja agar bertaruh dengannya sebanyak tigaratus ribu. Merasa diri seorang yang miskin ia merenung, dan teringatlah kepada kata-kata pengemis itu, segeralah Bagus Dyarsa berpamitan kepada istrinya dan mencabut bulu ayam yang ditaruhnya di sanggah kemulan. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“Bagus Dyarsa jani kawuwus sedek wwang désané bau suwud maaci-aci manyujukan tatarub twi wawidén anak agung uran metoh palaksayan Bagus Dyarsa kawuwus kawidhi mangadu uran apang metoh tigang laksa. Bagus Dyarsa bahané kerud mangrasa kadosén bane tiwas ngalisting inget tekén anaké berung mamunyi tekén né luh “ira manipalimunan pacang ring anaké berung ngalih syap pacang uran nyai jumah apang melah”. (Bagus Dyarsa, 12a)

Terjemahannya:

‘Diceritakan sekarang Bagus Dyarsa, tatkala orang orang desa semuanya baru selesai melaksanakan upacara persembahan mendirikan alun alun, pada saat itu dilaksanakan sabungan ayam, anak Agung berratus ratus ribu. Bagus Dyarsa sekarang di perintahkan oleh sang raja supaya bertaruh dengan sang raja tiga ratus ribu. Bagus Dyarsa karena merasa dirinya orang miskin dan tiada mempunyai uang sebanyak itu. kemudian dia termenung. Pada saat itu teringat akan perkataan pengemis itu. Dia berpamitan dengan istrinya’.

Insiden keenam, terdapat pada perjalanan Bagus Dyarsa ke rumah pengemis itu hingga sampai pada tempat Bhatara Guru untuk meminta ayam yang akan di adu dengan sang raja. Dalam perjalanannya Bagus Dyarsa menemukan hal-hal aneh, semakin jauh ia berjalan semakin aneh perjalanan yang ia temukan, dan sampailah ia pada tempat yang tidak dikenalnya, tidak ada perbukitan yang terlihat, yang ada hanyalah langit dan tanah sejauh mata memandang. Banyak atman yang dilihat Bagus Dyarsa yang kepanasan dan menderita disana. Selanjutnya bagus Dyarsa terus berjalan menuruti terbangnya bulu ayam tersebut, setelah melewati ribuan atma yang tersiksa Bagus Dyarsa sampai pada tempat Bhatara Guru tinggal, Bagus Dyarsa beristirahat da luar (jaba) sedangkan bulu ayam yang diikutinya masuk kedalam (jroan). Bhatara Guru ingat akan Bagus Dyarsa menunggunya di luar sehingga Bhatara Guru meminta I Wiracitta untuk menemui ayahnya. setelah mendengar cerita dari anaknya Bagus Dyarsa masuk menemui Bhatara Guru, banyak sekali dialog antara Bhatara Guru dengan Bagus Dyarsa dan juga Bagus Dyarsa diberikan banyak wejangan-wejangan tentang ajaran kebenaran. Setelah menerima banyak wejangan dari Bhatara Guru kemudia diberikanlah ayam dan juga intan untuk bertaruh melawan sang raja.
Insiden ketujuh, sembilan hari lamaya setelah Bagus Dyarsa dianugrakan seekor ayam oleh Bhatara Guru diadakan sabung ayam berkaitan dengan upacara karena warga desa baru selesai mendirikan alun-alun. Sang raja telah datang untuk berjudi begitu juga dengan para pejudi lainnya. Bagus Dyarsa juga hadir membawa ayam yang ketakutan (jerih), karena semua pebotoh yang mengejeknya maka Bagus Dyarsa berkata, siapaun kalau ayamnya galak akan dilawan termasuk manusia dan Bagus Dyarsa akan bertaruh satu kendi berlian. Mendengar hal tersebut raja mencoba meminjam ayam Bagus Dyarsa, tiba-tiba ayam yang takut menjadi galak mematuk dan mencakar sang raja. karena tidak memungkinkan manusia melawan seekor ayam, maka sang raja mengambilkan ayam miliknya untuk diadu dengan ayam Bagus Dyarsa. setelah di adu ayam Bagus Dyarsa ketakutan dan lari kesana-kemari sang raja tertawa beserta para pebotoh lainnya tanpa disangka ayam Bagus Dyarsa menerjang ayam sang raja hingga mati, setelah itu ayam Bagus Dyarsa menyerang raja dan terluka di bagian lambungnya raja itu akhirnya tewas. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“ngilgil mangelébang syap sāmpun syapé jerih kaburu mailehan ring kalangan suraké mambata rubuh I Gusti Agung manyurak maméngkéng ngagem sasatang. Di pahyunané I Gusti Agung mabalik syapé manarung ngruket manggitik matiné ijo sangkur I Gusti Agung kajuluk kni telek ring lambungé tumuli tiba kahantu paramancané rantaban manulung ada manyundang. Katungkul mabyoyongan muug pada kamemegan Bagus Dyarsa kasisi mirahé kasaup kadut manyarengseng lantas mantuk syapé nambung gagana manutug uli di pungkur teked jumah masalinan lantas nugel patin tumbak. Kocap anaké batan tatarub padha makolongan Gusti Agung karempegin panyampi akéh rawu pambabayon tetep bayuha damang engkahin karnna pramanané sayan surud Gusti Agung sāmpun lebar elingé kadi ampuhan”.(Bagus Dyarsa, 28a)

Terjemahannya:

‘dengan pura pura takut gemetaran melepaskan ayamnya setelah ayamnya terlihat takut dikejar kesana kemari mengitari arena sabungan tersebut, sangat riuh sorak sorai penonton, Sang raja kemudian bersorak  berteriak memegang sasatang. suatu ketika ayamnya berbalik  menerjang ayam ijo sangkur sang raja hingga mati ayam tersebut menyerang sang raja, sang raja kena taji dibagian lambungnya  dan roboh. Dengan dibantu oleh pengawalnya yang segera menolong  sebab terkejut. Bagus Dyarsa kemudian mengambil mirah tersebut kemudian pulang sembunyi sembunyi, ayamnya mengikuti terbang dibelakangnya. sesampainya dirumah kemudian mengganti baju kemudian memotong tangkai tombak diceritakan orang orang di arena pesabungan ayam kemudian memapah sang raja memberikan obat penawar, karena hasil perbuatannya  maka semakin lemahlah keadaan sang raja kemudian meninggal, ingatannya juga telah lenyap’.

Insiden kedelapan yaitu ketika rapat dengan rakyatnya Bagus Dyarsa terlihat sangat tenang, murah senyum yang sangat berbeda dengan raja yang terdahulu sehingga rakyat merasa sangat senang, adapun kutipannya adalah sebagai berikut:
“tingkah dané Gusti Bagus munggwing panangkilan somya srenggarā manis ngandika sungsung guyu tan wénten reged mwang jendul jati twah jana nuraga asing pangandika metu mangleganin panangkilan nyandang mamuterang jagat. Magenton paséngan Gusti Bagus né mangkin maparab Gusti Agung niti yukti réh pangrawosé paguh twara bisa kasalimur rajah satwa pandadiné sangkan manemu rahayu wyakti dulurin bhathara sangkan bagyané mangledag” (Bagus Dyarsa, 30b)

Terjemahannya:

‘Sekarang diceritakan mengenai tingkah sang raja pada saat di datangi oleh rakyatnya. Sang raja pada saat di depan rapat sangat tenang, murah senyum  dan berkata dengan diiringi senyuman  tiada kekotoran  dan tiada halangan. benar benar seorang raja yang sangat mulya segala yang dikatakannya selalu membuat rakyat senang, dalam rapat tentang kemakmuran rakyat. Kemudian beliau berganti gelar  gusti bagus sekarang bernama I Gusti Agung Niti Yukti, sebab segala yang dikatakannya selalu teguh tiada bisa dipengaruhi  rajas satwam yang menjadikan rakyat sejahtra apalagi di ayomi oleh dewa. itulah yang menyebabkan rakyat bahagia’

Insiden yang terakhir ditempat kerajaan Bagus Dyarsa, Hyang Narada akan membawa Bagus Dyarsa dan istrinya untuk tinggal di surga bersama para dewa, sedangkan I Wiracitaa akan menjadi raja meneruskan ayahnya. berikut kutipannya:
“Kyayi agung diniksan wus puput sareng istrinira antuk Hyang Narada iIring Swargga wenang alungguh nyaput menge tan winuwus wenang tan manjanma muwah respati awésa wiku sāmpun aparab Bhagawān “Bhagawān Mrettalociha”. Punang istri inugrahan sāmpun paparabé mangké Bhathara Nayopasuci. IWiracitta sāmpun mangké biniséka ratu nenggih nama-kretinira kaprakaséng para ratu Prabhu Wijaya Kusuma byakta makasukaning rat.” (Bagus Dyarsa, 32b-33a)


Terjemahannya:

‘Kyayi Agung (Bagus Dyarsa) telah selesai diberikan Upacara Diksa  bersama dengan istrinya  oleh Hyang Narada engkau sudah sepatutnya tinggal di sorga  menjadi hamba dan tiada balik lagi menjelma menjadi manusia dari sekarang telah menjadi bhagawanta dengan gelar “Bhagawan Mrettalociha”. demikian juga denga istrinya diberi gelar Bhatara Nayopasuci. Sedangkan I Wiracitta telah dinobatkan menjadi raja  dan diberi upacara panjaya jaya  dan disaksikan oleh seluruh rakyat dengan gelar Prabhu Wijaya Kusuma’.


4.1.4 Alur / Plot dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa

Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang yang amat erat berkaitan, sehingga keduanya tidak mungkin dipisahkan. Bahkan lebih dari itu objek pembicaraan cerita dan plot/alur boleh dikatakan sama. Baik cerita maupun plot sama-sama mendasarkan diri pada rangkaian pristiwa, sebagaimana yang disajikan dalam sebuah karya (Nurgiantoro, 2000: 94). Selanjutnya Esten Mursal (1984: 39-40) berpendapat bahwa alur merupakan bagian dari struktur sebuah cerita rekaan. Sebagai unsur dari sebuah karya sastra, maka alur juga mempunyai kaitan dengan unsur-unsur struktur lainnya, termasuk dengan amanat, karya sastra tersebut. Salah satu bentuk hubungan dengan bentuk struktur-struktur yang lain adalah seperti hubungan pristiwa dengan tokoh, pristiwa terjadi karena aksi dari tokoh-tokoh.
Sukada (1982: 24) berpendapat bahwa alur merupakan lanjutan dari insiden, alur mendukung dan menyimpulkan kepada setiap pembaca mengenai logis tidaknya insiden. Sementara itu Suharianto (1982: 29) menyatakan bahwa alur menurut jenisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu alur rapat dan alur longgar. Alur rapat adalah apabila dalam suatu cerita perkembangannya hanya terpusat pada satu tokoh. Sedangkan alur longgar adalah apabila dalam suatu cerita selain ada perkembangan cerita yang berkisar pada tokoh utama ada pula perkembnagan tokoh-tokoh yang lain.
Suatu cerita pada garis besarnya dapat dibagi menjadi lima bagian yang mengikuti pola tradisional dengan unsur-unsurnya seperti: (1) Eksposition yaitu pengenalan para tokoh, pembukaan hubungan menata adegan, menciptakan suasana, penyajian sudut pandang. (2) Complication yaitu pristiwa permulaan yang menimbulkan beberapa masalah kesukaran. (3) Rising Action yaitu mempertinggi atau meningkatkan perhatian kegembiraan, kehebohan, saat bertambahnya kesukaran atau kendala-kendala. (4) Turning Poin yaitu krisis atau klimaks, titik emosi dan perhatian yang paling besar serta mendebarkan. Ending yaitu penyelesaian pristiwa-pristiwa bagaimana caranya para tokoh dipengaruhi dan apa yang terjadi atas diri mereka masing-masing (Tarigan, 1984: 151).
Dari pengertian tersebut diatas maka plot adalah unsur penggerak atau perangkai sebuah cerita, suatu sebab yang menimbulkan akibat dan terlahirnya suatu peristiwa baru merupakan pengertian dari plot dengan demikian plot dapat menimbulkan ketegangan dalam cerita, sehingga menarik perhatian pembaca untuk bergerak menuntaskan membaca suatu karya sastra.  Berdasarkan pengertian tersebut maka alur yang terdapat dalam teks Tutur Bagus Dyarsa bergerak lurus, yaitu berawal dari pertemuan Bagus Dyarsa dengan seorang pengemis  (eksposisi) di sebuah arena sabung ayam, yang ingin meminta sisa makanan Bagus Dyarsa, dan pada akhirnya meminta anak Bagus Dyarsa. Bagus Dyarsa melayani pengemis itu dengan baik. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“Angan apisan tong taén ngukup pipisé das onya pitung atus suba bresih enu magantulan satus kasisi klingas klingus déning suba paek sañja mablañja manumbas skul dagangé éncong nadingang lantas mara madaaran. Bau mara mangesop ping telu sagét ada teka gagéndong mangidih-idih matungked pati tuyud mangundit karoso ibus anak bungkut suba tuwa batis maka dadwa berung mecat banyahé macatcat ebone banges malekag. Uled nyané liu paklejuh buyung masliweran buka nyawané ngababin plis matané liu macéhcéh marabu-rabu manyongkok raris mangucap “Gustin tityang Dewa Ratu tityang manunas lungsuran basang tityangé bes layah”. Bagus Dyarsa mamunyi alus “mai ké menékan” bareng madaar kaki I tuwa lingña alus “tityang mindah Déwa ratu tityang manunas lungsuran” Bagus Dyarsa masahut “Nah kaki mai menékan bareng kén tityang madaar”. “Apan tityang kaki saja tanruh tan hina wang wangsā tanruh ring sor pangālewih lagut kakiné gudgud tuwa bungkut bwin berung kémad saja baan tityang mambahang kaki manglungsur” tumuli raris kajemak kapradi kājak menékan. “Tabé tityang Gusti Déwa Ratu tityang janma jelé” Bagus Dyarsa nyautin “manegak kaki ditu tumuli bareng manyekul” dagangé mangadésemang ngelén mata mecik cunguh” (Bagus Dyarsa, 3a-3b)

Terjemahannya:

‘Sekalipun tidak pernah menang, uangnya hampir habis sebanyak 700, sisannya hanya tinggal seratus, lalu dia kepinggir arena kebingungan, sebab sudah agak senja  kemudian membeli nasi, dangangnya dengan sigap mengambilkan lalu Bagus Dyarsa makan, baru memakan tiga suap makanan  lalu datanglah pengemis memakai tongkat dan sudah tua membawa tas dari daun ibus (dedaunan)  orangnya sudah tua, kakinya keduanya borok, nanahnya keluar mengalir di kedua kakinya, baunya minta ampun, apalagi ulatnya banyak sekali dikerubuti lalat seperti sarang lebah, matanya yang sudah rabun  kemudian dengan menraba raba dia lalu berjongkok. Wahai Gusti, berikanlah saya makanan, saya sangat lapar. Bagus Dyarsa lalu berkata duduklah disini kek, bareng-bareng makan dengan saya, kakek itu berkata halus, saya tidak berani tuan saya hanya meminta sisa nasi tuan, Bagus Dyarsa berkata, wahai kakek, kemarilah duduklah diatas dan mari makan bersama saya. Apakah yang menyebabkan kakek ragu tidak ada manusia yang hina, tidak ada yang dibawah, walaupun kakek orang tua yang sudah bongkok dan banyak borok, saya merasa berdosa apabila memberikan kakek sisa makanan dari saya. Kemudian kakek itu di papahnya kemudian diajak keatas, maafkanlah kakek wahai anak muda kakek adalah orang hina. Bagus diharsa berkata, duduklah disana makanlah bersama saya. Dagangnya kemudian tersenyum kecut sambil memegang hidungnya’.

