SKRIPSI
AJARAN
SIWAISTIS DALAM TEKS TUTUR BAGUS DYARSA
(Kajian
Filosofis)
KOMANG
BUDIARSANA
FAKULTAS BRAHMA
WIDYA
INSTITUT HINDU
DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Agama Hindu merupakan agama yang bersifat universal dan merupakan agama tertua dari semua agama yang masih ada. Budaya-budaya tua seperti Inca, Maya, Aztec dan lain-lain, memiliki usia ribuan tahun, tetapi tidak satupun dari budaya-budaya tersebut yang masih hidup sampai sekarang. Semuanya telah lenyap dan didokumentasikan dalam sejarah serta peninggalan-peninggalan artifak yang dapat kita jumpai sekarang. Berbeda halnya dengan peradaban Veda, tradisi dan prakteknya yang kita lihat sekarang ini telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu. Sejarahnya telah tercatat dengan baik di dalam Purana-Purana dan banyak diantaranya yang belum diteliti oleh para ahli sejarah.
Sebagai kebudayaan tertua, kebudayaan Hindu menyebar keseluruh dunia termasuk ke Indonesia, salah satu bukti penyebaran kebudayaan Hindu ke Indonesia ditandai dengan adanya kerajaan-kerajaan Hindu yang pernah berkuasa seperti kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan lain-lain. Seiring perkembangan zaman dan masuknya pengaruh-pengaruh budaya luar perkembangan agama Hindu di Indonesia meredup, akan tetapi Bali sebagai satu-satunya pulau di indonesia yang masih mayoritas penduduknya adalah beragama Hindu.
Menurut Wiana (2004) menjelaskan bahwa pulau Bali merupakan pulau yang sangat populer dimanca negara. Bahkan konon lebih populer dari nama Indonesia. Orang-orang asing pun memberikan bermacam-macam julukan. Ada yang menyebut pulau seribu pura, ada yang menyebutkan sorga terakhir, dan lain lain. Terkenalnya pulau Bali di mancanegara tidak terlepas dari kebudayaan yang dimiliki masyarakat Bali selain tradisi-tradisi tradisional yang unik, masyarakat Bali juga memiliki karya sastara tradisional dalam bentuk Lontar.
Lontar merupakan sebuah karya sastra yang mengandung makna brupa pesan-pesan yang ingin disampaikan orang yang membuat lontar (Sang Pengawi) kepada pembaca. Selain itu lontar merupakan kesusastraan Bali Purwa yang mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini, nilai-nilai tersebut dapat dianggap sebagai unsur-unsur budaya asli atau cermin dari pola kehidupan tradisional pendukungnya. Contohnya: Geguritan, Kekawin dan Kidung.
Lontar-lontar yang terdapat di Bali sebagian besar berbahasa Jawa Kuna dan hurufnya adalah huruf Bali, disamping itu, ada juga beberapa lontar yang berbahasa Bali dengan huruf Bali. Seni karya sastra klasik dalam bentuk lontar selain mengandung pesan-pesan luhur kepada pembaca juga memiliki peranan yang sangat penting yaitu untuk mempertahankan bahasa daerah Bali mengingat bahasa daerah merupakan bahasa yang dipergunakan sehari-hari dalam berkomunikasi.
Umat Hindu di Bali dalam menjalankan kehidupannya tidak hanya berpatokan pada kitab-kitab suci Hindu akan tetapi banyak karya-karya sastra tradisional (susastra Hindu) yang dijadiakan patokan dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karya-karya sastra tradisional ini sumber ajarannya tidak terlepas dari Veda sebagai kitab suci uamat Hindu. Intisari ajaran Veda dijadikan karya sastra dalam bentuk lontar untuk lebih mudah memahami ajaran Veda di Bali pada zaman dahulu. Salah satu contoh uamat Hindu dalam menjalankan kehidupan berpatokan pada lontar adalah pada saat bercocok tanam dikebun, harus menentukan hari baik kapan menanam biji-bijian, pohon berbuku, dan lain-lain, itu termuat dalam lontar Wariga dan memang memberikan hasil yang optimal apabila itu dilaksanakan dengan baik.
Selain contoh diatas karya susastra Hindu klasik yang berupa lontar memiliki nilai-nilai kehidupan yang sangat relevan apabila di jalankan pada kehidupan masa kini, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam lontar-lontar masih kurang dipahami masyarakat Hindu khusunya di Bali. Perkembangan zaman dan budaya instan menjadi pengaruh terkikisnya kesadaran masyarakat Hindu di Bali dalam menggali makna dari lontar-lontar yang ada di Bali. Feneomena di masyarakat, lontar bagi masyarakat Hindu sanagat dikeramatkan sehingga masih banyak lontar-lontar yang belum terjamah, padahal nilai-nilai yang terkandung dalam lontar-lontar itu sangat penting untuk diketahui generasi muda saat ini supaya tidak terjadi degaradasi moral dan etika.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai ajaran Siwaistis yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyrsa. Teks Bagus Dyarsa tergolong kedalam teks tutur yang juga disebut Purwagamasasana bersumber dari kitab Smerti (Dharmasastra). Smerti sebagai Dharmasastra bersifat suplemen atau pelengkap dalam melengkapi keterangan pada kitab Sruti Titib (dalam Suweta, 2012: 1-2). Teks Tutur Bagus Dyarsa merupakan teks berpaham Siwaistis. Ajaran Siwa tertuang dalam wejangan-wejangan Bhatara Guru dengan Bagus Dyarsa yang perlu untuk diketahui dan dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini. keunikan dari teks ini yaitu diceritakan bahwa seorang pebotoh atau pejudi bernama Bagus Dyarsa dapat mencapai sorga tanpa lahir kedunia ini, pebotoh atau pejudi dapat dikatakan memiliki konotasi yang negatif dikalangan masyarakat, karena seseorang yang menekuni hal tersebut hanya mengisi kesenangan duniawi saja. berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam makna-makna yang terkadung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa. Karya sastra klasik berupa lontar merupakan warisan budaya Hindu yang memiliki nilai sangat luhur. Sehingga dengan meningkatkan minat para peneliti lontar dalam mengkaji isi sebuah lontar susastra Hindu klasik, merupakan tindakan apresiasi yang positif terhadap jerih payah para pendahulu umat Hindu dalam mengajarkan nilai-nilai luhur kepada generasi berikutnya. Sehingga diharapkan dengan pengkajian-pengkajian lontar-lontar yang masih belum banyak dipahami oleh umat hindu akan mengubah paradigma masyarakat khususnya umat Hindu ke arah yang positif dalam mengimplementasikan nilai-nilai luhur dari suatu lontar. Dalam penelitian ini yang dijadikan objek penelitian adalah Teks Tutur Bagus Dyarsa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang akan dicari jawabannya pada penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa?