Alur selanjutnya complication  yaitu Bagus Dyarsa diperintahkan oleh sang raja untuk bertaruh sebesar tigaratus ribu, merasa diri miskin lalu Bagus Dyarsa meminta bantuan kepada pengemis yang meminta anaknya itu. adapun kutipannya sebagai berikut:
“Bagus Dyarsa jani kawuwus sedek wwang désané bau suwud maaci-aci manyujukan tatarub twi wawidén anak agung uran metoh palaksayan Bagus Dyarsa kawuwus kawidhi mangadu uran apang metoh tigang laksa. Bagus Dyarsa bahané kerud mangrasa kadosén bane tiwas ngalisting inget tekén anaké berung mamunyi tekén né luh “ira manipalimunan pacang ring anaké berung ngalih syap pacang uran nyai jumah apang melah”. Tan kocap wengi daslemah sāmpun I Bagus Dyarsa makikén jani mamargi ka sanggah lantas nyjemut bulun syapé tatelu teked di marggané gedé léb angin maka tatelu nyeler ya ngaja kanginang Bagus Dyarsa nuutang” (Bagus Dyarsa, 12a-12b)

Terjemahannya:

‘Diceritakan sekarang Bagus Dyarsa, takkala orang orang desa semuanya baru selesai melaksanakan upacara persembahan mendirikan alun alun, pada saat itu dilaksanakan sabungan ayam, anak Agung ber ratus ratus ribu. Bagus Dyarsa sekarang di perintahkan oleh sang raja supaya bertaruh dengan sang raja 3 ratus ribu. Bagus Dyarsa karena merasa dirinya orang miskin dan tiada mempunyai uang sebanyak itu . kemudian dia termenung. Pada saat itu teringat akan perkataan pengemis itu. Dia berpamitan dengan istrinya. Wahai adinda besok fajar kanda akan kerumahnya pengemis itu untuk meminta ayam. Dinda tinggallah dirumah dengan baik. Tiada diceritakan lagi paginya saat fajar mulai menyingsing, Bagus Dyarsa bersiap siap akan berangkat. Kemudian dia kesanggah  kemudian mencabut tiga batang bulu ayam yang ada di sanggah, setelah sampai di pinggir jalan bulu ayam tersebut dilepaskan. Bersamaan dengan itu datang angin yang menerbangkan bulu ayam tersebut kearah tenggara. Bagus Dyarsa kemudian mengikuti terbangnya bulu ayam tersebut’.

Dari kutipan diatas terlihat bahwa Bagus Dyarsa sedang menuju rumah pengemis itu untuk meminta seekor ayam yang akan diadu sesuai perintah raja. setelah sampai pada rumah seorang pengemis itu, Bagus Dyarsa bertemu dengan anaknya I Wiracitta dan I Wiracitta menceritakan semua kepada ayahnya bahwa sebenarnya pengemis itu adalah Bhatara Guru. Setelah mendapatkan banyak wejangan dari Bhatara Guru Bagus Dyarsa diberikan seekor ayam beserta dengan berlian sebagai taruhannya untuk melawan raja yang sombong dan juga angkuh.
Alur selanjutnya yaitu terjadi suatu peristiwa ayam Bagus Dyarsa yang dianugrahkan oleh Bhatara Guru mengalahkan ayam milik raja sekaligus menyerang raja hingga raja tewas. Adapun kutipannya adalah sebagai berikut:
“Di pahyunané I Gusti Agung mabalik syapé manarung ngruket manggitik matiné ijo sangkur I Gusti Agung kajuluk kni telek ring lambungé tumuli tiba kahantu paramancané rantaban manulung ada manyundang. Katungkul mabyoyongan muug pada kamemegan Bagus Dyarsa kasisi mirahé kasaup kadut manyarengseng lantas mantuk syapé nambung gagana manutug uli di pungkur teked jumah masalinan lantas nugel patin tumbak. Kocap anaké batan tatarub padha makolongan Gusti Agung karempegin panyampi akéh rawu pambabayon tetep bayuha damang engkahin karnna pramanané sayan surud Gusti Agung sāmpun lebar elingé kadi ampuhan” (Bagus Dyarsa, 28a)

Terjemahannya:

‘suatu ketika ayamnya berbalik  menerjang ayam ijo sangkur sang raja hingga mati ayam tersebut menyerang sang raja, sang raja kena taji dibagian lambungnya  dan roboh. Dengan dibantu oleh pengawalnya yang segera menolong  sebab terkejut. Bagus Dyarsa kemudian mengambil mirah tersebut kemudian pulang sembunyi sembunyi, ayamnya mengikuti terbang dibelakangnya. sesampainya dirumah kemudian mengganti baju kemudian memotong tangkai tombak diceritakan orang-orang di arena sabungan ayam kemudian memapah sang raja memberikan obat penawar, karena hasil perbuatannya maka semakin lemahlah keadaan sang raja kemudian meninggal, ingatannya juga telah lenyap’.

Kutipan diatas menerangkan bahwa seorang raja yang angkuh dan sombong telah dikalahkan oleh Bagus Dyarsa dan kemudian Bagus Dyarsa dinobatkan menjadi raja dengan gelar I Gusti Agung Niti Yukti.

4.1.5 Latar dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Menurut Sudjiman (1986: 46) latar adalah suatu keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana trerjadinya lakuan dalam karya sastra. Berbeda dengan Atmazaki (1990: 62) mengatakan bahwa latar dalam karya sastra adalah tempat atau suasana lingkungan yang mengenai pristiwa. Didalamnya menyangkut lokasi pristiwa, lokasi suasana, sosial budaya setempat, dan bahkan semua hati tokoh. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa dalam karya sastra latar tidak mesti realistis objektif, tetapi bisa menjadi realitas imajinatif.
 Sutrisno dalam Duani (2013: 69) menyatakan bahwa, secara terperinci latar meliputi: penggambaran lokasi geografis termasuk topografi, pandangan sampai kepada perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari, agama, moral, intelektual, sosial emosional para tokoh. Adapun latar yang diambil dalam teks Tutur Bagus Dyarsa  yaitu di kamar rumahnya, saat Bagus Dyarsa tidak dapat hadir pada judi sambung ayam yang diadakan oleh sang raja. Bagus Dyarsa tidak memiliki uang untuk bertaruh. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“Bagus Dyarsa kocap ida jumah medem malingkuh bāné twara ngelah gelar makabun mamati awak” (Bagus Dyarsa, 2b)

Terjemahannya:
‘diceritakan Bagus Dyarsa dirumahnya tidur  sebab tiada memiliki bekal untuk berjudi lalu dia menutupi dirinya dengan selimut’.

Latar selanjutnya, di arena sabungan ayam tempat bertemunya Bagus Dyarsa dengan penjelmaan Bhatara Guru sebgai pengemis, adapun kitipannya sebgai berikut:
“mangojog batan tatarub déning kidik makta gelar majujuk metoh mamujang. Angan apisan tong taén ngukup pipisé das onya pitung atus suba bresih enu magantulan satus kasisi klingas klingus déning suba paek sañja mablañja manumbas skul dagangé éncong nadingang lantas mara madaaran. Bau mara mangesop ping telu sagét ada teka gagéndong mangidih-idih matungked pati tuyud mangundit karoso ibus” (Bagus Dyarsa, 3a)

Terjemahannya:

‘dia lalu berdiri dibawah wantilan sebab merasa dirinya sedikit membawa modal, lalu berdiri bertaruh sedikit sedikit. Sekalipun tidak pernah menang, uangnya hampir habis sebanyak 700, sisannya hanya tinggal seratus, lalu dia kepinggir arena kebingungan, sebab sudah agak senja  kemudian membeli nasi, dangangnya dengan sigap mengambilkan lalu Bagus Dyarsa makan, baru memakan tiga suap makanan  lalu datanglah pengemis memakai tongkat dan sudah tua membawa tas dari daun ibus’.

Latar selanjutnya dirumah Bagus Dyarsa, pengemis tersebut ingin menumpang untuk menginap semalam, dan meminta anak Bagus Dyarsa, adapun kutipannya sebagai berikut:
“Gusti tityang mahatur né mangkin sāmpun dasdalu dekah tityangé mangentah boya dados tityang mantuk tityang nunas madunungan tityang mapamit né béñjang” (Bagus Dyarsa, 4a)

Terjemahannya:
‘wahai Gusti, saya rasa sudah akan malam, sesak nafasku kumat, saya tidak bisa pulang, ijinkanlah saya bermalam  dirumah tuan, saya akan pulang besok pagi’.

Latar selanjutnya menjelang pagi, ketika pengemis dan I Wiracitta akan menuju ke Kailasa, berikut kutipannya diceritaka udara yan teramat dingin, mereka berdua memulai perjalanannya ke arah selatan, berikut kutipannya:
“suba ada budaslemah galang bulan ngalemahang. Anaké odah bangun manundun “cai Wiracitta lan ké majalan jani” I Wiracitta bangun ngojog ka natahé tuun manyongkok maharep kaja manyumbah ring bapa ibu tumuli raris majalan marérod bareng ngajanang, di marggané suwung tistis sampun suba liwat désa pajalanné beneh kangin carik abyan kapungkur tegal padasan kalangkung nyujur kawéra janggala galang kangin kedis muug tadaasih amlasar sake kéré ngatag rahinā. Tuhu-tuhuné sawat karungu kété-kété carukcuk munyi anguci raris munggah ka gunung-gunung kékélasa aran ipun marggané liked” (Bagus Dyarsa, 6a-6b)

Terjemahannya:
‘kira kira menjelang pagi, bulan bersinar hampir pagi, kakek itu bangun, orang tua itu membangunkan I Wiracitta wahai Wiracitta sekarang bangunlah, I Wiracitta bangun kemudian berjongkok memberikan sembah kepada ayah ibunya, menghadap keselatan, kemudian mereka pergi bersamaan kearah selatan di perjalanan yang terasa sepi, setelah melewati desa perjalanannya menuju ketimur, sawah tegalan terlewati, tegalan, batu cadas teramat curam, yang temaram menjelang pagi suara burung kedasih yang berkicau seolah olah mengantarkan kedatangan pagi, burung tuu-tuu  yang terdengar sayup sayup, burung cerukcuk terdengar berkicau kemudian terbang ke gunung gunung ke Kelasa namanya yang amat sulit’

Latar selanjutnya dibawah pohon jambu, disanalah Bhatara Guru menunjukkan kepada I Wiracitta bahwa pengemis itu adalah jelamaan Bhatara Guru, berikut kutipannya:
“Marérén negak di duur batu di batan nyambuné anaké odah mamunyi “né apang tau, kaki dong manusa tau kaki Sanghyang Guru Déwa mapinda jalema bungkut” tumuli masalin warnna Tri Nayana Catur Bhuja. I Wiracitta nikel ping telu mendek angaksama ring pada Bhatara asih ring hina” (Bagus Dyarsa, 6b)

Terjemahannya:
‘Kemudian beristirahat duduk diatas batu  dibawah pohon jambu, kakek itu berkata, wahai engkau, kakek sebenarnya bukanlah manusia, kakeh adalah Sang Hyang Guru Dewa yang menjelma menjadi seorang kakek yang bungkuk, lalu kakek itu berubah wujud menjadi manusia bermata tiga bertangan empat, I Wiracitta kemudian bersujud tiga kali dan memohon ampun  karena beliau berkenan kepada manusia yang hina,’

Latar selanjutnya di sorga, I Wiracitta sangat takjub dengan kemegahan istana para dewa,
“I Wiracitta mangké winuwus wonten ikang swargga suka tan pabalik rusit, sainga langlang kalangun suka amangan anginum anonton tang swargga kabéh” (Bagus Dyarsa, 8a)

Terjemahannya:
‘I Wiracitta sekarang diceritakan yang berada di sorga, senangnya tiada terkira, setiap saat menikmati keindahan dengan bahagia, makan dan minum  sambil menikmati keindahan sorga’.

Latar selanjutnya perjalanan Bagus Dyarsa menuju Kailasa tempat pengemis intuk untu meminta seekor ayam, dalam perjalanannya Bagus Dyarsa menemukan banyak kejanggalan-kejanggalan, dan pada akhirnya Bagus Dyarsa sampai pada tempat yang tidak ia kenal, disanan Bagus Dyarsa menemukan banyak sekali roh-roh atau jiwa-jiwa manusia yang sedang dihukim karena perbuatannya. Berikut kutipannya:
“Suba liwat gunungé papitu manggih tegal linggah sawat kauh sawat kangin kaja kelod ngalintung twara ada pati kayu padhang tekaning ambengan twara ada ngenah gunung sok langit tkaning tanah nyané apalyat. Atmané liyu ditu katepuk soroh watek papa kapanasan” (Bagus Dyarsa, 12b)

Terjemahannya:
‘setelah melewati tujuh buah gunung  dia melihat ada tegal yang sangat luas dan jauh  sekali, di sisi utara, selatan, sisi timur dan di sebelah baratnya tiada menemukan sebatang kayupun yang tumbuh. Yang ada hanyalah hamparan rumput ilalang yang snagt luas , tiada terlihat  puncak gunung, yang ada hanyalah tanah dan langit  sejauh memandang. Disanalah dia menemukan banyak sekali roh roh yang menderita  kepanasan’

Selanjutnya mengambil latar jagat Siwaloka di tempat Bhatara Guru, Bagus Dyarsa sampai pada tempat Bhatara Guru di Kailasa yang merupakan sebuah sorga yan indah, disanalah Bagus Dyarsa menerima wejangan-wejangan suci dari Bhatara Guru. Berikut kutipannya:
“Bhathara ngandika aris “teka ko iba bagus apa gawén bane” rawuh Bagus Dyarsa manyumbah mepes tumuli mahatur “tityang parek ring Bhathara misadya nunas lungsuran”. “Antuk tityang né mangkin kalentuk kakninin uran wawidén metoh akti antuk I gusti agung”(Bagus Dyarsa, 21a)

Terjemahannya:
‘Bhatara bersabda. selamat atas kedatangannmu, lalu apakah tujuanmu dating kemari, kemudian bagis diarsa menyumbah serta berkata: hamba dating kemari tiada lain untuk meminta anugrahmu. Sebab hamba sekarang di jagat pada hamba dipaksa untuk membayar urunan untuk bertaruh sebanyak satu keti  olih I Gusti Agung’.

Setelah Bagus Dyarsa mendapatkan anugrah dari Bhatara Guru sembilan hari kemudian datang perintah dari raja untuk mempersiapkan taruhan dan ayam aduan melawan ayam sang raja. Di arena sabung ayam menjadi latar ketika Bagus Dyarsa mengadu ayam yang diberikan Bhatara Guru melawan ayam sang raja, ayam Bagus Dyarsa berhasil mengalahkan ayam sang raja sekaligus membunuh raja tersebut. Berikut kutipannya:
“Di pahyunané I Gusti Agung mabalik syapé manarung ngruket manggitik matiné ijo sangkur I Gusti Agung kajuluk kni telek ring lambungé tumuli tiba kahantu paramancané rantaban manulung ada manyundang” (Bagus Dyarsa, 28a)

Terjemahannya:
‘suatu ketika ayamnya berbalik  menerjang ayam ijo sangkur sang raja hingga mati ayam tersebut menyerang sang raja, isang raja kena taji dibagian lambungnya  dan roboh’.

Latar selanjutnya dirumah Bagus Dyarsa, setelah ayam Bagus Dyarsa membunuh sang raja, Bagus Dyarsa diserang oleh pengawal raja, tetapi berkat anugrah dari Bhatara Guru semua pengawal raja dikalahkan.
“Bagus Dyarsa dong pesu jani nahang kadhirané panjaké jani” pagrubug mangregah témbok masurak lén mambedil gumarédag” (Bagus Dyarsa, 28a)



Terjemahannya:
‘Hai Bagus Dyarsa keluarlah  sekarang tunjukkan kehebatanmu, ada lagi yang memanjat pagar  membawa bedil’.