2. Bagaimana konsep-konsep ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa?
3. Apa makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa?
1.3 Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka akan diperoleh dua tujuan penelitian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus seperti yang tertera di bawah ini:
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah agar hasil penelitian ini bisa dan mampu memberikan informasi yang mendasar kepada seluruh umat Hindu dari berbagai jenjang kehidupan yang ada di Bali sehubungan dengan ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
1.3.2 Tujuan Khusus
Selain tujuan umum, penelitian ini juaga memiliki tujuan khusus. Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, penelitian ini secara khusus bertujuan:
1. Untuk mengetahui eksistensi ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
2. Untuk mengetahui konsep-konsep ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
3. Untuk mengetahui makna filosofis yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
1.4 Manfaat Penelitian
Setelah penelitian dilaksanakan, maka diharapkan memiliki kegunaan baik secara teoretis maupun secara praktis sehingga dapat dijadikan bahan penelitian lebih jauh atau dijadikan bahan pertimbangan dan referensi bagi penelitian selanjutnya.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini mempunyai manfaat teoretis seperti yang tercantum berikut ini:
1. Dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu dan wawasan baru mengenai ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa.
2. Dapat dijadiakan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam melihat dan menyikapi perkembangan keanekaragamaman budaya bangsa khususnya karya sastra klasik yang tertuang dalam bentuk lontar-lontar yang ada di Bali
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memeberikan kontribusi kepada berbagai pihak.
1. Bagi peneliti dapat dijadikan sebagai landasan berpikir dalam mengkaji jenis permasalahan yang serupa.
2. Bagi masyarakat Hindu, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan serta menambah wawasan baru tentang ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dalam uraian berikut ini dilakukan dengan mengkaji pustaka-pustaka dan hasil penenlitian yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti. Sumber data kepustakaan yang dipakai oleh peneliti akan dapat bermanfaat sebagai pendukung atau pustaka pembanding, sehingga menjunjukkan perbedaan arah penelitian untuk menghindari kesamaan-kesamaan kajian dalam penenlitian.
Panya (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Makna Ajaran Kalepasan Ditinjau dari Lontar Tutur Angkus Prana”. Diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : Lontar Tutur Angkus Prana merupakan lontar dengan inti pokok ajarannya mengenai kalepasan. Sistem ajaran yang dikembangkan mirip dengan sistem pembelajaran Upanisad yaitu sifat ajarannya yang sangat rahasia. Sehingga hal-hal yang dapat disimpulkan dari penelitian dan pengkajian teks ini adalah konsep ajaran kalepasan yang terdapat dalam Lontar Tutur Akngkus Prana ada tiga, yakni : (1) Ajaran Kalepasan Jagatguru, (2) Ajaran Kalepasan Siwer Mas, (3) Ajaran Kalepasan Tutur Upadesa. Ketiga konsep ajaran kalepasan tersebut memiliki kemiripan yaitu untuk mencapai pembebasan Sanghyang Atma.
Fungsi yang terdapat pada Lontar Tutur Angkus Prana adalah sebagai meningkatkan kesucian, meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani, meningkatkan pemujaan terhadap Tuhan, meningkatkan pengetahuan tentang Atma, Meningkatkan kepercayaan pada ke-Esaan Tuhan.
Makna Kalepasan yang terdapat pada Lontar Tutur Angkus Prana adalah makna pembersih diri, pengendalian diri, religiusitas. satya, karma, dan pembebasan (Tyaga).
Adapun persamaan antara penelitian Panya dengan penenlitian ini adalah sama-sama membahas tentang teks khususnya jenis teks tutur sebagai karya sastra klasik yang memiliki makna-makna luhur. Perbedaannya yaitu terdapat pada aspek kajian penelitiannya, penelitian Panya memfokuskan objek penelitian tentang makna ajaran kalepasan ditinjau dari lontar Tutur Angkus Prana, sedangkan aspek kajian penulis yaitu membahas tentang ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. Kontribusi terhadap penelitian ini adalah sebagai bahan perbandingan selain itu penelitian Panya juga memberikan gambaran mengenai penetapan teori dalam pengkajian teks, menggingat penelitian ini sama-sama merupakan pengkajian teks.
Suci Hartini (2011) dalam penelitinnya yang berjudul “Nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Geguritan Prasthanika Parwa” diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Geguritan Prasthanika Parwa berisikan pokok-pokok ajaran agama Hindu di antaranya: Ajaran Tattwa, ajaran tentang Ketuhanan, Ajaran tentang etika dengan menekankan pada pendidikan budi pekerti dan ajaran tentang karma phala. Ketiga ajaran itu dapat menghantarkan umat manusia ke jalan yang baik sehingga pada akhirnya dapat mencapai kesempurnaan hidup yaitu moksa dan jagadhita.
Nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terdapat dalam Geguritan Prasthanika Parwa meliputi: nilai pendidikan Tattwa, bahwa Tuhan (Sang Hyang Widhi) memang benar adanya dan berada pada setiap mahluk hidup dan pada akhirnya kembali kepada-Nya. Selanjutnya kepercayaan akan adanya Tuhan terimplementasi pada ajaran Panca Sradha. Nilai pendidikan etika teraplikasi pada sistem kepemimpinan Yudhistira dengan menerapkan ajaran dharma melalui tingkah laku yang benar, sebab tingkah laku yang benar merupakan kesadaran bagi umat manusia untuk berbuat dharma. Nilai pendidikan Satya yakni menuntun agar dalam melaksanakan suatu kewajiban dalam hidup ini selalu dapat menerapkan ajaran kebenaran dan kejujuran. Ajaran kepemimpinan tercermin pada sikap kepemimpinan Yudhistira selalu mengutamakan rakyat terlebih dahulu dari kepentingan dirinya, sehingga suasana keseimbangan dan kemakmuran dirasakan oleh rakyat.
Adapun Persamaan antara penelitian Suci Hartini dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas lontar sebagai karya sastra klasik yang memiliki makana-makna luhur. Perbedaannya terdapat pada aspek kajian penelitiannya, yaitu penelitian Suci Hartini memfokuskan obyek penelitian tentang Nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Geguritan Prasthanika Parwa , Sedangkan aspek kajian penulis yaitu tentang ajaran Siwaistis yang terdapat pada Teks Tutur Bagus Dyarsa. Kontribusi terhadap penelitian ini adalah sebagai bahan perbandingan serta memberikan gambaran mengenai cara menentukan dan menggunakan teori, mengingat penelitian ini bersifat kajian teks (library research).
Watra (2007) pada buku yang berjudul “Pandangan Filosofis, Etika Dan Upakara Dalam Siwaratri Di Era Modern” diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Dari sudut perkembangan zaman Siwaratri sebagai salah satu bentuk upacara dalam ajaran agama Hindu di Bali, pada mulanya terbatas dilaksanakan oleh kalangan-kalangan tertentu, namun dalam perkembangan dewasa ini upacara tersebut semakin meluas dilaksanakan oleh beberapa Perguruan Tinggi yang berbasis Hindu dan masyarakat Bali.
Dari sudut filosofisnya Perayan Hari Suci Siwaratri pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan upacara-upacara keagamaan lainnya di Bali, namun upacara Siwaratri lebih menekankan pada unsur nilai kemanunggalan Atman dengan Paramatman. Pengangkatan esensi dan makna upacara, Siwaratri menuangkan suatu perlambang perayaan yang mendobrak rutinitas dan penciptaan baru dengan simbolisasi “malam perenungan dosa” mengakui diri sebagai manusia papa, untuk selanjutnya berbuat kebaikan. Bertitik tolak dari filsafat atau tattwa, maka umat Hindu tidak cukup memahami filsafatnya, maka diperlukan pengejawantahan dihadapan masyarakat. Artinya diberikan tauladan bagaimana perilaku seseorang seharusnya yang menjalankan Brata Siwaratri. Manunggalnya Atman dengan Paramtanman, yaitu dengan: Tapa Brata (menahan lapar), Mona Brata (berbicara yang perlu dibicarakan), Yoga (melaksanakan kewajiban tanpa pamerih), dan Smadhi (mengingat selalu nama Tuhan), bahwa Beliaulah yang paling berkuasa di ketiga dunia ini.
Filsafat (mencari kebijaksanaan) sebagai dasar untuk beretika, filsafat dan etika sebagai dasar munculnya sebuah simbolis-simbolis. Karena keterbatasan manusia untuk memahami ketiga lapisan alam semesta ini, maka manusia membuat simbol dalam bentuk upakara. Jadi filsafat, etika dan upakara adalah konsep dasar agama Hindu.
Adapun persamaan penelitian Warta dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas mengenai konsep ajaran Siwa yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Perbedaanya terdapat pada objek penelitian, objek kajian penelitian Watra tentang Pandangan Filosofis, Etika Dan Upakara Dalam Siwaratri Di era modern sedangkan objek kajian penulis Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. Kontribusi terhadap penelitian ini adalah sebagai bahan perbandingan selain itu buku ini juga memberikan kontribusi mengenai konsep ajaran Siwa.
Montana (2013) dalam penelitinnya yang berjudul “Kajian Filosofis Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Nilacandra” diperoleh hasil penelitian yaitu, bentuk ajaran Siwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra meliputi ajaran Dharma menjabarkan mengenai bahwa umat manusia harus memegang teguh ajaran dharma, ajaran etika menjabarkan mengenai etika atau tingkah laku manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, ajaran triguna menjabarkan mengenai tiga sifat yang harus dikendalikan umat manusia, ajaran bhakti menjabarkan ketaatan Nilacandra dalam memuja Sang Hyang Wrocana dan ajaran Tat Twam Asi mengajarkan bahwa setiap manusia tidak ada bedanya satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan analisis fungsi ajaran Siwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra ini meliputi: fungsi pendidikan memberikan ajaran moral kepada masyarakat dan fungsi pelestarian karya sastra melalui kegiantan mabebasan, seni tari dan, seni pewayangan. Nilai filosofis ajaran Siwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra bahwa sesungguhnya ajaran Siwa-Buddha merupakan tunggal dan ajaran Siwa-Buddha sama tidak ada bedanya hanya penyebutannya saja yang berbeda.