Latar yang terakhir di kerajannya Bagus Dyarsa, Hyang Narada datang bersama dengan anak Bagus Dyarsa, I Wiracitta yang akan menjadi raja menggantikan ayahnya, sementara Bagus Dyarsa akan diajak kesorga dan tidak akan terlahir kembali sebagai manusia.  Berikut kutipannya:
“Kyayi agung diniksan wus puput sareng istrinira antuk Hyang Narada iki ring Swargga wenang alungguh nyaput menge tan winuwus wenang tan manjanma” (Bagus Dyarsa, 32b)

Terjemahannya:
‘Kyayi Agung (Bagus Dyarsa) telah selesai diberikan Upacara Diksa  bersama dengan istrinya  oleh Hyang Narada engkau sudah sepatutnya tinggal di sorga  menjadi hamba dan tiada balik lagi menjelma menjadi manusia’

4.1.6 Tema dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Tema adalah suatu pokok persoalan atau pokok pikiran yang menjadi dasar cerita. Menurut Brooks (dalam Tarigan, 1984: 125) tema adalah pandangan hidup yang tertentu dan perasaan tertentu mengenai kehidupan, rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra. Sutrisno dalam Duani (2013: 77)  Untuk menentukan sebuah tema dalam sebuah karya sastra, seorang pemabaca harus membaca karya sasrtra itu secara langsung beulang-ulang dengan seksama dan cermat.
Tema tidak lain adalah ide pokok, ide sentral atau ide yang dominan dalam karya sastra (Sukada, 1987: 70).  Disamping pengertian tema perlu juga diketahui cara-cara menemukan tema suatu karya sastra. Ada tiga cara menentukan tema yaitu: (1) dengan melihat persoalan yang paling menonjol. (2) dengan melihat persoalan yang menimbulkan konflik-konflik yang melahirkan pristiwa-pristiwa. (3) dengan menghitung waktu penceritaan, yaitu waktu yang diperlukan untuk menceritakan pristiwa-pristiwa atau tokoh-tokoh dalam cerita (Mursal, 1984: 88).
Berdasarkan pengertian tema diatas bahwa tema yang terdapat dalam teks Tutur Bagus Dyarsa terlihat pengarang mengearahkan ceritanya dengan memberikan pemecahan masalah bagi tokohnya yang selalu mendapat rintangan-rintangan dalam perjalanan hidupnya. Kejadian diawali ketika Bagus Dyarsa diperintahkan oleh sang raja untuk bertaruh melawannya sebanyak tigaratus berikut kutipannya:
“Bagus Dyarsa jani kawuwus sedek wwang désané bau suwud maaci-aci manyujukan tatarub twi wawidén anak agung uran metoh palaksayan Bagus Dyarsa kawuwus kawidhi mangadu uran apang metoh tigang laksa. Bagus Dyarsa bahané kerud mangrasa kadosén bane tiwas ngalisting inget tekén anaké berung” (Bagus Dyarsa, 12a)

 Terjemahannya:
‘Diceritakan sekarang Bagus Dyarsa, takkala orang orang desa semuanya baru selesai melaksanakan upacara persembahan mendirikan alun alun, pada saat itu dilaksanakan sabungan ayam, anak Agung ber ratus ratus ribu. Bagus Dyarsa sekarang di perintahkan oleh sang raja supaya bertaruh dengan sang raja 3 ratus ribu. Bagus Dyarsa karena merasa dirinya orang miskin dan tiada mempunyai uang sebanyak itu . kemudian dia termenung’.

Jika Bagus Dyarsa tidak bersedia mengadu ayam dan bertaruh maka hidup Bagus Dyarsa akan disengsarakan oleh raja, merasa diri miskin maka bagus Dyarsa teringat denga seorang pengemis yang akan memberikan seekor ayam yang pernah dijanjikannya sejak pertemuannya dahulu. Pengemis itu tiada lain adalah penjelmaan Bhatara Guru adapun kutipannya sebagai berikut:
“Bhathara ngandika aris “teka ko iba bagus apa gawén bane” rawuh Bagus Dyarsa manyumbah mepes tumuli mahatur “tityang parek ring Bhathara misadya nunas lungsuran”. “Antuk tityang né mangkin kalentuk kakninin uran wawidén metoh akti antuk I gusti agung yan tityang tan wénten ngadu kaborong kapaobatang”(Bagus Dyarsa, 21a)

Terjemahannya:
‘Bhatara bersabda. selamat atas kedatangannmu, lalu apakah tujuanmu dating kemari,  kemudian Bagus diarsa menyumbah serta berkata: hamba dating kemari tiada lain untuk meminta anugrahmu. Sebab hamba sekarang di jagat pada hamba dipaksa untuk membayar urunan untuk bertaruh sebanyak satu keti  olih I Gusti Agung. Jika hamba tidak bersedia untuk mengadu ayam maka hamba akan sengsara’

Sebelum Bagus Dyarsa diberikan seekor ayam, Bhatara Guru memberikan banyak wejangan-wejangan sucinya kepada Bagus Dyarsa, karena nantinya Bagus Dyarsa akan menjadi seorang raja menggantikan anak Agung raja yang serakah. Setelah lama diberikan ajaran tentang kepemimpinan supaya menjadi raja yang bijaksana. Bagus Dyarsa diberikan seekor ayam yang akan diadu dengan ayam sang raja. Berikut kutipannya:
“I Gusti Agung manyurak maméngkéng ngagem sasatang. Di pahyunané I Gusti Agung mabalik syapé manarung ngruket manggitik matiné ijo sangkur I Gusti Agung kajuluk kni telek ring lambungé tumuli tiba kahantu paramancané rantaban manulung ada manyundang’. (Bagus Dyarsa, 28a)

Terjemahannya:
‘Sang raja kemudian bersorak  berteriak memegang sasatang. suatu ketika ayamnya berbalik  menerjang ayam ijo sangkur sang raja hingga mati ayam tersebut menyerang sang raja, isang raja kena taji dibagian lambungnya  dan roboh’.

Setelah sang raja yang serakah dikalahkan maka Bagus Dyarsa diserang dari segala arah oleh para prajurit kerajaan, tetapi berkat anugrah Bhatara Guru Bagus Dyarsa tidak dapat dikalahkan. Ayam yang diberikan Bhatara Guru berubah wujud menjadi seekor garuda dan Bagus Dyarsa berada diatasnya. Setelah semua prajurit mengigil ketakutan Bagus Dyarsa mengampuni semua. Kemuadian Bagus Dyarsa dinobatkan menjadi raja dengan gelar I Gusti Agung Niti Yukti.
Setelah lama memerintah Bagus Dyarsa kemudian digantika oleh anaknya I Wiracitta yang lama diasuh oleh Bhatara Guru, sehingga tidak diragukan lagi dalam memimpin suatu kerajaan. I Wiracitta kemuadian dinobatkan menjadi raja dengan gelar Prabhu Wijaya Kusuma. Sementara itu Bagus Dyarsa dan istrinya diberikan upacara dikas oleh Hyang Narada. Setelah selesai didiksa Bagus Dyarsa diberi gelar Bhagawan Mrettalociha kemudian istrinya diberi gelar Bhatara Nayopasuci dan diajak kesurga tanpa terlahir kembali menjadi manusia. berikut kutipannya:
“Kyayi agung diniksan wus puput sareng istrinira antuk Hyang Narada iiring Swargga wenang alungguh nyaput menge tan winuwus wenang tan manjanma” (Bagus Dyarsa, 32b)

Terjemahannya:
‘Kyayi Agung (Bagus Dyarsa) telah selesai diberikan Upacara Diksa  bersama dengan istrinya  oleh Hyang Narada engkau sudah sepatutnya tinggal di sorga  menjadi hamba dan tiada balik lagi menjelma menjadi manusia’.

Tema dari Teks Tutur Bagus Dyarsa adalah ketaan seorang dalam memahami, menghayati dan menjalankan suatu kebenaran ajaran tentang ketuhanan, sehingga mampu untuk mencapai suatu pembebasan dan tanpa menjelma kembali menjadi manusia hal tersebut merupakan tujuan dari agama Hindu mencapai suatu kedamaian atau mencapai suatu pembebasan. Dalam hal ini ketaan Bagus Dyarsa dalam menjalankan semua ajaran-ajaran suci dari Bhatara Guru sehingga mampu untuk mencapai suatu kesempurnaan dalam hidup dan setelah kematian.

4.1.7 Amanat dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Amanat adalah suatu gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Amanat akan selalu berkaitan atau menyentuh hati nurani pembaca, untuk menyadari atau menolaknya (Sudjiman, 1986: 5). Esten Mursal dalam Duani (2013: 81) berpendapat bahwa amanat yang baik adalah amanat yang berhasil membukakan keyakinan-keyakinan yang luas dan baru bagi manusia dan kemanusiaan.
Amanat yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa bahwa ajaran ajaran suci Bhatara Guru merupakan ajaran tentang pengendalian diri. Seseorang yang ingin mencapai suatu pembebasan hendaknya tidak dibutakan dengan kesenangannya sendiri, berikut kutipannya:
“Duryan yén iba suba agung salinin bikasé eda nganggon daya piranti mamotoh iba suud to makada kasalimur sagatin-gatin gawéné katungkul bān tuyuh rāga wisaya makejang eda mangraketang di manah. Sanghyang sāstra gulik punduh-punduh resepang di manah susupang teked dyatihapan to tungked kukuh krana pageh dadi agung sāstra panyuluh idhepé apang eda pati puug manyalanang kapatutan uger-ugerin bān sāstra” (Bagus Dyarsa, 21a-21b)

Terjemahannya:
‘Nanti kelak jika kamu sudah menjadi raja maka rubahlah kebiasaan burukmu janganlah memakai alas an untuk berjudi . giatlah untuk bekerja janganlagi kamu dibutakan oleh kesenangan dirimu sendiri. Pelajarilah kecap sastra  kumpullkanlah lalu resapiklah dalam hatimu  itu adalah pedoman yang sangat kuat  sebab menjadi seorang raja yang kuat sastralah sebagai tamengmu. Dan sebagai sinar menerangi jalanmu. Janganlah kamu merasa ragu untuk menjalankan kebenaran dengan berdasarkan atas sastra dharma’.

Bhatara Guru memberikan ajaran-ajaran sucinya kepada Bagus Dyarsa bahwa menjadi sorang pemimpin harus memiliki suatu pengetahuan dari sastra yang utama sebagai tameng yang kokoh dalam menjalankan suatu pemerintahan. Seorang raja harus mampu mengendalikan dirinya dan tidak dibutakan oleh kesenangannya sendiri.

4.2 Eksistensi Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Ali (1991: 253) pada kamus besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa, eksistensi adalah adanya keberadaan. Keberadaan yang dimaksud adalah memeperlihatkan jati diri dengan berbagai kelebihan yang khas melekat pada sesuatu. Eksistensi juga dapat diartikan sebagai suatu ciri tertentu untuk bisa menampakan diri dibandingkan dengan yang lain. Sementara itu Zaenal (2007: 16) menyatakan eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti. Melainkan lentur atau  kenyal dan dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya.
 Menurut I Made Sudirawan (wawancara, 07/04/2015) eksistensi merupakan keberadaan sebuah ajaran yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

 Lorens, (1996: 183-185) menyatakan bahwa terdapat beberapa pengertian tentang eksistensi yang dijelaskan menjadi empat pengetian. Pertama eksistensi adalah apa yang ada. Kedua, eksistensi adalah apa yang memiliki aktualitas. Ketiga eksistensi adalah segala sesuatu yang dialami dan menekankan bahwa sesuatu itu ada. Keempat eksistensi adalah kesempurnaan. Dari pengertian tersebut maka dalam  penelitian ini, kata eksistensi merujuk pada keberadaan ajaran Siwaistis dalam teks tutur Bagus Dyarsa.
Dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa terdapat banyak keberadaan ajaran Siwaistis yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup, merujuk pada teori semiotika yang digunakan dalam penelitian ini adalah bertujuan untuk mengupas tanda-tanda dalam karya sastra khususnya Teks Tutur Bagus Dyarsa. Melalui tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi satu dengan yang lainnya, demikian juga tanda-tanda yang ingin disampaikan Sang Pengawi kepada pembaca melalui Teks Tutur Bagus Dyarsa  berupa eksistensi atau keberadaan ajaran Siwaistis.
Tanda-tanda yang terkandung dalam ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa harus dimaknai. Seperti eksistensi ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. Adapun tanda-tanda eksistensi ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa seperti kutipan berikut:
“Bagus Dyarsa raris ngajak mantuk, suba teked jumah masan anak ngeñjit sundih Bagus Dyarsa amuwus “Né jani nyai matamyu kema dabdabang manyakan” né eluh éñcong manguup ka paon raris manyakan, Bagus Dyarsa māneman. Satwa tan ikangin tan ikawuh maideh-idehan sagét idup sagét mati anake odah muwus “Gusti tityang lintang lucu agung pinunas tityangé bwat iccan Gustiné nulus anak Gusti tunas tityang ajak tityang mantuk bénjang”. “Pungkur lamun dané sāmpun dugur tityang mangastu kang kalih ngaturang ring Gusti apang wénten manunggu kubun tityangé di gunung kāla tityang nénten jumah tityang jat luwas manganggur ka sisin tukadé kaja ngalih Ong pacang janganan”. (Bagus Dyarsa,  4a-4b)

Terjemahannya:
‘Kemudian Bagus Dyarsa lalu membawa kakek itu pulang, setelah sudah sampai dirumah sudah saatnya menyalakan lampu. Bagus Dyarsa berkata, wahai adinda, ini ada tamu, cepatlah adinda siapkan makanan, cepatlah memasak, istrinya kemudian pergi kedapur kemudian menanak nasi, Bagus Dyarsa kemudian bercengkrama dengan pengemis tersebut, ngalor ngidul, setelah itu kemudian berkatalah pengemis tersebut, wahai gusti kalau diijinkan hamba memohon dengan sangat kerelaan Gusti untuk memberikan anakmu  untuk saya ajak besok, nanti apabila sudah dewasa saya akan memberikan kembali kepada Gusti, sebab supaya ada yang menunggui rumah saya di pegunungan pada saat saya pergi dan tidak ada dirumah, tatkala saya pergi mencari jamur untuk lauk’.

Dari kutipan diatas tanda-tanda berupa eksistensi ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa  dapat dimaknai bahwa, setiap manusia hendaknya tidak terikat pada duniawi untuk dapat mencapai suatu kelepasan. Bhatara Guru dalam wujud pengemis meminta anak dari Bagus Dyarsa, Bhatara Guru menguji keterikatan Bagus Dyarsa terhadap anaknya. Meskipun Bagus Dyarsa hanya memiliki satu anak tetapi Bagus Dyarsa memberikan anaknya untuk tinggal bersama pengemis tanpa rasa ragu. Karena Bagus Dyarsa yakin anaknya akan diajarkan tentang kebenaran oleh pengemis tersebut. Bagus Dyarsa merupakan seorang yang pemurah. Rgveda dalam Titib (1996: 320) dijelaskan bahwa orang yang pemurah akan mencapai suatu keabadian, berukut kutipannya:
“Daksinā vanto amrtam bhajante
Daksinā vantah pra tiranta āyuh”

Terjemahannya:
‘Orang yang bermurah hati mencapai keabadian.
Mereka memperpanjang usia mereka’
(Rgveda I. 125.6)

Keterikatan duniawi akan membatasi atman untuk bersatu dengan  Brahman. Keterikatan membuat manusia takut mengalami perubahan, keterikatan membuat manusia ingin mempertahankan sesuatu yang pada dasarnya tidak abadi. Selain itu keterikatan juga menimbulkan keinginan untuk mempertahankan sesuatu. Ketika manusia terikat dengan anaknya tentu akan menjadi hal yang menyedihkan apabila berpisah dengannya. Bhatara Guru dalam wujud pengemis meminta anak dari Bagus Dyarsa, dan Bagus Dyarsa memberikannya dengan iklas. Setiap manusia hendaknya berpedoman pada prilaku Bagus Dyarsa yang tidak terikat pada duniawi sehingga  mampu untuk mencapai suatu kelepasan tanpa lahir kembali kedunia.
Eksistensi ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa bahwa Bhatara Guru mengajarkan umatnya untuk tidak terikat dengan kesenangan duniawi, supaya mampu untuk mecapai tujuan hidup dari agama Hindu yaitu moksa, moksa adalah menyatunya atman dengan Brahman (Tuhan), atman merupakan percikan terkecil dari Brahman (Tuhan) yang menghidupi setiap mahluk sehingga tidak mengalami kelahiran kembali, sebab kelahiran adalah suatu penderitaan sehingga perlu untuk diahkiri.
Kutipan selanjutnya tentang eksistensi ajaran Siwaistis yang terkandung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa  yaitu perjalanan Bagus Dyarsa menuju Kailasa kerumah pengemis untuk meminta seekor ayam, adapun kutipannya sebagai berikut:
“Sayan joh pajalané andarung liwat carik abyan masih enu mambeneh kangin alas wayah katepuk tuun jurang menék pangkung tembing trebis pringga réjéng sayan joh lampahé andarung pragumyané sayan tawah mirib twara sabéng janma. Suba liwat gunungé papitu manggih tegal linggah sawat kauh sawat kangin kaja kelod ngalintung twara ada pati kayu padhang tekaning ambengan twara ada ngenah gunung sok langit tkaning tanah nyané apalyat. Atmané liyu ditu katepuk soroh watek papa kapanasan nandang sakit di tegalé matambun makejang nyilapin damuh né di muñcuk ambengané lén atma raré katepuk panggréñjeng padha manampa kawu-bulu makejang. Lén atma ada buin katepuk batan manduriné masasambatan mangeling  awaké payah etuh mata cekok batis abuh munyiné patidula “mé nguda kéné dewa ratu swé tityang kasakitan manandang pañca sangsara” (Bagus Dyarsa, 12b).