Adapun persamaan penelitian Montana dengan penelitian ini yaitu sama-sama membahas mengenai konsep ajaran Siwa dari segi kajian filosofis. Perbedaanya terdapat pada objek penelitian yang dikaji, objek penelitian Montana yaitu Kajian Filosofis Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Nilacandra, sedangkan objek penelitian yang dikaji dalam penelitian ini adalah teks Lontar Tutur Bagus Dyarsa. Antara teks lontar jenis kakawin berbeda dengan teks lontar jenis tutur. Kakawin diikat oleh aturan pada lingsa, sedangkan dalam lontar jenis tutur tidak terdapat aturan pada lingsa. Dari perbedaan tersebut jelas akan menghasilkan arah penelitian dan hasil penelitian yang berbeda pula. Kontribusi penelitian Montana terhadap penelitian ini adalah sebagai pustaka pembanding bagi peneliti dalam menafsirkan makna dan nilai filsafat Hindu yang terkandung dalam teks Lontar Bagus Dyarsa, mengingat dalam teks Kakawin Nilacandra juga sarat akan makna dan nilai filosofis di dalamnya.
2.2 Konsep
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tim Penyusun, (1995: 520) dijelakan bahwa konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret. Sementara itu menurut Burhan Ashshofa (2004) pada buku yang berjudul“Metode Penelitian Hukum” konsep merupakan abtraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan kelompok, atau individu tertentu.
Hamidi (2005: 87) menyatakan bahwa kejelasan tentang apa yang hendak diteliti ini sangant penting, sedang apa yang hendak diteliti telah ditetapkan dalam bentuk kata-kata kunci penelitian. Adapun konsep yang perlu dijelaskan terkait dengan penenlitian ini meliputi :
2.2.1 Ajaran Siwaistis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online kata ajaran berasal dari kata dasar “ajar” yang artinya petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui, kemudian mendapatkan akhiran -an sehingga menjadi “ajaran” yang berarti segala sesuatu yang diajarkan baik itu berupa nasihat, petuah maupun petunjuk. Sedangkan Siwaistis merupakan suatu paham bahwa segala sesuatu di dunia ini berasal dari Siwa. Siwa merupakan dewa tertinggi dalam kepercayaan Hindu di Bali pada khususnya. Selanjutnya Siwananda (2007: 45) menyatakan bahwa sistem Siwa Siddhanta adalah saringan dari esensi Vedanta. Ia lazim terdapat di India Selatan sebelum era Kristiani. Tinnelvelly dan Madurai pusat mazab Siwa Siddhanta Saivite atau penganut Siwa Siddhanta menghasilkan secara seksama filsafat yang membedakan yang disebut Siwa Siddhanta sekitar abad kesebelas Masehi. Ajaran agama Hindu yang berkembang di Indonesia adalah ajaran Siwa Siddhanta, ajaran ini diartikan sebagai doktrin dari ajaran Siwa. Menurut Sara Sastra (2005) dalam bukunya yang berjudul “Konsepsi Monotheisme dalam Agama Hindu” dijelaskan bahwa ajaran Siwa Siddhanta merupakan ajaran agama Hindu yang berkembang di Indonesia, yaitu suatu ajaran yang menekankan pada pemujaan lingga dan tokoh Tri Murti yaitu Brahma, Visnu dan Siwa. Dapat tiartikan bahwa Siwa sebagai dewa tertinggi yang dipuja disamping merangkul segala sekta-sekta yang ada.
Jadi ajaran Siwaistis berasal dari kata Siwa merupakan ajaran berpaham Siwa artinya, Siwa merupakan realitas tertinggi semua alam semesta beserta isinya berasal Siwa. Jiwa-jiwa yang menghidupi setiap mahluk adalah dari intisari yang sama dengan Siwa tetapi tidak identik sama. Dalam konsep Tri Murti (tiga manifestasi atau perwujudan Tuhan), Siwa disebutkan sebagai dewa terakhir. Setelah Brahma (pencipta) dan Wisnu (pemelihara). Siwa disebut juga sosok yang bertanggung jawab terhadap penyerapan alam semesta. Ia merupakan perwujudan dari sifat Tamas (kelembaman/kegelapan) dalam Tri Guna kecendrungan menuju pelenyapan (Widya Sena, 2013: 2). Sivananda (2007: 45) menyatakan bahwa Tuhan Siwa adalah realitas tertinggi. Ia adalah abadi, tanpa wujud, bebas, ada di mana-mana, satu tanpa kedua, tanpa awal, tanpa sebab, tanpa cacat, ada sendiri, selalu bebas, selalu murni, ia tidak dibatasi olh waktu. Ia adalah kebahagiaan tanpa batas dan kecerdasan tanpa batas.
2.2.2 Teks Tutur Bagus Dyarsa
Tutur menurut kamus Bali Indonesia diartikan “nasihat” (Tim Penyusun, 1978: 614). Selanjutnya pada kamus besar Bahasa Indonesia (dalam Panya, 2007: 14) disebutkan tutur adalah ucapan, kata, perkataan. Sementara itu tutur menurut Ketut Marma seorang penerjemah teks, tutur merupakan suatu kalimat yang berisi pesan-pesan atau tujuan tujuan tertentu yang ingin disampaikan (Ketut Marma, wawancara 25/03/2015)
Secara leksikal tutur berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yang artinya; ingatan, kenang-kenangan, kesadaran, lubuk jiwa mahluk yang paling dalam, “ budi yang dalam” (tempat persatuan yang muhtlak); tradisi suci, smrti (sebagai lawan sruti), teks berisi dokrin religi, dokrin religi. Wruh ta yen dharmayukti, menget ring sinanggih tutur (Zoetmulder dalam Suweta, 2012:7). Bila mengetahui Dharma kebenaran, senantiasa ingat dengan yang disebut sadar. Selanjutnya Zoetmulder dalam Suweta (2012:7), atutur berarti; mengingat, mengenang kembali, menyadari sepenuhnya, terus-menerus mengingat. Swastha Ta Bhuwana De Nira , Kapwatutur I Dharmaya Sowan-Sowan; Tumingal Ta Dewi Kunti Ri Sang Karna, Matutur Ta Sira Ry Anak Nira Ri San Hyan Aditya (kebahagian hidup di dunia, kemudian Dewi Kunti meninggalkan anaknya, karena telah mengingatkan tentang kebenaran, wejangan itu dilakukan ketika Sang Karna memuja Dewa Surya).
Anatur, tinutur yang berarti; mengingat, mengenang kembali, menyadari. Tuturen reh in laku pacidra; mengingatkan agar tidak bertingkah laku tercela. Dengan demikian memperhatikan pemaparan di atas, tutur berarti mengingatkan kembali tentang kebenaran agar dilaksanakan, sehingga tidak menyimpang dari dharma, dalam hal ini tentang kebenaran Tuhan (Suweta, 2012: 7).
Haryati Soebadio (dalam Panya, 2007: 14) istilah tutur mengandung unsur-unsur dasar mengingat menghafalkan, mengajarkan, sesuatu yang dihafalkan oleh si murid. Jadi tutur adalah pelajaran dogmatis yang diteruskan kepada murid-murid yang memenuhi syarat.
Teks Tutur Bagus Dyarsa merupakan Teks koleksi Gedong Kertya, SingaRaja. Teks ini berasal dari turunan dari buku kepunyaan I Gusti Putu Djlantik Anak Agung Negara Buleleng yang diturun oleh I Putu Griya, Br Paketan SingaRaja. Teks Bagus Dyarsa torgolong dalam teks tutur yang tidak terikat oleh pada lingsa maupun guru lagu. Pada lingsa diambil dari dua suku kata yaitu pada yang berarti banyaknya suku kata dalam suatu kalimat, sedangkan lingsa berarti perubahan suara pada kalimat terakhir. Jadi pada lingsa artinya jumlah suku kata serta rima dalam suatu barisnya. Sementara itu guru lagu berasal dari kata guru dan lagu, guru yang berarti panjang dan lagu berarti pendek. Guru lagu adalah panjang pendek suku kata dan pola mengenai selang-seling huruf hidup pada suku kata terakhir suatu tembang atau kekawin. Teks Tutur Bagus Dyarsa ini ditulis dalam huruf Bali berbahasa campuran antara bahasa Bali dengan bahasa Jawa kuno dan berjumlah 33 lembar daun lontar.
2.2.3 Kajian Filosofis
Tim Penyusun (dalam Montana 2013: 19) kajian berasal dari kata ”kaji” yang artinya pelajaran terutama dalam hal keagamaan, dan mendapatkan akhiran “an” yang berarti melakukan sesuatu proses dari hasil mengkaji. Jadi kajian adalah proses rasionalisasi dan pembuktian empirik terhadap kepercayaan atau ketiakpercayaan menjadi pemahaman atau ilmu pengetahuan tentang keagamaan.
Filosofis atau filsafat berasal dari kata Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Kata tersebut juga berasal dari kata Yunani philosophis yang berasal dari kata kerja philein yang berarti mencintai, atau philia yang berarti cinta, dan Sophia yang berarti kearifan. Dari kata tersebut lahirlah kata inggris philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” (Achmadi, 2008: 1). Lebih lanjut Surajio (2008: 3) menyatakan bahwa secara terminologi filsafat dapat diartikan sebagai arti yang dikandung oleh istilah atau statemen ‘filsafat’. Batasan dari filsafat itu banyak, maka sebagai gambaran dikenalkan beberapa batasan. Menurut Plato filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Selain itu, Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan).
Secara umum filsafat di klasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu epistemologi (filsafat tentang pengetahuan), aksiologi (filsafat tentang nilai), dan ontologi (filsafat tentang eksistensi sesuatu atau keberadaan) Jujun S. Suriasumantri (1986: 2) menjelaskan mengenai ontologi yaitu azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakekat realitas. Sementara itu Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melaui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut dipreoleh dengan menggunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang yang dilakukan menurut syarat keilmuan yang bersifat terbuka dan menjungjung kebenaran diatas segala-galanya (Suriasumantri, 1991: 9).
Berbeda dengan epistemologi, aksiologi yang di pahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya dapat di gunakan sebagai teori untuk membahas suatu permasalahan, kajian aksiologi akan terfokus pada nilai-nilai yang terkandung pada suatu hal. Dalam kajian aksiologi ilmu membicarakan untuk apa dan siapa. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu, axios yang berarti nilai. Sedangkan logos, yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori tentang nilai.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia online aksiologi memiliki arti yaitu: (1) Kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, (2) Kajian tentang nilai, khususnya etika. Sementara itu, menurut Jujun S. Suryasumantri (1990: 227) mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai nilai kegunaan ilmu. Artinya teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Menurut Drs. H. Mohammad Adib (dalam Endra Wirawan, 2013: 22) aksiologi adalah cabang ilmu yang membicarakan orientasi atau nilai suatu kehidupan. Beliau juga menyebutkan bahwa aksiologi merupakan teori nilai, karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus bertindak dan hidup. Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.
Menurut Luis O. Kattsoft (2004: 319) aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia banyak terdapat cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistemologi.
Lorens Bagus (2005: 33) meyatakan bahwa aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala hal yang bernilai. Dan pada bagian akhir beliau juga menegaskan bahwa aksiologi adalah studi filosofis tentang hakekat nilai-nilai.
Menurut Bramel (dalam Aceng Rahmat, 2011: 155), aksiologi terbagi kedalam tiga bagian, yaitu : (1) Moral Conduct, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika, (2) esthetic Expression, ekspresi keindahann yang melahirkan estetika, (3) Socio-Political Life, kehidupan sosio-politik, bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio politik.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuatuion.
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau suatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan sperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontibusi.
b. Nilai sebagi kata benda kongkret . contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali digunakan untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai. Seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi (Amsal Bakhtiar, 2012: 164).