Terjemahannya:

‘semakin jauh perjalannannya Bagus Dyarsa melewati sawah. Kebun, tetap saja bulu ayam tersebut terbang ke tenggara. Hutan yang lebat kemudian turun jurang  mendaki tebing yang curam, jurang terjal, membuat pertjalanannya semakin jauh perjalanannya semakin aneh ditemukannya. Dia  merasa seolah olah bukan manusia. setelah melewati tujuh buah gunung  dia melihat ada tegal yang sangat luas dan jauh  sekali, di sisi utara, selatan, sisi timur dan di sebelah baratnya tiada menemukan sebatang kayupun yang tumbuh. Yang ada hanyalah hamparan rumput ilalang yang sangat luas, tiada terlihat  puncak gunung, yang ada hanyalah tanah dan langit  sejauh memandang. Disanalah dia menemukan banyak sekali roh roh yang menderita  kepanasan, ditegal tersebut mereka berkumpul dan menjilat embun  yang ada di ujung daun ilalang. Ada lagi atma bayi yang berkerumun semuanya membawa kawu(batok Kelapa). ada lagi atma yang ditemukannya berteduh dibawah pohon menduri kemudian mereka menangis sengsara, tubuhnya kelelahan kurus kering, matanya mencorok kedalam, kakinya kecil kecil, dia menagis sambil memanggil manggil” kenapa begini penderitaan ku, sudah lama sekali aku menderita  dan sakit menahan lima penderitaan’.

Dari kutipan tersebut diatas bahwa perjalanan Bagus Dyarsa merupakan suatu penyadaran diri, dalam perjalanannya Bagus Dyarsa menemukan banyak sekali atman-atman yang menderita kesakitan itu disebabkan oleh karmanya sendiri. Untuk itu setiap manusia yang hidup di dunia ini hendaknya selalu berbuat baik atau dharma dalam ajaran agama Hindu. Atman-atman yang sedang menjalani hukuman tersebut dikarenakan oleh perbuatan semasa hidupnya. Hukum karma phala berlaku adil bagi siapapun, tidak memandang siapa si pelaku, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik pula begitu sebaliknya perbuatan buruk akan mendapatkan hasil yang buruk pula. Bhatara Guru mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat baik dalam hidup ini, karena perbuatan yang baik dapat mengantarkan manusia menuju pembebasan. Pernyataan tersebut sangat relevan dengan sloka yang terdapat pada Rgveda V.51.15 sebagai berikut:
“Svasti patham anu carema
surya-candramasav iva.
punar dadataghnata
janata sam gamemahi”.

Terjemahannya:

‘Mari kita terus berjalan pada jalan yang benar seperti jalannya matahari dan bulan. Kita seharusnya bergaul dengan orang-orang yang bermurah hati yang puas (dengan diri sendiri) dan yang berpengetahuan tinggi’

Dalam menjalani kehidupan hendaknya seseorang dalam berprilaku tidak terlepas dari ajaran-ajaran agama, seperti halnya matahari dan bulan yang selalu mengikuti hukum alam dan selalu berjalan pada kebenarannya, demikian halnya dengan manusia akan menemui kehancurannya apabila mengabaikan ajaran dharma (kebaikan) dan menentang hukum alam tersebut.
Eksistensi ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa  selanjutnya terdapat pada wejangan-wejangan yang diberikan Bhatara Guru kepada Bagus Dyarsa. Bhatara Guru mengajarkan umatnya untuk tidak dibutakan oleh kesenagan yang bersifat duniawi seperti misalnya berjudi  yang sering dilakukan oleh Bagus Dyarsa. Selain itu Bhatara Guru juga memberikan banyak konsep tentang kepemimpinan, karena Bagus Dyarsa akan menjadi raja menggantikan anak Agung raja yang selalu menyusahkan rakyatnya. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“Kai maang iba syap aukud ento gocék iba awanan ibané molih suka wiryya tur agung ngentinin I gusti agung apan ento musuh iba kranan ibané rutrut ento ngupayang iba gusti mangabletang panjak”. “Duryan yén iba suba agung salinin bikasé eda nganggon daya piranti mamotoh iba suud to makada kasalimur sagatin-gatin gawéné katungkul bān tuyuh rāga wisaya makejang eda mangraketang di manah. Sanghyang sāstra gulik punduh-punduh resepang di manah susupang teked dyatihapan to tungked kukuh krana pageh dadi agung sāstra panyuluh idhepé apang eda pati puug manyalanang kapatutan uger-ugerin bān sāstra. Tingkah panjaké dabdabang malu eda mbahang gambur alaksananya pariksain eda iju-iju ngugu galih-galihin to malu apang eda kadunga  éwér munyin nyané malu panut atepang kén laku lampah ento inger apang pedas. Yén katangkil ditu ngalih unduk di tebeng panjaké eda teka éncong mudalin wangsa-wangsanen ditu panjaké mahatur-hatur trabang eda nyalumurang né salah tekén né patut to glik inger di manah mani puan dong karwan. Mamunyi purukin eda sigug maperemin panjak pipitang teked ka hati tidong bān kamben saput makada panjaké lulut kapatutan pangrawosé mangda panjaké anut yan mangrasa kaungkulan bān kapatutan pangrasa. Panjaké eda mambahang lucu lampah pwaranya sama bédané ya gisilyaté apang patut munyi seken apang alus tata tété ujar ajér sya karana apang patut apang yatna jeroning manah apang eda banyak acluwag. Yén ada prebekel mātur-atur eda ngaramangang apang seken bān manampi tatasang ukud-ukud eda mambahang salah surup simpen ingetang di manah mata bibih cidra ditu yén ada lāwan tong ada ya manguda twara karuan. Tanding-tanding kalegané ditu kén sakit panjaké eda ngulaang demen hati asing makrana sungsut ento pikpik eda manglur panjaké sampi samanyapa ngangon nya anak agung yan patut baan ngangonang ya mokoh tanduké rénggah. Lanying tajep nyén bani ngejuk ngres ya anaké yén nyapa yah etuh aking sing jalan padang atub kema laku nyama nyunuk salah tindakan ka taban apa sih anggon manebus ngenah belogé ngangonang kakedékin bān pisaga. Rāga wisané eda ngulur eda mangretang eda twara mandemenin apang eda kapilug katenger bān anak liyu bakat dadi undukinya lamun banya ngelah musuh ento anggon nyau payanadwang ebé di tukad. Awake daropon belog utun manyaplok baréné twara tawang misi pancing tulus payu matambus tong ingetang apang kukuh eda engsap tekén sāstra ida gede sai pundut ajak mangrawosang sāstra mangdé purnna maning jagat. Apan tatelu dadi pangulu yan umungguing sāstra Sanghyang Ongkāra kapuji ento dadi pangulu para mas iwānggan ipun yan ring nāgara sang Natha Saddhasiwa anggan ipun  yan ring gunung sang brāhmana apan to rumaga siwa. To eda embahang belas né tatelu dadi tri purusa sakala niskala becik” Bagus Dyarsa nuun manyumbah-nyumbah mangatur sandikan Ida Bhathara sapa wacana Hyang Guru sāmpun sumusuping manah tutug ring dwa dasa guna” (Bagus Dyarsa, 21a-23a)

Terjemahannya:
‘Aku akan memberimu ayam satu ekor, lalu adulah ayam itu sehingga kamu akan memperoleh kemenangan  dan kesuksesan  kamu akan menjadi raja menggantikan I Gusti Agung  sebab itu adalah musuhmu sebab dia adalah raja yang suka sekali membuat penderitaan rakyat. Nanti kelak jika kamu sudah menjadi raja maka rubahlah kebiasaan burukmu janganlah memakai alasan untuk berjudi. giatlah untuk bekerja janganlagi kamu dibutakan oleh kesenangan dirimu sendiri. Pelajarilah kecap sastra  kumpullkanlah lalu resapiklah dalam hatimu  itu adalah pedoman yang sangat kuat  sebab menjadi seorang raja yang kuat sastralah sebagai tamengmu. Dan sebagai sinar menerangi jalanmu. Janganlah kamu merasa ragu untuk menjalankan kebenaran dengan berdasarkan atas sastra dharma. Segala perbuatan rakyatmu perhatikan jangan mereka di kasi berbuat sembarangan, periksalah  jangan kamu tergesa gesa  meyakininya, hendaknya kamu pertimbangkan dengan matang  supaya jangan sampai terlanjur, segala perkataannya hendaknya kamu resapi supaya sesuai antara perkataan dengan perbuatannya. Jika kamu nanti didatangi  disanalah kamu mencari pengalaman jangan kamu langsung mengusirnya, perhatikanlah kesejahtraan rakyatmu. disana rakyatmu akan menghadap dengan bahasa yang benar, terapkanlah agar benar benar baik. janganlah kamu membela yang benar dan yang salah itu yng patut kamu pikirkan dihati  nanti kamui akan mengerti. Belajar untuk mengeluarkan kata kata, janganlah kamu berkata kasar  terhadap rakyat, dari dalam hatimu sampai pada yang keluar dari mulutmu. Jangan hanya manis dibungkus oleh kata kata. Yang nanti menyebabkan rakyatmu akan cinta padamu. perkataanmu supaya meyakinkan sehingga rakuyatmu merasa di ayomi oleh kebenaran. Rakyatmu janganlah dibiarkan seenaknya  antara perjalanan dan tujuannya, mampu menjalankan kedudukan yang sama antara rakyatmu, membedakan yang salah dan benar, itulah yang patut diterapkan agar rakyatmu bisa berbicara yang benar  dan serius  serta berbahasa yang halus dan sopan. berhati hatilah  supaya jangan timbul kecerobohan. Jika ada prebekel yang melapor janganlah kamu tiada menghiraukannya. Supaya benar benar baik kamu terima, tanyakanlah supaya jelas satu persatu. Janganlah kamu salah terima  simpan dan ingatlah selalu, mata bibir dan bahasamu disana jika ada musuh maka semuanya tiada berani melawanmu. Buatlah agar rakyat bahagia dan perhatikan segala penderitaan rakyatmu jangan kamu mencari kesenanganmu sendiri,  segala yang membuatmu sedih hilangkanlah sedikit demi sedikit. Sama halnya memelihara kerbau, jika kamu berhasil memberi mereka makan maka dia akan menjadi besar dan kuat serta mempunyai tanduk yang kuat dan runcing, maka siapakah yang akan berani untuk menangkapnya. Pasti yang menangkapnya akan takut. jika ada sapimu yang menuju tempat kering dan tandus giringlah mereka ke lading yang subur penuh dengan rumput hijau, jika kamu membiarkannya maka akan terlihat kamu  sangat bodoh untuk menggembala sapi dan di tertawakan oleh orang lain. segala pikiranmu yang kotor buanglah jangan kamu biarkan dan jangan kamu kurangi, tetapi kendalikanlah supaya jangan sampai membuat yang lain menderita. sebab orang banyak akan gampang sekali untuk memperhatikanmu seorang, jika kamu memiliki musuh itulah yang kamu pakai untuk menangkap sama seperti menjaring ikan di sungai, orang yang ceroboh lalu memakan umpan  tidak tahu berisi pancing sudah tentu kamu akan di bakar. ingatlah dengan baik, jangan lupa denga sastra. Ida Gede  selalu kamu bawa ajaklah membahas sastra  supaya mencerahkan jagat sebab ada tiga yang menjadi pemucuk  yang ada di sastra  Sang Hyang Ongkara yang utama, itulah yang menjadi ujung tombak parama siwa beliau, jika pada Negara  sang natha sada siwa perwujudan beliau, jika di gunung  sang brahmana sebab beliau perwujudan  siwa. itu janganlah sampai terpisah  ketiga hal itu menjadi Tri Purusa sekala niskala supaya baik. Sang Bagus Dyarsa menyembah  dan berkata hamba akan mengikuti segala perintahmu. Segala perkataan Bhatara Guru setelah selesai menerima wejangan dan meresapi dalam hatinya.selesai meresapi ajaran dasa guna’. 

Dari kutipan diatas daapat diartikan bahwa, Bhatara Guru mengajarkan kepada umatnya untuk tidak mengisi kesenangan semata seperti misalnya berjudi yang sering dilakukan oleh Bagus Dyarsa, untuk memimpin suatu kerajaan Bagus Dyarsa harus meninggalakan kesenangannya berjudi karena kesenangan merupakan bagian dari keterikatan, apabila manusia masih merasa senang maka disitu manusia masih terikat dengan keduniawian sehingga sulit untuk mengakhiri rengkarnasi atau kelahiran berulang. Pernyataan tersebut sangat relevan dengan sloka yang terdapat dalam Manawa Dharma Sastra dalam Pudja (1973: 493) seperti kutipan berikut:
“Dyutam samahvyam caiva
Raja rastrannivarayet,
Rajyanta karana vetau
Dvau dosau prthivi ksitam”

Terjemahannya:

‘Perjudian dan bertaruh supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya; kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota’.

  Judi merupakan sesuatu yang memiliki nilai kepuasan bagi penikmatnya, dengan berjudi seseorang dapat melupakan segalanya yang menjadi kewajibannya, dengan berjudi seseorang akan merasa puas dan senang, kesenangan merupakan sebuah keterikatan dalam hidup ini, seseorang hendaknya dapat mengendalikan dirinya untuk tidak mengikuti kesenangan tersebut, karena tidak selamanya seseorang akan merasa senang dalam menjalani hidup. untuk dapat mencapai tujuan hidup dalam agama Hindu seseorang hendaknya dapat mengendalikan dirinya dari kesenangan duniawi. Jiwa manusia sesungguhnya berasal dari Tuhan sehingga untuk dapat mencapinya terdapat berbagai cara. Adapun jalan yang dianjurkan untuk dapat mencapai Tuhan itu sendiri terdapat dalam ajaran catur  marga yoga dalam agama Hindu. Catur marga yoga berasal dari kata catur yang berarti empat, marga berarti jalan dan yoga berarti penyatuan dengan Tuhan, jadi catur marga yoga merupakan empat jalan mencapai moksa.
Kutipan diatas lebih banyak menerangkan tentang konsep kepemimpinan, Bhatara Guru memberikan banyak wejangan kepada Bagus Dyarsa yang akan menjadi raja menggantikan anak Agung yang sewenang-wenang terhadap kekuasaanya menjadi seorang raja. Wejangan-wejangan yang diberikan Bhatara Guru kepada Bagus Dyarsa sangat penting untuk diketahui oleh para pemimpin negara pada masa kini, seorang pemimpin harus mampu mengayomi rakyatnya tidak sewenang-wenang terhadap kekuasaannya dan mampu memberikan perlindungan kepada rakyatnya tidak menyengsarakan rakyatnya. Adapun cara untuk menjadi pemimpin yang baik berdasarkan teks dalam penelitian ini yaitu seorang pemimpin harus mau belajar, sehingga dengan belajar maka seorang memiliki pengetahuan yang luas yang akan digunakan untuk menata suatu negara. Tameng yang paling kuat adalah sastra sebagai perlindungan, seorang pepmimpin yang memiliki pengetahuan yang luas dan berdasarkan sastra maka akan mampu menlindungi negaranya dari serangan-serangan yang akan merugikan negara yang dipimpinnya.
Bhatara Guru mengandaikan seorang pemimpin layaknya seorang pengembala sapi, seorang pengembala akan terlihat sangat bodoh apabila membiarkan sapi-sapi peliharannya menuju lahan tandus dan kering, seorang pengembala yang baik akan menggiring sapi-sapi peliharannya menuju ladang yang hijau, sehingga dengan demikian sapi-sapi tersebut akan cepat besar dan sangat kuat sehingga tidak akan ada yang berani untuk menggangunya. Demikian halnya dengan seorang pemimpin, seorang pemimpin akan terlihat bodoh apabila menyengsarakan rakyatnya dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyatnya sehingga akan ditertawakan oleh negara-negara tetangga dan dengan mudah untuk menaklukkan negara tersebut, sebaliknya seorang pemimpin yang baik apabila mampu memberikan kesejahtraan kepada rakyatnya, dengan kesejahteraan maka kemajuan akan semakin berkembang dan menjadi negara yang kuat sehingga tidak akan ada yang berani untuk menyerang. Pernyataan tersebut sangat relevan dengan sloka yang terdapat pada Atharvaveda XII.3.10 bahwa kesejahteraan warga negara menguatkan bangsa, seperti kutipan berikut:
“Uttaram rastram prajaya
uttara vat”.

Terjemahannya:

‘Sebuah bangsa yang kuat menjadi lebih kuat bila kesejahtraan warga negaranya meningkat’ (Titib, 1996: 488)

4.3. Konsep-konsep Ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa
Sesuai dengan teori yang diajukan dalam penelitian ini yaitu teori simbol bahwa simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pemahaman. khususnya untuk menggambarkan sesuatu yang immaterial, abstrak, suatu ide, kualitas, tanda-tanda suatu objek, proses dan lain-lain. Sehingga dalam penelitian ini sangat penting menggunakan teori simbol yang akan digunakan membahas lebih dalam kosep-konsep yang abstrak dalam objek penelitian teks Tutur Bagus Dyarsa sehingga dapat dipahami oleh masyarakat.
Komaruddin (1984) (dalam Poniman, 2012: 64-65) menyatakan bahwa konsep berasal dari bahasa Latin yaitu “conceptus” yang berarti tangkapan. Dari segi subyektif adalah suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Dari segi obyektif adalah sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek. Hasil dari tangkapan akal manusia itu disebut konsep. Di dalam konsep akan terwakili tanda-tanda umum dari suatu benda atau hal. Jika konsep itu dinyatakan dalam kata-kata, maka konsep itu akan menjadi term. Konsep kadang-kadang disebut pula sebagai idea, yakni lukisan benda atau hal yang bersifat umum yang terdapat dalam intelek (Poniman, 2012: 64-65). Aristoteles dalam “The Classical Theory of Concepts” menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi atau idea tau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Selain itu konsep juga diartiakan sebagai sesuatu yang memiliki komponen, unsur, ciri-ciri yang dapat diberi nama. Adapun konsep-konsep ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

4.3.1 Konsep Tattwa dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Wojowasito dalam Ariwidayani (2013: 19) pada kamus kawi Jawa Kuno-Indonesia bahwa tattwa diartikan sebagai kebenaran, hakekat, riwayat dan cerita. Menurut Rudia dalam Dwipayanti (2012: 78) menyatakan bahwa tattwa adalah inti atau kebenaran dasar ajaran agama.
 Nyoman Sukadana (wawancara, 07/04/2015) bahwa tattwa merupakan kebenaran dalam agama Hindu yang penting untuk diketahui.

  Sumber-sumber ajaran tattwa adalah pustaka-pustaka Hindu yang merupakan sumber atau asal ajaran kebenaran atau kenyataan. Tattwa adalah ilmu filsafat. Yang menjadi bagian terpenting dalam tattwa adalah ajaran Panca Sradha yaitu lima dasar kepercayaan dan keyakinan umat Hindu. Tanpa menghayati dan memahami Panca Sradha maka umat Hindu tidak memiliki keyakinan yang kuat. Lima dasar keyakinan agama Hindu yang disebut Panca Sradha yaitu (1) percaya dengan adanya Brahman (Tuhan), (2) percaya dengan adanya atman yang memberi kehidupan bagi semua mahluk, (3) percaya dengan adanya Karma Phala yaitu baik buruk suatu perbuatan yang akan menentukan kehidupan selanjutnya, (4) percaya dengan adanya punarbawa atau kelahiran berulang, yang dipengaruhi oleh karma phala, (5) percaya dengan adanya moksa yaitu tujuan akhir dari agama Hindu menyatunya atman dengan Brahman suatu kedamaian abadi.
Tattwa secara etimologi berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kebenaran, kenyataan sebenarnya, sesungguhnya, sungguh-sungguh, hakekat hidup. Menurut Watra dalam Poniman (2012: 67) menyatakan tattwa merupakan suatu kebenaran, perlu diketahui bahwa antara tattwa agama dengan kebenaran ilmiah berbeda, karena kebenaran agama terkait religiusitas. Ia menyimpulkan pengertian tattwa yaitu merupakan kebenaran yang bersifat abstrak (niskala) dan kongkret (skala) yang dapat dibuktikan secara rasional dan nyata. Selanjutnya Pudja dkk, dalam Ariwidayani (2013: 19) menyatakan bahwa istilah tattwa berasal dari bahasa Sanskerta yang dalam statusnya sebagai noun-masculine mengandung maksud “azas-azas atau intisari kebenaran sejati.
Berdasarkan konsep tattwa diatas bahwa tattwa merupakan intisari kebenaran sejati, dan hubungannya dengan penelitian ini adalah bagaimana manusia untuk menemukan kebenaran sejati sehingga memperoleh suatu kesempurnaan hidup dan memperoleh suatu kesadaran tentang jati diri dan tujuan hidup sebagai manusia. Konsep ajaran tattwa dalam teks Tutur Bagus Dyarsa bhawa setiap manusia harus mampu melepaskan kesenangan yang bersifat duniawi untuk dapat mencapai suatu kelepasan. Manusia harus mampu menarik setiap indera dari kesenangannya, seperti misalnya indera pengeliatan yang sangat senang melihat sesuatu yang indah, tetapi benci dengan sesuatu yang buruk atau jelek, selain itu hukum karma phala sangat berlaku untuk menentukan kehidupan selanjutnya, karma phala merupakan hasil dari tingkah laku manusia semasa hidupnya. Perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik pula sedangkan perbuatan yang buruk akan mendapatkan hasil yang buruk. Untuk itu manusia dituntun untuk selalu berbuat baik untuk dapat mengantarkan jiwa menuju pembebasan. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“swargga putih hanéng purwwa merunya atumpang sangā. Atepnya salaka putih alas laléyan salaka maulap-ulap sarwa putih Iswara pada iku kahyangan Iswara iku ulian sang tapa brata” (, Bagus Dyarsa, 8a)

Terjemahannya:

‘ada sorga putih yang dilihatnya yang berada di timur, berisi meru tingkat sembilan, beratapkan selaka berwarna putih, beralaskan permadani selaka berwarna putih, serta berisi ulap ulap berwarna putih, itulah istana jagat Iswara, sebagai istanannya Dewa Iswara, sebagai wujud keteguhan sang tapa melaksanakan tapa brata’.

Dari kutipan diatas terlihat bahwa kebenaran Tuhan Yang Maha Esa dapat diraksakan melalui Tapa. Tapa brata merupakan pengendalian diri terutama mengendalikan pikiran, dengan terkendailinya pikiran manusaia maka perilaku maupun ucapan akan ikut terkendali dan kedamaian akan terwujud. Selnjutnya konsep tapa juga dijelaskan dalam Rgveda dalam Titib (1996: 449) yang dapat dikutip sebagai berikut:
“Ataptatanûr na tadāmo ašnute”.
Terjemahannya:
‘Orang yang tanpa menjalankan tapa (pengekangan diri) yang keras, tidak dapat menyadari Tuhan Yang Maha Esa’
(Rgveda XIX.83.1)

Dengan melaksanakan tapa (pengendalian diri) maka seseorang akan mampu untuk menyadari keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan menyadari sepenuhnya tentang keberadaan Tuhan maka seseorang akan selalu berbuat kebikan dalam hidup, sehingga hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam lingkungan akan harmonis. Konsep tattwa selanjunta tedapat pada kutipan berikut:
“hana ta malih kadulu ring dhaksina swargga mirah mérunya atumpang sangā. Atep laléyanya mirah luung téjanya dumilah brahma loka arané Ikahyangan Hyang Brāhma iku hulian sang legéng kayun purusa ring smara laga” (Bagus Dyarsa, 8a)

Terjemahannya:
‘Ada lagi yang terlihat di sebelah selatan, sorga mirah yang memiliki meru tingkat sembilan, atap dan alasnya berwarna merah, sangatlah bagus bersinar, Brahma loka namanya, sebagai istananya Sang Hyang Brahma, itu dikarenakan orang yang memiliki keteguhan hati, berani dalam peperangan’.

Kutipan tersebut menyatakan bahwa setiap manusia haruslah memiliki keteguhan hati supaya dalam menghadapi suatu masalah tidak mengalami keraguan dalam hati, berani dalam peprangan yang dimaksud adalah manusia setiap harinya mengalami peperangan dalam dirinya, menentukan suatu pilihan merupakan contoh dari peperangan dalam diri, untuk itu manusia harus memiliki keteguhan hati dalam menentukan plihannya. Konsep tattwa selanjutnya terdapat pada kutipan berikut:
“hana ta malih kadulu swargga kuning ring pascima mérunya tumpang sangā. Atep laléyanya mās catur téjanya dumilah ring Buddha loka arané IPuran Mahādéwa iku hulian sang yasa danguh apnanya sarwwa drewéné” (Bagus Dyarsa, 8a-8b)

Terjemahnannya

‘ada lagi yang terlihat swarga kuning, di sebelah barat merunya tingkat sembilan, atap serta alasnya berwarna keemasan  bersinar terang, di Budha loka namanya itu, sebagai Istananya Sang Hyang Mahadewa, itu disebabkan orang yang memiliki keinginan yang kuat dan tidak terikat akan semua barang miliknya’.

Kekayan merupakan suatu yang berbentuk materi yang mampu memberikan kepuasan dalam diri seseorang, tetapi keterikatan dengan hal tersebut dapat menyebabkan seseorang akan lahir kembali kedunia. Manusia hendaknya memiliki keinginan yang kuat agar dapat mencapai kedamaian abadi. Konsep tattwa selanjutnya dapat dipaparkan dalam kutipan berikut:
“hana ta malih kadulu swargga ireng ring Uttara merunya atumpang sangā. Tambak laléyanya wesi halus ring Wisnu bhawana kahyangan Bhathara ari ulihan sang akaryya hayu sura suréng ring ayun bhakti mrihaken ingucap” (Bagus Dyarsa, 8b)

Terjemahannya:

‘Ada lagi yang dilihatnya sorga hitam, disebelah utara merunya tingkat 9, beratapkan dan beralaskan besi halus di Wisnu loka sebagai istananya Sang Hyang Ari (Wisnu), sebagi hasil dari seseorang yang giat bekerja berbuat dharma/kebajikan, dan selalu bhakti menepati apa yang telah diucapkannya’.

Untuk dapat menjalankan suatu kehidupan manusia harus bekerja, tanpa bekerja roda kehidupan ini tidak akan berputar, demikian halnya dengan Tuhan dalam mencipta, memelihara maupun melebur Tuhan juga melakukan suatu pekerjaan, supaya kehidupan ini seimbang. Selain bekerja, bhakti kepada Tuhan merupakan hal yang wajib untuk mendapatkan anugrahnya. Dalam Bhagawad Gita. III. 4 juga dijelaskan mengenai karma, seperti kutipan berikut:
“Na karmanam anarambhan
Naiskarmyam purusa snute
Na ca samnyasad eva
Siddhim samadhigacchati”

Terjemahannya:

‘Orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tiada bekerja
Juga ia tak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja’

Melakukan suatu pekerjaan merupakan hal yang wajib dalam menjalani kehidupan ini karena pada dasarnya perlu makanan untu bertahan hidup, mustahil apabila seseorang yang hanya berdiam saja bisa mememnuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, pernyataan tersebut sangat di dukung oleh sloka dalam Bhagawad Gita. III. 14, dijeaskan bahwa hidup adalah tindakan dan kerja, seperti kutipan berikut:
“Annad bhavati bhutani
Parjanyad annasambhavah
Yajnah bhavati parjanyo
Yajnah karma samudhavah”

Terjemahannya:
‘Dari makanan mahluk menjelma
Dari hujan lahirlah makanan
Dari yadnya munculah hujan
Dan yadnya lahir dari pekerjaan’

Demikianlah sloka dalam kitab Bhagawad Gita menjelaskan mengenai karma, bahwa hidup adalah tindakan dan kerja untuk dapat memutar roda kehidupan ini.  Konsep tattwa selanjutnya terdapat pada kutipan berikut:
“hana ta malih kadulu swargga biru Ersanya miru parunggu dumilah. Tumpang sangā atepnya parunggu tambak laléyané parunggu anyar sinangling kiri sakila mayu kahyangan Bhathāra Sambu ulihaning sang akaryya hami lepasing laluhur” (Bagus Dyarsa, 8b)

Terjemahannya:

‘Ada lagi yang terlihat  swarga Biru, di sebelah tenggara meru dari perunggu, yang bersinar, tingkat sembilan, atapnya perunggu dan beralaskan perunggu halus yang dihiasi sakila manyu, kahyanga Bhatara Sambu karena orang yang bekerja tidak pernah lupa dengan leluhur’.

Leluhur merupakan para pendahulu yang harus selalu di ingat supaya mendapatkan suatu perlindungan darinya. Berbakti kepada leluhur merupakan wujdud bhakti kepada Tuhan. Dalam agama Hindu tuhan memiliki sifat berada dimana-mana, untuk itu memuja leluhur adalah memuja Tuhan itu sendiri. Selain kitipan diatas masih banyak konsep tattwa yang terdapat dalam ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa. Dalam kehidupan ini seseorang dituntut memiliki suatu keteguhan hati, dan manusia harus selalu bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Setia terhadap perkatan serta mengindari kebimbangan. Seseorang yang mampu untuk melakukan tapa brata dan memahami hakekat kelepasan itu sendiri maka untuk menyatu dengan Tuhan sangat mungkin. Kutipan selanjutnya tentang konsep tattwa ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa sebagai berikut:
“malih Lor Wétan prenah ipun méru tumpang solas agung abhra sinang bang ing mirah rahina wengi humurub gopura manik kumenyar tambak laléyanya dumilah. Kahyangan Sang Saraswati iku ulihan sang prajnyan brata widhya wruhing aji bisahang ri petak idung” (Bagus Dyarsa, 9b)

Terjemahannya:

‘ada sebuah gapura manik yang bersinar dengan beralaskan permata mulia, Kahyangan Dewi Saraswati namanya, sebagai tujuan sang pradnyan, melaksanakan Brata sastra, mengetahui  tentang segala ilmu pengetahuan’.

Ilmu pengetahuan sangat penting untuk dimiliki setiap orang, dengan ilmu pengetahuan maka akan berpengaruh terhadap prilaku seseorang. Ilmu pengetahuan juga dikatakan sebagai senjata untuk membedah setiap persoalan dalam hidup ini sehingga untuk mejalani kehidupan akan menjadi lebih mudah. Dewi Saraswati merupakan lambang dari ilmu pengetahuan dalam agama Hindu. Pengetahuan tentang kebenaran agama sangat perlu untuk dipelajari, sehingga dengan mengetahui kebenaran agama maka pikiran seseorang akan terkendali, sehingga perilaku maupun ucapan juga akan terkendali.
Untuk dapat mencapai kelepasan yaitu menyatunya atman dengan Brahman seseorang hendaknya memegang teguh ajaran kebenaran, dan semua keterikatan dengan keduniawian harus dilepaskan. Memiliki rasa kasih sayang yang tak terikat. Kasih sayang yang tak terikat yang dimaksud adalah mengaggap semuanya sama tanpa adanya perbedaan, semua yang ada ini akan kembali keasalnya termasuk diri kita. contohnya tidak terikat dengan kekayaan yang berlimpah, sehingga mampu untuk berderma kepada sesama yang lebih membutuhkan dengan rasa tulus iklas.