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diananlisa secara garis besar bahwa teori tentang nilai (aksiologi) dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.
Nilai itu bersifat objektif, tetapi kadang kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaraan yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya bukan pada subjeknya yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai bersifat subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian, kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
2.3 Landasan Teori
James Black (1999: 49) menguraikan teori adalah sekumpulan Konsep, definisi dan dalil yang saling terkait yang menghadirkan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan menetapkan hubungan diantara variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Teori adalah suatu ilmu yang relevan yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentatang variabel yang akan diteliti sebagai dasar untuk memberikan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan (hipotesis) serta penyusunan instrumen penenlitian (Riduwan, 2004: 19). Teori adalah merupakan landasan dasar untuk melaksanakan suatu penelitian. pada penelitian ini menggunakan tiga teori, adapun teori yang dimaksud adalah sebagai berikut:
2.3.1 Teori Semiotika
Ratna (dalam Afriadi, 2008: 48) menjelaskan bahwa Semiotika berasal dari kata seme, yaitu bahasa Yunani yang berarti ‘penafsiran tanda’. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotik berasal dari kata semeion yang berarti ‘tanda’. Dalam pengertian yang lebih luas yaitu sebagai teori, semiotik berarti studi sistematis mengenai produksi dan iterpretasi tanda, bagaimana cara kerjanaya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, melalui tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya atau dengan sesamanya, sekaligua mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah mahluk homo semioticus. Menurut Culler (dalam Ratna, 2004: 97) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya, sedangkan semiotika pada tanda. Selden (dalam Ratna, 2004: 97) menganggap bahwa strukturalisme dan semiotika termasuk kedalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioprasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Demikian juga sebaliknya.
Terkait dengan sastra tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyian dan bahasa tubuh (body language). Kerangka pemikiran semiotik memberikan pandangan bahwa srtuktur estetik lebih terlihat sebagai hal yang mengandung esensi dan kedinamisan sehingga sehingga dapat dipahami secara dialektik oleh karena hubungan dengan perkembangan budaya dan lingkungan manusia (Atmaja, 1988: 30). Teori semiotik adalah teori yang berpijak atas asumsi bahwa karya sastra adalah tanda-tanda yang mesti diberi tanda atau diinterpretasikan. Dalam kehidupan sehari-hari, tanda yang menjadi kajian semiotika hanya yang menyangkut tanda yang tidak dialami, yang berhubungan atau hubungannya bersifat arbiter. Hanya yang berbentuk simbol misalnya burung yang sayapnya patah tidak bisa terbang (tidak kajian semiotik, karena hubungannya biasa-biasa saja). Sedangkan burung yang sayapnya normal tidak bisa terbang, hal ini termasuk kajian semiotika (hubungannya tidak wajar) tidak dapat diterangkan secara ilmiah sebab hanya menyangkut suatu kelompok binatang saja. Dalam penelitian teori semiotik sangat penting digunakan untuk membedah masalah eksistensi Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa, sebelum membahas mengenai tanda-tanda yang terdapat pada Teks Tutur Bagus Dyarsa terlebih dahulu akan diuraikan mengenai struktur cerita Teks Tutur Bagus Dyarsa.
2.3.2 Teori Simbol
Penelitian ini juga menggunakan teori simbol, seperti yang dikemukakan Triguna (2000: 7) bahwa simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pemahaman. Menurut Coulson 1978 (dalam Titib, 2001: 63) kata Simbol dalam bahasa inggrisnya adalah symbol mengandung arti untuk sesuatu atau juga menggambarkan sesuatu, khususnya untuk menggambarkan sesuatu yang immaterial, abstrak, suatu ide, kualitas, tanda-tanda suatu objek, proses dan lain-lain.
Eliade (dalam Pals, 2001: 284-285) bahwa simbol berakar pada prinsip-prinsip keserupaan, atau analogi. Hal-hal tertentu memiliki kualitas, bentuk karakter yang serupa dengan sesuatu yang lain. Dalam bidang pengamalan agama, berupa hal dilihat serupa atau dengan mengesahkan yang sakral hal-hal itu memberi petunjuk pada supranatural.
Lebih lanjut Titib (2003: 66) menyatakan bahwa simbol keagamaan mampu mengungkapkan suatu modalitas dari yang nyata atau suatu struktur dunia yang tidak tampak pada pengalaman langsung. Dalam mengilustrasikan bagaimana suatu simbol mampu mengungkapkan modalitas kenyataan yang tidak terjangkau oleh pengalaman manusia. dalam penelitian ini teori simbol sangat penting digunakan untuk membedah masalah konsep-konsep Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa.
2.3.3 Teori Makna
Dalam setiap aktivitas kehidupan manusia terkandung suatu makna, begitu halnya dengan karya sastra klasik berupa lontar. Makna-makna yang terdapat pada sebuah karya dapat dipakai sebagai cerminan dalam bertingkah laku. Adapun pengertian makna menurut Daryono, (1997: 416) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan kata makna mempunyai pengertian yang sama dengan “arti” dan maksud. Lebih lanjut Suharto, (1996: 163) bahwa makna mempunyai pengertian yang sama “arti”. Selanjutnya Menurut Sutrisno (dalam Suwita, 2005 : 34) memaparkan tentang makna yaitu sebuah kata atau maksud yang terkandung dalam sesuatu hal. Jadi berdasarkan beberapa pengertian mengeani makna, maka teori makna sangat penting digunakan untuk membahas mengenai makna yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian adalah cara dalam kerangka berpikir bgaimana dan dalam model apa penelitian tersebut dilakukan. Melalui kerangka yang ada dalam suatu model penelitian seorang peneliti akan menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan. Model penelitian adalah suatu gambaran penelitian yang di buat oleh peneliti dalam bentuk bagan yang menunjukkan hubungan langsung dan hubungan timbal balik antara satu kosep dengan konsep yang lainnya yang terdapat dalam objek penelitian, sehingga mempermudah peneliti dalam menyusun kerangka berpikir yang sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun bagan dari model yang dikembangkan dalam penelitian ini seperti bagan dibawah ini yaitu sebagai berikut :
Bagan Model Penelitian Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Sumber: Rekontruksi Pemikiran Penulis (2015)
Keterangan Tanda :
= Hubungan Pengaruh Langsung.
Keterangan Bagan Model Penelitian :
Kesusastraan Bali dibagi menjadi dua, yaitu kesusastraan Bali Purwa atau klasik dan kesusastraan Bali Anyar atau modern. Kesusastraan Bali Purwa atau klasik dapat berupa Parwa, Kakawin, Kidung, Geguritan, dan lain sebagainya. Sedangkan kesusastraan Bali Anyar atau modern contohnya seperti novel dan lain-lain. Kesusastraan Bali Purwa menciptakan berbagai macam karya sastra pada jaman dulu dan hingga kini masih terdapat bukti-bukti peninggalannya, salah satu contoh peninggalan kesusastraan Bali Purwa yaitu Teks Tutur Bagus Dyarsa. Teks Tutur berbeda dengan Kakawin, Kidung dan Geguritan letak perbedaannya terdapat pada aturan pada lingsa dan guru lagu yang mengikat Kakawin, Kidung dan Geguritan sementara Tutur tidak terikat dengan aturan itu. Pada lingsa diambil dari dua suku kata yaitu pada yang berarti banyaknya suku kata dalam suatu kalimat, sedangkan lingsa berarti perubahan suara pada kalimat terakhir. Jadi pada lingsa artinya jumlah suku kata serta rima dalam suatu barisnya. Sementara itu guru lagu berasal dari kata guru dan lagu, guru yang berarti panjang dan lagu berarti pendek. Guru lagu adalah panjang pendek suku kata dan pola mengenai selang-seling huruf hidup pada suku kata terakhir suatu tembang atau kekawin. Dalam penelitian ini menggunakan teori semiotika, teori simbol dan teori makna, masing-masing teori ini akan membahas satu permasalahan yang terdapat pada rumusan masalah yaitu yang pertama mengenai eksistensi Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa, selanjutnya konsep-konsep Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa, dan yang terakhir adalah makna filosofis yang terdapat dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. Dari pembahasan masing-masing permasalahan tersebut akan mendapatkan suatu hasil penelitian yaitu karya sastra kalsik berupa lontar Tutur Bagus Dyarsa yaitu ingin memperkenalkan ajaran Siwaistis kepada masyarakat dengan mengenal ataupun mengetahui ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa sehingga terwujud suatu pemahaman ajaran Siwaistis di masyarakat.
BAB III
METODE PENELITIAN
Masyhuri dan Zainuddin (2008: 151) menyatakan bahwa metode penelitian adalah salah satu cara yang digunakan oleh peneliti untuk mencapai sautu tujuan yang tepat dan akurat. Selain itu metode juga merupakan suatu cara untuk memahami objek penelitian, karena keberhasilan suatu penelitian akan banyak dipengaruhi oleh metode yang digunakan, sehingga metode dikatakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengadakan suatu penelitian.
Menurut Suriasumantri (1990: 119) metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metode mempunyai peranan penting dalam penelitian agar memperoleh hasil yang baik maka diperlukan memilih metode yang tepat guna memperoleh, menganlisa, dan mengolah data yang obyektif yang relevan dengan permasalahan yang dibahas yaitu Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa (Kajian Filosofis).
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Karakteristik penelitian kualitatif adalah objek yang menjadi fokus penelitian. Penelitian kualitatif tidak menekankan pada kuantum atau jumlah, jadi dapat disimpulkan bahwa, penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang tidak melakukan perhitungan-perhitungan dalam bentuk angka. Dalam penelitian ini penulis menggunakan kajian filosofis untuk menelaah suatu permasalahan. Kajian filosofis bertujuan untuk membahahas secara mendalam makna dari Teks Tutur Bagus Dyarsa.
3.2 Jenis Data dan Sumber Data
3.2.1 Jenis Data
Sugiyono (2009: 68) menyatakan bahwa data adalah sebuah informasi yang dapat memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau masalah baik berupa angka-angka maupun yang bentuk kategori seperti baik, buruk, tinggi rendah dan sebagainya.
Jenis data yang diambil dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Dalam penelitian kepustakaan, permasalahan yang muncul dalam kegiatan penelitian akan mengacu pada sumber-sumber kepustakaan yang ada seperti : lontar, prasasti, dan lontar atau sumber kepustakaan lainnya, yang ada hubungannya dengan penelitian. Dalam penelitian ini, data primer akan diambil dari teks transliterasi Lontar Tutur Bagus Dyarsa.