4.3.2 Konsep Etika dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethis yang berarti kesusialaan lebih tepatnya to ethos yang berarti kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan. Etika ialah pengetahuan tentang kesusilaan, kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam etika akan terdapat ajaran-ajaran tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk (Sura dkk, 2002: 32). Pengertian etika lebih jauh diuraikan juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi tahun 1988 (Bertens, 2004) Kamus tersebut membedakan tiga makna mengenai etika yaitu:
a.       Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
b.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
c.       Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan dalam masyarakat.
Dengan urutan yang dibalik, pengertian etika itu masih tetap dibedakan dalam tiga makna (Bertens K, 2004):
a.       Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam hal ini etika dirumuskan sebagai sistem nilai yang khas berfungsi baik dalam kehidupan manusia perseorangan maupun pada tarap sosial.
b.      Kumpulan asas atau nilai moral, dalam hal ini sebagai kode etik
c.       Ilmu tentang yang baik atau buruk, diartikan sebagai filsafat moral
Berdasarkan pengertian tersebut diatas etika merupakan suatu ajaran tentang baik-buruknya perilaku seseorang, terkait dengan penelitian ini konsep etika dimaksudkan agar dapat mengantar manusia bagaimana bertingkah laku sesuai dengan ajaran etika. Dalam teks Tutur Bagus Dyarsa terkandung berbagai konsep etika, adapun konsep etika yang dimaksud adalah Bagus Dyarsa adalah seorang yang baik hati perlu untuk dijadikan contoh dalam menjalani kehidupan ini, Bagus Dyarsa memiliki konsep bahwa semua manusia itu adalah sama tidak ada manusia yang hina, konsep pemikiran Bagus Dyarsa merupakan konsep pemikiran yang perlu untuk ditiru sehingga tidak terjadi suatu diskriminasi suku antar ras dan agama. Ketika seorang pengemis datang untuk meminta sisa makanan kepada Bagus Dyarsa, Bagus Dyarsa mengajaknya makan bersama meskipun pengemis itu memiliki keaadan fisik yang bau dan jorok, tetapi Bagus Dyarsa mampu untuk mengajaknya makan bersama. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“Gustin tityang Dewa Ratu tityang manunas lungsuran basang tityangé bes layah”. Bagus Dyarsa mamunyi alus “mai ké menékan” bareng madaar kaki I tuwa lingña alus “tityang mindah Déwa ratu tityang manunas lungsuran” Bagus Dyarsa masahut “Nah kaki mai menékan bareng kén tityang madaar”. “Apan tityang kaki saja tanruh tan hina wang wangsā tanruh ring sor pangālewih lagut kakiné gudgud tuwa bungkut bwin berung kémad saja baan tityang mambahang kaki manglungsur” tumuli raris kajemak kapradi kājak menékan. “Tabé tityang Gusti Déwa Ratu tityang janma jelé” Bagus Dyarsa nyautin “manegak kaki ditu tumuli bareng manyekul”(Bagus Dyarsa, 3b-4a)

Terjemahannya:

‘Wahai Gusti, berikanlah saya makanan, saya sangat lapar. Bagus Dyarsa lalu berkata duduklah disini kek, bareng-bareng makan dengan saya, kakek itu berkata halus, saya tidak berani tuan saya hanya meminta sisa nasi tuan, Bagus Dyarsa berkata, wahai kakek, kemarilah duduklah diatas dan mari makan bersama saya. Apakah yang menyebabkan kakek ragu tidak ada manusia yang hina, tidak ada yang dibawah, walaupun kakek orang tua yang sudah bongkok dan banyak borok, saya merasa berdosa apabila memberikan kakek sisa makanan dari saya. Kemudian kakek itu di papahnya kemudian diajak keatas, maafkanlah kakek wahai anak muda kakek adalah orang hina. Bagus diharsa berkata, duduklah disana makanlah bersama saya’.

Dari kutipan diatas bahwa Bagus Dyarsa merupakan seorang yang sangat menghormati orang tua, sesuai ajaran etika bahwa seseorang yang berbakti kepada orang yang lebih tua dianggap seorang yang baik dan memiliki etika dan hal tersebut merupakan suatu bentuk ajaran dharma dalam agama Hindu. Kehidupan ini dipandang sebagi siklus perputaran, hukum karma mengatur segala proses putaran tersebut. Semua yang ada tiada yang abadi, seperti kutipan diatas bahwa Bagus Dyarsa sebagai orang yang lebih muda dari pengemis itu, dan suatu saat Bagus Dyarsa akan menjadi sosok yang tua seperti pengemis tersebut. Hukum karma akan berlaku adil bagi pelaku, Bagus Dyarsa akan mendapatkan pengormatan nantinya ketika ia tua sesuai dengan karma yang ia lakukan.
Dari kutipan diatas dapat dijadikan pedoman dalam hidup bahwa menghormati orang yang lebih tua sangat penting, karena tidak selamanya manusia itu muda. Semua akan mengalami proses penuaan sesuai hukum alam yang mengatur. Untuk itu masa muda adalah waktu yang tepat untuk menghormati orang yang lebih tua sehingga nantinya seseorang tersebut akan mendapatkan penghormatan ketika ia tua.
Baik dan buruk suatu perbuatan akan berpengaruh terhadap perjalanan atman nantinya ketika seseorang meninggalakan dunia ini, seseorang yang dalam hudupnya selalu berbuat buruk atau adharma akan mempengaruhi ataman untuk menjelma kembali keduania dengan mengambil tubuh yang berbeda sesuai karma yang dilakukannya terdahulu. Sehingga untuk mengakhiri siklus kelahiran berulang-ulang seseorang harus berpegang teguh dengan ajaran dharma. Kedamaian abadi akan terwujud apabila dalam kehidupan ini selalu bebuat kebaiakan. Adapun pantangan pantangan seseorang agar mencapai suatu kedamaian abadi dalam teks Tutur Bagus Dyarsa dapat diuraikan dalam kutipan berikut:
“Ada atma to ngenah magantung di carang kepuhé batan nyané misi api to atma janma dudu misuna mangaduh-aduh ada buin ngenah atma kepung céléng muwah asu kagutgut makuyayangan matatu ngeling mangengkak. Ento atma tan hina wang tutur tingkah dadi janma tang pangétang lingning aji satata mungpang laku padha-padha tekén pasu ada malih katon atma pinacoking paksi agung muñcar getihé sumirat tatuné dekdek ngurañjang. Ento atma manusané punggung mangulahang awak apang suka padidiin ada atma lén rawuh pagrubug padha mahawug ngambekang kabrahmantyané kéné phalanya katepuk malih katah katon atma malablab mungguwing jambangan. Mangruduk malwab kedas kedus watek yama bala padha girang manujahin baan suligi buluh pajerit padha mangaduh ento atmaning dursila ambeknya paka dahaku merih tekén gelah anak kirang taros lewih krodha” ( Bagus Dyarsa, 13a-13b).

Terjemahannya:

‘ada lagi atma yang digantung di pohon kepuh, dibawahnya ada api. itu adalah atma yang suka berbohong  dan sering mempitnah, menjerit jerit, ada lagi atma yang dikejar kejar babi, digigit anjing dipenuhi luka menanis bergulingan, itu adalah atma dari orang yang tiada meyakini ajaran agama, selalu berbuat yang bertentangan dengan ajaran agama. ada lagi atma  yang dikejar dan di patuk oleh burung  besar, keluar darahnya  berceceran disana sini, itu adalah atma yang bodoh yang selalu mencari kesenangannya sendiri. ada lagi atma yang datang  tergesa gesa sama sama sedang dilanda kemarahannya. Pada sata di bumi kini bertemu lagi, banyak lagi yang terlihat atma yang di rebus  di dalam wajan yang sangat besar  yang mendidih  dan mengeluarkan asap, para penjaga yama bala dengan gembiranya menusuk atma tersebut dengan sebilah bambu runcing  mereka semuanya menjerit. Itu adalah atma yang dursila, menginginkan yang bukan miliknya, sombong dan berkata kasar disertai dengan kemarahan’.

Dalam perjalanan Bagus Dyarsa menuju tempat Bhatara Guru, Bagus Dyarsa menemukan atman-atman yang sedang dihukum karena dosa-dosanya,  dihukum karena perbuatannya pada masa hidupnya. Atman merupakan percikan terkecil dari Tuhan sehingga tidak mengalami kematian,  Bhagawad Gita. II. 20 dalam Titib (1996: 144) dijelaskan mengenai rahasia atman sebagai berikut:
“Na jayate mriyate va kadacit
Nayam bhutva bahvita van a bhuyah
Ajo nityah sasvato’yam purano
Na Hanyate hanyamane sarir”

Terjemahannya:
‘Jiwa ini tidak terlahirkan dan tidak pernah binasa. Baik dimasa lampau dan dimasa datang, ini juga tak akan terjadi. Hanya badan yang rusak (binasa) sedangkan jiwa tidak’.

Jiwa-jiwa manusia yang bersumber dari Tuhan terlahir akibat pebuatan yang dilakukannya, karma phala mengatur semuanya tidak ada yang terlepas dari hukum karma tersebut. Segala yang menimbulkan sebab akan melahirkan akibat. Untuk itu dalam bertingkahlaku hendaknya berpedoman dengan adanya hukum karma yang mengatur semua ini. Kutipan diatas merupakan pantangan-pantangan sebagai seorang manusia yang masih menjalani kehidupan di dunia ini, dari kutipan tersebut dapat dijadikan contoh dalam hidup ini bahwa seseorang harus selalu jujur dalam hudupnya. Menurut Titib, (1996: 308) menyatakan bahwa kebenaran/kejujuran (satyam) merupakan prinsip dasar hudup dan kehidupan. Bila seseorang senantiasa mengikuti kebenaran, maka hidupnya akan selamat, sejahtera, terhindar dari bencana, memperoleh kebijaksanaan dan kemuliaan. Kebenaran/kejujuran dapat dilaksanakan dengan mudah, bila seseorang memiliki keyakinan (Sradha). Dengan keyakinan ini seseorang akan mantap bertindak dijalan yang benar, menuju yang benar.
Pantangan-pantangan selanjutnya yaitu manusia pada masa hidupnya tidak diperbolehkan memfitnah orang lain, karena menebarkan fitnah merupakan tidakan yang tidak benar, tidak percaya dengan ajaran agama merupakan pantangan selanjutnya sebagai manusia. seseorang hendaknya mengetahui sastra agama dan yakin terhadap ajarannya. Dengan memiliki keyakinan yang kuat maka kedamaian abadi dapat tercapai. Menginginkan sesuatu yang bukan miliknya dianggap perbuatan yang dursila untuk itu pada saat atman meninggalkan badan kasar ini, perjalanan sang atman akan menderita. Ajaran etika merupakan ajaran tentang baik dan buruk seseorang dalam bertingkah laku, dalam teks Tutur Bagus Dyarsa juga dijelaskan bahwa manusia hendaknya apabila memiliki kekayan lebih berderma kepada sesama yang lebih membutuhkan.
Semua contoh-contoh penderitaan sang atman tersebut diatas adalah mengajarkan kepada semua manusia dalam menjalani kehidupan ini agar menghindari perbuatan-perbuatan yang buruk, seseorang dituntun untuk selalu berbuat dharma berbuat kebaikan dalam hidup, sehingga kedamian di dunia akan terwujud. Hukum karma phala berlaku adil dan tidak dapat untuk ditawar, sangsinya tegas bagi pelaku, untuk itu seseorang hendaknya mulai menyadari siapa sebenarnya diri kita.

4.3.3 Konsep Upacara  dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Secara etimologi upacara berasal dari kata “Upa dan Cara”. Upa yang berarti sekeliling atau menunjukka segala cara, dan kata cara yang berarti aktifitas, jadi yang dimaksud dengan upacara adalah gerakan disekeliling kehidupan manusia dalam upaya menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa (Purwita, 1989: 3). sementara itu Poerwadarmita (1983: 485), menyatakan kata upacara mengandung dua pengertian penting yaitu upacara adalah tanda-tanda kebesaran, dan upacara dalam arti peralatan (menurut alat) melakukan suatu perbuatan tertentu menurut adat kebiasaan atau agama.
Selain itu upacara juga dapat berarti : (1) Kelakuan, tindak tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama Hindu, (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu, dan (3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan agama Hindu. Antara tattwa, etika dan upacara ketiganya merupakan tri kerangka dasar agama Hindu yang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Etika menjadi landasan etis dari semua perilaku  umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusai dan dengan alam lingkungan. Sedangkan upacara atau acara menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi dan kebudayaan religius.
Dari pengertian upacara tersebut diatas maka konsep upacara dalam penelitian ini dimaksudkan untuk membahas lebih dalam mengenai hubungan manusia dengan Tuhan yang terdapat dalam teks Tutur Bagus Dyarsa yang patut untuk dijadikan pedoman dalam hidup untuk mencapai suatu keseimbangan antara skala dan niskala. Manusia merupakan ciptaan Tuhan, jiwa manusia merupakan percikan terkecil dari Tuhan sehingga manusia dapat hidup. Jika dilihat dari hal tersebut maka manusia bersumber dari Tuhan maka manusia hendaknya kembali kepada sumber penciptanya itu. Dengan diberikannya sinar hidup yang menyebabkan manusia itu hidup maka setiap manusia hendaknya wajib berterima kasih, berbhakti, dan selalu sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun rasa sujud tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk puja dan puji kebesannya yaitu dengan melakukan bhakti, dengan melakukan tapa brata, dan mempelajari, menghayati dan mengamalkan setiap ajaran-ajaran agama khususnya agama Hindu.  Dalam teks Tutur Bagus Dyarsa terdapat beberapa konsep upacara dalam kainnya dengan hubungan manusia dengan Tuhan dapat dipaparkan dalam kutipan berikut:
“Hyang panyarikan amuwus “kita atma kabéh nira matakon dén jati suba ké padha kamu makinkin mangulah ayun déwa yadnya bhuta yadnya mapitra yadnya mambukur madana punya ring jagat maguru kreto padésa”. (Bagus Dyarsa, 16a)


Terjemahannya:

‘Hyang penyarikan berkata: wahai kamu atma semuanya. Saya bertanya kepadamu sekarang sudahkah kamu melaksanakan sesuatu yang menyenangkan para dewa , bhuta yadnya  melaksanakan pitra yadnya, mamukur  dan berderma di dunia  dan berguru’.

Dalam agama Hindu terdapat macam-macam yadnya yang harus dilaksanakan sebagai rasa bhakti dan rasa berterimakasih kepada Tuhan. Yadnya merupakan korban suci yang dipersembahakan secara tulus iklas untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam kutipan diatas bahwa manusia hendaknya melaksanakan upacara Dewa Yadnya, sebagai rasa bhakti kita kepada Tuhan karena telah memberikan sinar hidup bagi semua mahluk di alam semesta ini. Dewa Yadnya merupakan upacara yang tulus iklas yang ditujukan kepada para dewa. Selain upacara dewa yadnya, upacara Bhuta yadnya juga perlu untuk dilakukan sehingga alam semesta ini memperoleh suatu keseimbangan. Selain upacara tersebut Pitra Yadnya juga sangat penting untuk dilakukan, Pitra Yadnya merupakan korban suci yang tulus iklas yang ditujukan kepada para leluhur, pada hakekatnya para leluhur adalah perwujudan pengejawantahan Tuhan, untuk itu perlu untuk dipuja, leluhur yang telah mencapai moksa dan menyatu dengan Tuhan seseorang dapat meminta karunianya, sementara leluhur yang berada di alam neraka karena karmanya keturunannya patut untuk mendoakan dan selalu berbuat baik agar para leluhur terangkat dari kesengsaraan di neraka. Kutipan diatas juga menjelaskan bahwa upacara mamukur penting untuk dilakukan, mamukur merupakan kelanjutan dari upacara ngaben sebagai bentuk penyucian atman (roh) fase kedua. Mamukur berasal dari kata Bhukur, Bhu yang berarti alam dan Ur berarti atas. Jadi mamukur adalah penyucian atman agar terlepas dari badan halusnya (suksam sarira) berupa sifat-sifat manusia dan keinginan-keinginannya sehingga bisa menyatu dengan sang pencipta menjadi roh suci (dewa pitara).
Dari kutipan diatas bahwa agama Hindu mengajarkan kita untuk selalu berbakti kepada Tuhan sebagai pencipta, rasa bhakti seseorang dapat diwujudkan dalam bentuk yadnya sebagai rasa terima kasih kita kepada Tuhan, yadnya juga sebagai media mendekatkan diri dengan sang pencipta. Melaksanakan suatu yadnya tidak harus megah dan mewah, sesuai dengan kemampuan umatnya, Agama Hindu yang bersifat fleksibel membagi tingkatan yadnya kedalam tiga tingkatan, yaitu yadnya utama,  yadnya madya dan yadnya nista. Rasa tulus iklas yang menjadi dasar dalam melakukan setiap upacara yadnya. Mengenai yadnya merupakan seuatu pekerjaan maka dalam Bhagawad Gita III. 30 dikutip sebagai berikut:
“Mayi sarvani karmani
Samnyasyadhyatma cetasa
Nirasir nirmano bhatva
Yudhyasva vigata jvarah”

 Terjemahannya:

‘Persembahkanlah segala pekerjaan kepada­-Ku dengan memusatkan pikiran kepada-Ku. Lepaskanlah dirimu dari pamrih dan rasa keakuan serta bagkitlah, engkau akan terbebas dari pikiran yang susah’ (Titib: 1996: 144).

Dari kutipan sloka diatas dapat dijelaskan bahwa seseorang dalam melakukan pekerjaan ataupun beryadnya hendaknya dilandasi dengan rasa tulus iklas tanpa adanya rasa pamrih, dan melakukan suatu pekerjaan haruslah dengan berfikir positif sehingga pekerjaan ataupun yadnya memiliki kualitas yang baik.
Berbicara masalah konsep upacara dalam kaitannya hubungan manusia dengan Tuhan tapa brata juga termasuk kedalam hubungan manusia dengan pencipta. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“hana ta swargga kadulu swargga putih hanéng purwwa merunya atumpang sangā. Atepnya salaka putih alas laléyan salaka maulap-ulap sarwa putih Iswara pada iku kahyangan Iswara iku ulian sang tapa brata”(Bagus Dyarsa, 8a)

 Terjemahannya:

‘ada sorga putih yang dilihatnya yang berada di timur, berisi meru tingkat sembilan, beratapkan selaka berwarna putih, beralaskan permadani selaka  berwarna putih, serta berisi ulap ulap berwarna putih, itulah istana jagat Iswara, sebagai istanannya dewa Iswara, sebagai wujud keteguhan sang tapa melaksanakan tapa brata’.

Dari kutipan diatas jelas bahwa manusia hendaknya melakukan tapa brata untuk memperoleh sorga menurut Titib, (1996: 448) menyatakan bahwa Brata atau Vrata adalah janji dengan sungguh-sungguh dengan melaksanakan disiplin atau latihan rohani tertentu. Brata dapat diartikan disiplin tertentu. Seseorang yang melaksanakan brata akan memperoleh penyucian diri (diksa). Brata harus dilandasi dengan Sraddha (keimanan) yang mantap. Keberadaan Tuhan yang maha esa dapat dirasakan melaui brata, dan dengan tapa seseorang mencapai sorga. Dengan demikian hendaknya umat Hindu melaksanakan tapa brata agar mampu untuk mencapai sorga dengan mencapai sorga maka kelahiran berikutnya seseorang akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik dari kelahiran sebelumnya

4.4. Makna Filosofis Ajaran Siwaistis Dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
 Berbicara mengenai makna yang terkendung dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa tidak terlepas dari pengertian makna itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (1994) yang dimaksud dengan makna adalah sebagai berikut: (1) arti; (2) Maksud pembicaraan atau penulis; (3) pengertian yang diberikan kepada bentuk kebahasaan. Selanjutnya Menurut Sutrisno (dalam Suwita, 2005 : 34) memaparkan tentang makna yaitu sebuah kata atau maksud yang terkandung dalam sesuatu hal. Sementara itu filosofis atau filsafat yang digunakan kajian dalam penelitian ini menurut Achmadi, (2008: 1) menyatakan bahwa filsafat berasal dari kata Yunani yaitu filosofia, berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Secara etimologi istilah filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia yaitu dari kata philein yang berarti mencintai dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan. Cinta kebijaksanaan yang dimaksud adalah hakekat. Hakekat merupakan kebenaran yang benar-benar ada, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia hakekat memiliki pengertian intisari atau dasar. Sejalan dengan pengertian hakekat tersebut diatas bahwa filsafat merupakan studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar.
Berdasarkan hal tersebut diatas bahwa untuk mendapatkan kebenaran yang benar-benar ada atau mendapatkan suatu hakekat manusia perlu untuk berfilsafat, karena filsafat dan hakekat memiliki pengertian yang sejalan. Secara umum filsafat diklasifikasikan kedalam tiga jenis, yaitu epistemologi (filsafat pengetahuan), aksiologi (filsafat nilai) dan ontologi (filsafat tentang eksistensi atau keberadaan).
Berdasarkan pengertian makna dan filosofis diatas bahwa makna merupakan sebuah arti atau maksud yang terkandung dalam suatu hal. Dan filosofis memiliki pengertian sama dengan hakekat yakni kebenaran yang benar-benar ada. Terkait dengan penelitian ini kata makna filosofis dimaksudkan untuk membahas lebih dalam mengenai makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa. Adapun makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa sebagai berikut:

4.4.1 Hakekat Estetika dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Hakekat merupakan kebenaran yang benar-benar ada sementara itu, estetika merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas keindahan.  Estetika merupakan ilmu membahas bagaimana keindahan itu terbentuk, dan bagaimana supaya dapat merasakannya. Estetika berasal dari bahasa Yunani dari kata aesthetis yang berarti perasaan atau sesitivitas. Keindahan memang erat sekali hubungannya dengan selera, perasaan dan dalam bahasa Jerman disebut gescemack  dan dalam bahasa Inggris disebut sence yang artinya segala pemikiran filosofis tentang seni. Terkait dengan penelitian ini estetika merupakan segala hal yang menyangkut keindahan yang ada pada pandangan seseorang. Pandangan itu sendiri dapat dianggap sebagai sesuatu yang bersifat relative dan tidak bisa dipastikan sama. Tetapi didalamnya terdapat dua nilai yang penting yang perlu untuk diketahui nilai tersebut yaitu nilai interinsik dan nilai ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang terkandung dari dalam suatu kenindahan, artinya nilai intrinsik biasanya dapat dirasakan dari dalam hati oleh penikmat atau penerimanya, sendangkan nilai nilai ekstrinsik adalah nilai yang terlihat dari luar yang dapat dinilai secara langsung secara kasat mata.
Pada teks Tutur Bagus Dyarsa nilai ekstrinsik dapat dilihat dari segi bentuk lontar, tulisan, maupun tempat penyimpanan Lontar Bagus Dyarsa. sedangkan nilai intrinsik menilai tentang hakekat yang terkandung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa yang dapat diterima oleh pembaca sehingga pembaca akan mengerti alur daripada teks Tutur Bagus Dyarsa. dari pengertian tentang estetika diatas maka pesan yang ingin disampaikan oleh penulis teks Tutur Bagus Dyarsa kepada pembaca adalah bahwa penulis ingin memperkenalkan ajaran Siwaistis yang terkandung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa. adapun ajaran-ajaran Siwaistis yang terdapat dalam teks Tutur Bagus Dyarsa dapat dipaparkan sebagai berikut:
“Kai maang iba syap aukud ento gocék iba awanan ibané molih suka wiryya tur agung ngentinin I gusti agung apan ento musuh iba kranan ibané rutrut ento ngupayang iba gusti mangabletang panjak”. “Duryan yén iba suba agung salinin bikasé eda nganggon daya piranti mamotoh iba suud to makada kasalimur sagatin-gatin gawéné katungkul bān tuyuh rāga wisaya makejang eda mangraketang di manah” (Bagus Dyarsa, 21a-21b)

Terjemahannya:

‘Aku akan memberimu ayam satu ekor, lalu adu lah ayam itu sehingga kamu akan memperoleh kemenangan  dan kesuksesan  kamu akan menjadi raja menggantikan I Gusti agung  sebab itu adalah musuhmu sebab dia adalah raja yang suka sekali membuat penderitaan rakyat. Nanti kelak jika kamu sudah menjadi raja maka rubahlah kebiasaan burukmu janganlah memakai alasan untuk berjudi. giatlah untuk bekerja jangan lagi kamu dibutakan oleh kesenangan dirimu sendiri’.

Berbicara masalah hakekat estetika yang ditinjau dari sudut pandang nilai intrinsik bahwa pesan-pesan yang ingin disampaikan penulis teks Tutur Bagus Dyarsa kepada pembaca sehingga pembaca mampu untuk memahami pesan yang ingin disampaikannya. Dari kutipan diatas bahwa teks Tutur Bagus Dyarsa merupakan teks berpaham Siwaisme adapun ajaran–ajaran yang ingin disampikan kepada pembaca yaitu manusia harus mampu mengendalikan diri terutama mengendalikan pikiran, karena pikiranlah yang sifatnya liar yang akan berpengaruh terhadap indra-indra yang lainnya. Dalam teks Tutur Bagus Dyarsa juga banyak dijelaskan mengenai konsep kepemimpinan seorang raja yang bijaksana adalah seorang raja yang menguasai sastra sebagai tameng yang paling kuat untuk negaranya, mampu untuk mengayomi rakayat dan mendengarkan aspirasi rakyat
Seorang pemimpin dalam teks Tutur Bagus Dyarsa diibaratkan sebagai seorang pengembala sapi, pengemabala tersebut akan terlihat bodaoh apabila membiarkan sapi-sapi peliharaanya menuju ladang kering dan tandus, sebaliknya pengembala yang baik akan menggiring sapi-sapi peliharannya untuk menuju ladang yang subur dan hijau, sehingga sapi-sapi akan cepat bertumbuh besar dan kuat. Dengan demikian tiada seorang pua yang akan berani untuk menggangunya. Sama halnya dengan seorang pemimpin suatu negara, bahwa pemimpin tersebut akan terlihat bodoh dan akan ditertawakan oleh pemimpin-pemimpin negara tetangga apabila seorang pemimpin menyengsarakan rakyatnya dengan kebijakan-kebijakannya sehingga rakyat akan mengalami suatu penderitaan. Demikian juga sebaliknya pemimpin akan terlihat baik jika mampu untuk memberikan kesejahtraan rakyat sehingga negara tersebut akan berkembang kearah yang lebih maju.
Konsep kepemimpinan dalam teks Tutur Bagus Dyarsa diatas jika di hubungkan kedalam diri individu maka setiap individu memiliki kewajiaban dalam memimpin diri. Memimpin diri yang dimaksud adalah manusia harus mampu mengedalikan diri dengan mempelajari sastra sebagai sumber pengetahuan. Memimpin diri juga dapat diartika menguasai pikiran yang memiliki sifat liar dan mampu untuk mengendalikannya. Terkendalinya pikiran akan mampu untuk menghindari prilaku-prilaku yang bersifat negatif. Demikian sebaliknya seorang individu akan hancur apabila tidak mampu untuk mengendalikan pikirannya, pikiran yang menguasai diri seseorang maka akan menjadi budak oleh pikirannya sendiri, seperti contoh dibutakan oleh kesenangan berjudi misalnya, dengan mengisi kesenangan saja maka seseorang akan lupa tujuan hidup sebagai manusia, melupakan kewajiban sebagai ciptaan Tuhan.
Hakekat estetika ditinjau dari sudut pandang nilai intrinsik yang terkandung dalam ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa yang ingin disampaikan pengawi (penulis) kepada pembaca bahwa pengawi (penulis) lontar Bagus Dyarsa ingin memperkenalkan ajaran berpaham Siwaistik melaui teks Tutur Bagus Dyarsa. wejangan-wejangan Bhatara Guru kepada Bagus Dyarsa yang patut dijadikan pedoman dalam hidup bahwa manusia harus mampu dalam memimpin diri meguasai pikiran sehingga tidak dibutakan oleh kesenangan yang bessifat duniawi, dengan pengendalian diri terutama mengendalikan pikiran seseorang akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang bersifat negatif. Pengendalian pikiran dapat dilakukan dengan mengisi pikiran dengan pengetahuan-pengetahuan tentang kebenaran agama. Pernyataan tersebut didikung pustaka suci Manawa Dharmasastra V.109 dikutip sebagai berikut:
“Adbhigatrani suddhayanti manah satyena suddhayanti,
Widyatapobhyam bhutatma buddhir jnanena cuddhayanti”

Terjemahan:
‘Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata kecardasan dengan pengetahuan yang benar’

4.4.2 Hakekat Kehidupan Sosio-politik dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari setiap individu selalu berinteraksi dengan individu lainnya,  baik secara lisan maupun isyarat. iteraksi itu terjadi karena manusia tidak dapat hidup dengan sendirinya oleh kerena itu manusia juga disebut makhluk sosial. Kumpulan atau persatuan individu-individu akan membentuk suatu masyarakat, jadi masyarakat terbentuk apabila dua orang atau lebih hidup secara bersama-sama, sehingga timbul berbagai hubungan yang menyebabkan mereka saling mengenal dan mempengaruhi, dan dalam hubungannya antara individu satu dengan yang lainnya memiliki suatu politik didalam kebersamaannya. Berbicara masalah politik tidak selalu membahas mengenai penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, tetapi politik juga membahas mengenai hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam hal suatu kepentingan.
Istilah politk memang selalu dekat dengan istilah kepentingan. Karena didalam politik selalu terdapat unsur kepentingan. Politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kepentingan. Akan tetapi politik tidak sama dengan kepentingan. jawaban akhir dari suatu politik adalah kepentingan. Dengan demikian, ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa memiliki suatu kepentingan yang terkandung didalamnnya. Adapun kepantingan-kepntingan yang dimaksud agar seseorang menjadi sadar terhadap diri bahwa semua yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua ajaran-ajaran dituangkan lewat wejangan-wejangan yang diberikan Bhatara Guru kepada Bagus Dyarsa. Semua ajaran-ajaran yang diberikan memiliki suatu kepentingan yang bersifat positif, yaitu menyadarkan seseorang agar selalu berpegang teguh terhadap ajaran agama.. Adapun kepentingan-kepentingan yang dimaksud dapat dipaparkan dalam kutipan berikut:
“Duryan yén iba suba agung salinin bikasé eda nganggon daya piranti mamotoh iba suud to makada kasalimur sagatin-gatin gawéné katungkul bān tuyuh rāga wisaya makejang eda mangraketang di manah. Sanghyang sāstra gulik punduh-punduh resepang di manah susupang teked dyatihapan to tungked kukuh krana pageh dadi agung sāstra panyuluh idhepé apang eda pati puug manyalanang kapatutan uger-ugerin bān sāstra. Tingkah panjaké dabdabang malu eda mbahang gambur alaksananya pariksain eda iju-iju ngugu galih-galihin to malu apang eda kadunga  éwér munyin nyané malu panut atepang kén laku lampah ento inger apang pedas. Yén katangkil ditu ngalih unduk di tebeng panjaké eda teka éncong mudalin wangsa-wangsanen ditu panjaké mahatur-hatur trabang eda nyalumurang né salah tekén né patut to glik inger di manah mani puan dong karwan. Mamunyi purukin eda sigug maperemin panjak pipitang teked ka hati tidong bān kamben saput makada panjaké lulut kapatutan pangrawosé mangda panjaké anut yan mangrasa kaungkulan bān kapatutan pangrasa. Panjaké eda mambahang lucu lampah pwaranya sama bédané ya gisilyaté apang patut munyi seken apang alus tata tété ujar ajér sya karana apang patut apang yatna jeroning manah apang eda banyak acluwag. Yén ada prebekel mātur-atur eda ngaramangang apang seken bān manampi tatasang ukud-ukud eda mambahang salah surup simpen ingetang di manah mata bibih cidra ditu yén ada lāwan tong ada ya manguda twara karuan. Tanding-tanding kalegané ditu kén sakit panjaké eda ngulaang demen hati asing makrana sungsut ento pikpik eda manglur panjaké sampi samanyapa ngangon nya anak agung yan patut baan ngangonang ya mokoh tanduké rénggah. Lanying tajep nyén bani ngejuk ngres ya anaké yén nyapa yah etuh aking sing jalan padang atub kema laku nyama nyunuk salah tindakan ka taban apa sih anggon manebus ngenah belogé ngangonang kakedékin bān pisaga. Rāga wisané eda ngulur eda mangretang eda twara mandemenin apang eda kapilug katenger bān anak liyu bakat dadi undukinya lamun banya ngelah musuh ento anggon nyau payanadwang ebé di tukad. Awake daropon belog utun manyaplok baréné twara tawang misi pancing tulus payu matambus tong ingetang apang kukuh eda engsap tekén sāstra ida gede sai pundut ajak mangrawosang sāstra mangdé purnna maning jagat. Apan tatelu dadi pangulu yan umungguing sāstra Sanghyang Ongkāra kapuji ento dadi pangulu para mas iwānggan ipun yan ring nāgara sang Natha Saddhasiwa anggan ipun  yan ring gunung sang brāhmana apan to rumaga siwa. To eda embahang belas né tatelu dadi tri purusa sakala niskala becik” Bagus Dyarsa nuun manyumbah-nyumbah mangatur sandikan Ida Bhathara sapa wacana Hyang Guru sāmpun sumusuping manah tutug ring dwa dasa guna” (Bagus Dyarsa, 21a-23a)

Terjemahnnya:

Nanti kelak jika kamu sudah menjadi raja maka rubahlah kebiasaan burukmu janganlah memakai alasan untuk berjudi. giatlah untuk bekerja janganlagi kamu dibutakan oleh kesenangan dirimu sendiri. Pelajarilah kecap sastra  kumpullkanlah lalu resapiklah dalam hatimu  itu adalah pedoman yang sangat kuat  sebab menjadi seorang raja yang kuat sastralah sebagai tamengmu. Dan sebagai sinar menerangi jalanmu. Janganlah kamu merasa ragu untuk menjalankan kebenaran dengan berdasarkan atas sastra dharma. Segala perbuatan rakyatmu perhatikan jangan mereka di kasi berbuat sembarangan, periksalah  jangan kamu tergesa gesa  meyakininya, hendaknya kamu pertimbangkan dengan matang  supaya jangan sampai terlanjur, segala perkataannya hendaknya kamu resapi supaya sesuai antara perkataan dengan perbuatannya. Jika kamu nanti didatangi  disanalah kamu mencari pengalaman jangan kamu langsung mengusirnya, perhatikanlah kesejahtraan rakyatmu. disana rakyatmu akan menghadap dengan bahasa yang benar, terapkanlah agar benar benar baik. janganlah kamu membela yang benar dan yang salah itu yng patut kamu pikirkan dihati  nanti kamui akan mengerti. Belajar untuk mengeluarkan kata kata, janganlah kamu berkata kasar  terhadap rakyat, dari dalam hatimu sampai pada yang keluar dari mulutmu. Jangan hanya manis dibungkus oleh kata kata. Yang nanti menyebabkan rakyatmu akan cinta padamu. perkataanmu supaya meyakinkan sehingga rakuyatmu merasa di ayomi oleh kebenaran. Rakyatmu janganlah dibiarkan seenaknya  antara perjalanan dan tujuannya, mampu menjalankan kedudukan yang sama antara rakyatmu, membedakan yang salah dan benar, itulah yang patut diterapkan agar rakyatmu bisa berbicara yang benar  dan serius  serta berbahasa yang halus dan sopan. berhati hatilah  supaya jangan timbul kecerobohan. Jika ada prebekel yang melapor janganlah kamu tiada menghiraukannya. Supaya benar benar baik kamu terima, tanyakanlah supaya jelas satu persatu. Janganlah kamu salah terima  simpan dan ingatlah selalu, mata bibir dan bahasamu disana jika ada musuh maka semuanya tiada berani melawanmu. Buatlah agar rakyat bahagia dan perhatikan segala penderitaan rakyatmu jangan kamu mencari kesenanganmu sendiri,  segala yang membuatmu sedih hilangkanlah sedikit demi sedikit. Sama halnya memelihara kerbau, jika kamu berhasil memberi mereka makan maka dia akan menjadi besar dan kuat serta mempunyai tanduk yang kuat dan runcing, maka siapakah yang akan berani untuk menangkapnya. Pasti yang menangkapnya akan takut. jika ada sapimu yang menuju tempat kering dan tandus giringlah mereka ke lading yang subur penuh dengan rumput hijau, jika kamu membiarkannya maka akan terlihat kamu  sangat bodoh untuk menggembala sapi dan di tertawakan oleh orang lain. segala pikiranmu yang kotor buanglah jangan kamu biarkan dan jangan kamu kurangi, tetapi kendalikanlah supaya jangan sampai membuat yang lain menderita. sebab orang banyak akan gampang sekali untuk memperhatikanmu seorang, jika kamu memiliki musuh itulah yang kamu pakai untuk menangkap sama seperti menjaring ikan di sungai, orang yang ceroboh lalu memakan umpan  tidak tahu berisi pancing sudah tentu kamu akan di bakar. ingatlah dengan baik, jangan lupa denga sastra. Ida Gede  selalu kamu bawa ajaklah membahas sastra  supaya mencerahkan jagat sebab ada tiga yang menjadi pemucuk  yang ada di sastra  Sang Hyang Ongkara yang utama, itulah yang menjadi ujung tombak parama siwa beliau, jika pada Negara  sang natha sada siwa perwujudan beliau, jika di gunung  sang brahmana sebab beliau perwujudan  siwa. itu janganlah sampai terpisah  ketiga hal itu menjadi Tri Purusa sekala niskala supaya baik. Sang Bagus Dyarsa menyembah  dan berkata hamba akan mengikuti segala perintahmu. Segala perkataan Bhatara Guru setelah selesai menerima wejangan dan meresapi dalam hatinya.selesai meresapi ajaran dasa guna. 

Dari kutipan diatas kepentingan-kepentingan yang ingin disampaikan dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa dapat dijelaskan bahwa setiap pemimpin harus berpengetahuan dalam menata suatu negara, mampu mengayomi rakyat, tidak menyengsarakan rakyat dan yang paling terpenting adalah tidak mengisi kesenangannya menjadi sorang pemimpin. Apabila seorang pemimpin masih dibutakan oleh kesenangan yang bersifat indrawi maka pemimpin tersebut akan sewenag-wenag terhadap rakyat dan korupsi akan berkembang di negara negara yang dipimpinnya. Untuk itu pengawi berpolitik menyebarkan ajaran-ajaran kebenaran kepada seluruh pemimpin di muka bumi ini agar mampu untuk menjadi pemimpin yang bijaksana. Selanjutnya dalam pustaka sarasamuscaya sloka 129 dijelaskan tentang satya (kebenaran) sebagai berikut:
“Na yajna phaladanani niyamatstarayanthi hi, yatha
Atyam param loke purusam purusarshaba.
Nihan ta kattamaning kasatyan, nang yajna, nang dana, nang brata, kapwa wenang ika megentasaken , sor ika dening kasatyam, ring kapwa angentasaken”

Terjemahannya:

‘Keutamaan kebenaran adalah demikian, yadnya (pengorbanan), dana (amal sedekah), maupun brata janji diri (sumpah batin); semuanya itu dapat membebaskan; akan tetapi masih dikalahkan oleh satya (kebenaran) dalam hal sama-sama membebaskan diri dari kehidupan di dunia ini’ (Kajeng, dkk, 2003: 103).

Jadi berdasarkan kutipan tersebut bahwa kebenaran merupakan yang utama dalam hal pembebasan diri, ajaran-ajaran Bhatara Guru memiliki suatu kebenaran yang patut untuk dilaksanakan, sehingga pembebasan diri dapat tercapai.
Selain itu Bagus Dyarsa sebagai tokoh sentral perlu dijadikan pedoman dalam hidup ini yang mampu mengamalkan semua ajaran-ajaran dari Bhatara Guru meskipun Bagus Dyarsa adalah seorang pebotoh (pejudi) sehingga Bagus Dyarsa mampu untuk mencapai moksa dan tidak mengalami kelahiran kembali sebagai manusia. Bagus Dyarsa memiliki karakter yang baik mampu untuk melewati semua ujian dari Bhatara Guru sebelum ia mendapatkan suatu anugrah dari Bhatara Guru. Pengawi ingin memperkenalkan ajaran-ajaran berpaham Siwaistis, karena dengan tersebarnya ajaran-ajran suci tersebut maka tidak akan ada penderitaan di dunia dan manusia akan menyadari sepenuhnya siapa dirinya yang sebenarnya. Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah membedakan umatnya, semuanya manusia dapat menyatu denganNya dan terbebas dari ikatan duniawi sehingga terlepas dari kelahiran berulang kedunia, semua itu tergantung pada diri dari masing-masing individu, seberapa besar seseorang tersebut menyadari jati dirinya sebagai manusia. seperti contohnya Bagus Dyarsa yang dikenal sebagai pejudi, tetapi dirinya mampu untuk mengamalkan dengan baik setiap ajaran yang diberikan oleh Bhatara Guru, hal tersebut sesungguhnya patut untuk dijadikan pedoman dalam menjalani hidup ini. Sesungguhnya nilai-nilai yang terkandung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa sangat relevan apabila dijalankan dalam kehidupan masa kini. Dari pembahasan diatas bahwa sesungguhnya pengarang ataupun pengawi teks Tutur Bagus Dyarsa memiliki kepentingan untuk memperkenalkan ajaran Siwaistis kepada masyarakat. Dengan berkembangnya ajaran suci tersebut maka akan tercapai suatu tujuan yaitu tercapainya suatu pemahaman ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa di masyarakat.

BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis data yang ada dari uraian bab terdahulu maka dapat disimpulkan beberapa simpulan dalam pembahasan ini sebagai berikut:
1.      Eksistensi ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa dapat terlihat ketika Bhatara Guru turun kedunia dan menjelma sebagai pengemis untuk menguji Bagus Dyarsa dan memberikan pencerahan kepadanya, bahwa menjadi manusia di dunia supaya tidak dibutakan oleh kesenagan diniawi. Tujuan hidup umat Hindu adalah mencapai pembebasan yaitu menyatunya Atman dengan Brahman. Seperti halnya Bagus Dyarsa yang mampu mejalankan setiap ajaran yang diberikan oleh Bhatara Guru maka Bagus Dyarsa dapat mencapai suatu kelepasan tanpa lahir kembali kedunia.
2.      

Konsep-konsep yang terdapat pada ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa yaitu meliputi konsep tattwa, etika dan upacara. Ketiga konsep tersebut sangat berkaitan konsep tattwa yang dimaksud adalah ajaran tentang kebenaran bahwa seseorang hendaknya meyakini adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini, konsep etika yang dimaksud adalah tingkah laku baik ataupun buruk yang akan berpengaruh terhadap kehidupan selanjutnya. Konsep upacara yang dimaksud adalah hubungan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta.

3.      Adapun  makna yang terkandung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa yaitu hakekat estetika dan hakekat kehidupan sosio-politik. Hakekat estetika jika dipandang dari nilai intrinsik suatu karya sastra bahwa pengawi ingin menyampaikan kepada pembaca, dengan mempelajari ajaran ketuhanan khususnya ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa  maka akan terwujud suatu pemahaman di masyarakat mengenai teks Tutur Bagus Dyarsa dan apabila mampu untuk menjalankannya maka kebahagian semasa hidup dan setelah kehidupan akan tercapai.  Hakekat kehidupan sosio-politik yang dimaksud adalah seseorang yang masih menjalani kehidupan didunia agar berpedoman pada perjalanan hidup Bagus Dyarsa, Bagus Dyarsa adalah seorang pejudi yang mampu mencapai suatu kelepasan tanpa terlahir kedunia sebagai manusia.
5.2 Saran
1.      Teks Tutur Bagus Dyarsa ini perlu untuk dilestarikan, dipelajari, dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, mengingat makna-makna yang terkandung didalamnya sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam menjalani hidup.
2.      Kepada para peneliti agar menjadikan karya sastra sebagai objek penelitian, karena dalam karya sastra terdapat makna-makna yang perlu dikaji sehingga mampu untuk  diketahui dan dipahami oleh masyarakat.
3.      Kepada pemeritah dan lembaga-lembaga Hindu diharapkan memberikan dukungan dan fasilitas sehingga generasi muda Hindu tertarik untuk mempelajari naskah-naskah kuno, sehingga warisan budaya tetap terjaga dan tidak punah.
4.      Kepada masyarakat agar mempelajari lebih dalam karya sastra klasik berupa lontar, karena karya sastra klasik berupa lontar merupakan ilmu pengetahuan yang bersumber dari kitab suci Veda.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 2008. Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Afriadi, Dewa Nyoman. 2008. Eksistensi dan Efektivitas Sistem Banjar Suka Duka Pada Masyarakat Hindu Etnis Bali di Luar Bali. Surabaya: Paramita
Ashshofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Atmaja, Jiwa. 1988. Masyarakat dan Sastra. Denpasar: Himsa
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers
Daryono. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apolo
Djajasudarma, Fatimah, T. 1993. Sematik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT Refika Aditama.
 Duani, Ni Made. 2013. Makna Filosofis yang Terkandung Dalam Gaguritan Jambanegara. (Skripsi). Denpasar: IHDN Denpasar.
Endra Wirawan, I Komang. 2013. (Skripsi). Teks Bhisma Para Leluhur Pasek Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (Kajian Aksiologi). Denpasar: IHDN
Esten, Mursal. 1984. Kristik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya.

Gulo. W. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: Remaja Rosdakarya
Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi Research 1. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Hamidi. 2005 Penelitian Kualitatif. Surabaya: Paramita
James, A. Black dan Dean J. Champion, 1999. Metode dan Masalah Penenlitian Sosial. Bandung: Refika Aditama
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Pradigma

Kattsoft, Luis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga

Knapp, Stephen, dkk. 2005. Hindu Agama Terbesar di Dunia (Hinduism, the Greatest Religion in the World). Denpasar: Media Hindu

Maswinara, I Wayan. 2003. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya : Paramita

Masyuri dan Zainuddin. 2008. Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif. Bandung: PT Refika Aditama.
Montana, Ayu Febry. 2013. (Skripsi). Kajian Filosofis Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Nilacandra. Denpasar: IHDN
Muhadjir, Noeng. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin

Mukajir. 1994. Metode Penelitian. Bandung: IKIP Bandung.
Nurgiantoro. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Jakarta: Gajah Mada University press.

Pals,     Daniel L. 2001. The Seven Theories of Religion. Terjemahan, Ali Noerjaman. Yogyakarta: Qalam

Panuti, Sudjiman. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia

Panya, I Wayan. 2007. (Skripsi). Makna Ajaran Kalepasan Ditinjau Dari Lontar Tutur Angkus Prana. Denpasar: IHDN.

Poerwadarminta, WJS, 1984 a. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Poerwadarminta, WJS, 1984 b. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Poniman. 2012. (Artikel). Konsep Wiku Sejati Dalam Teks Tattwa Dhangdhang Bang Bunghalan. (Sanjiwani Jurnal filsafat). Denpasar: IHDN
Rahmat, Aceng, dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tehnik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Riduwan. 2004. Metode dan Tehnik Penyusunan Tesis. Bandung: Alfa Beta
Sara Sastra, Gede. 2005. Konsepsi Monotheisme dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita

Sivananda, Sri Swami. 2007. Tuhan Siwa dan Pemujannya.Surabaya: Paramita

Suci Hartini, I Wayani. 2011. (Skripsi) Nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Geguritan Prasthanika Parwa. Denpasar : IHDN.

Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta Rineka Cipta
Sugiyono. 2009. Metode Penenlitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Jakarta: Widya Duta.

Suharto, dan Iryanto. 1996. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Indah

Sukada. 1982. Masalah Sistimasi Analisis Cipta Sastra Prosa. Denpasar: Lembaga Penelitian Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Sastra Unud.

Sukada. 1987. Pembinaan Krotik Sastra Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Surajio. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara

Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif moral, Sosial dan Politik. Jakarta: Gramedia

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suriasumantri, Jujun S. 1991. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia
Suweta, I Made, 2012. (Artikel) “Kajian Ringkas Nilai Filsafat Hindu Dalam Lontar Tutur Siwagama”. Denpasar: IHDN
Suwita. 2005. Nilai-nilai Pendidikan Kerohanian Dalam Lontar Tutur Purna Candra. Bandung: PT. Refika Aditama.
Tarigan, Hendri Guntur. 1984. Prinsip-prinsip dasar sastra. Bandung: Angkasa

Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra (Pengantar Teori Sastra). Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim Kajian Teks dan Terjemahan. 1995. Wrhaspati Tattwa. Denpasar: Upada Sastra

Tim Penyusun. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita
Tim Penyusun.1978. Kamus Bali Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Bali

Titib, I Made. 2001. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Titib. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Triguna, IB Yudha. 2000. “Perubahan Sosial dan Respon Kultural Masyarakat Hindu Bali, Widya Satya”. Singaraja: Jurnal Kajian Hindu Budaya dan Pembangunan STIE Satya Dharma.

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2003.  Metodologi Penenlitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Watra, Wayan. dkk. 2007. Pandangan Filosofis Etika dan Upakara dalam Siwaratri Di Era Modrn. Surabaya: Paramita

Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali disebut Bali?. Surabaya: Paramita
Widya Sena, I Gusti Made. 2013. (Artikel).“Belajar Mengenal Siva dan Segala Aspeknya (Perspektif Filsafat Siva Siddhanta)” Sanjiwani Filsafat volume 7 IHDN Denpasar





























Tidak ada komentar:

Posting Komentar