3.2.2 Sumber Data
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia data primer adalah data yang pertama, utama dan yang pokok (Poerwardamita, 1984: 768). Jadi yang dimaksud data primer adalah keterangan yang nyata dan benar yang diperoleh langsung dari obyeknya. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan dari sumber data tidak langsung, bisa dari perpustakaan dan laporan-laporan terdahulu. Menurut Poerwadarmita (1984: 791) Menyatakan bahwa kata skunder artinya yang kedua. Jadi yang dimaksud data skunder adalah suatu keterangan yang diperoleh dari sumber yang kedua seperti misalnya dari membaca buku-buku, Teks-teks dan catatan-catatan. Data ini juga dapat berupa hasil dokumentasi dan arsip-arsip resmi. Jenis data yang diambil dalam penelitaian ini adalah ini adalah data dari sumber kepustakaan yaitu data skunder. Data skunder adalah data yang diperoleh dan di kumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya di peroleh dari kepustakaan atau dari laporan-laporan penelitian yang terdahulu, seperti naskah-naskah, arsip-arsip resmi dan buku-buku jurnal sebagai penunjang yang isinya berkaitan dengan topik penelitian.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik, studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Data adalah bahan mentah yang tidak mempunyai arti apabila didalam suatu penyelidikan, data tersebut tidak segera diolah. Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data yakni sebagai berikut:
3.3.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan (library research) adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang belum diketahui dengan jalan membaca buku-buku, monografi dan sejenisnya yang ada hubungannya dengan Teks Tutur Bagus Dyarsa. Menurut Mukajir (1994: 64) mengungkapkan bahwa metode metode kepustakaan merupakan sautu usaha atau cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan penelitian kepustakaan seperti melalui membaca, menulis mengutip materi dari kepustakaan yang tersajikan, disebut sebagai metode kepustakaan. Dalam penelitian ini, studi pustaka dilakukan dengan memahami data dengan baik sebagaimana yang terdapat pada teks transliterasi Teks Tutur Bagus Dyarsa.
3.3.2 Studi Dokumentasi
Menurut Hadi (1983: 73) menyatakan bahwa pencatatan dokumen adalah salah satu yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau dokumen dari segala macam serta pencatatan yang sistematis. Selain itu menurut Usman dan Purnomo (2003: 73) menyatakan bahwa dokomentasi adalah pengambilan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, data yang ditampilkan cendrung merupakan data skunder, studi dokumentasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah berupa foto-foto Teks Tutur Bagus Dyarsa yang diambil dari sumber aslinya di Gedong Kirtya Singaraja.
3.4 Teknik Analisis Data
Teeuw (1984: 123) menyatakan bahwa teks yang dibaca, mempunyai kesatuan, keseluruhan, kebulatan makna. Metode teknik analisis data diharapkan menghasilkan suatu deskripsi mengenai fenomena yang terjadi secara mendalam. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis dengan pendekatan filosofis yaitu mengkaji secara mendalam nilai-nilai yang terkandung di dalam isi teks dengan menggunakan pengetahuan, ide-ide dan konsep yang ada.
3.5 Penyajian Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu data yang telah terkumpul baik data primer maupun data skunder dianalisis secara terus menerus dengan pendekatan filosofis yaitu menganalisis makna yang terdapat dalam teks Tutur Bagus Dyarsa. Dalam penelitian ini menggunakan teori semiotika, teori simbol dan teori makna. Teori-teori ini akan digunakan untuk membedah permaslahan tentang eksistensi Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa, konsep-konsep Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa dan makna filosofis yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa. Setelah upaya penyajian data dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah penyimpulan sementara. Simpulan yang bersifat sementara akan diuji dengan simpulan-simpulan data yang terjaring dari hasil terjemahan. Selanjutnya dari simpulan-simpulan yang bersifat sementara akan ditarik suatu simpulan umum secara induktif sebagai hasil akhir penelitian.
Dalam menganalisis data diperlukan ketelitian dari seorang peneliti karena data yang telah terkumpul harus disajikan dengan uraian bahasa yang mudah dipahami. Mengingat penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengkaji teks, maka data-data yang telah terkumpul disajikan dengan metode formal dan nonformal. Metode formal yang dimaksud adalah data yang disajikan tidak bisa terlepas dari penggunaan tanda-tanda tertentu seperti tanda baca dan tanda-tanda lainnya. Sedangkan, metode nonformal yang dimaksud adalah data yang disajikan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh peneliti.
BAB IV PENYAJIAN HASIL PENELITIAN
4.1
Struktur Teks Tutur Bagus Dyarsa
Struktur
merupakan bagian yang paling mendasar yang membangun suatu karya sastra (Putu Gede
Wiriasa, wawancara 07/04/2015).
Berbeda dengan lontar Bagus Dyarsa yang terdapat di Dinas Kebudayaan Provinsi
Bali. Perbedaanya terdapat pada bagian atas dan akhir lontar diberikan potongan bambu dengan ukuran sesuai dengan lontar sebagai atap dan alas permanen agar
mampu menjaga lontar tahan lebih
lama. Ukuran lontar Bagus Dyarsa yang
terdapat di Dinas Kebudayaan Provinsi Bali memiliki ukuran yang lebih pendek
dari lontar Bagus Dyarsa yang
terdapat di Gedong Kertya Singaraja. Namun demikian jumlah halamannya dapat
dikatakan dua kali lipat dari Lontar
Bagus Dyarsa yang terdapat di Gedeong Kertya, Singaraja. Panjang lontar
30 cm dengan lebar 3,5 cm dengan jumlah 61 lembar dua lembar dibelakang
merupakan bagian kosong sebagai alas yang berfungsi menjaga lontar agar tahan lama. Pada bagaian
kiri atas sekaligus berfungsi sebagai sampul ditempel klasifikasi lontar nomor kropak dan halaman lontar berfungsi untuk mempermudah
mencari lontar Bagus Dyarsa. Pada
bagian kanan atas sekaligus berfungsi sebagai sampul ditulis judul, ukuran
lontar serta asal lontar pada halaman
dua dan selanjutnya ditulis empat baris bolak-balik kecuali pada halaman
terakir dikosongkan dua lembar yang berfungsi sebagai alas. Lontar Bagus Dyarsa yang terdapat di
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali berasal dari Puri Kawanan, Buleleng. Meskipun
pada struktur luar yang berbeda namun struktur dalam keduanya sama.
4.1.1
Sinopsis Teks Tutur Bagus Dyarsa
Bagus
Dyarsa adalah seorang pejudi sabung ayam, dari kecil Bagus Dyarsa sudah
terbiasa dengan judi terutama sabung ayam. Istrinya bernama Ni Suddha Jnyanā
yang sangat setia bersamanya dan tak pernah merasa kesal dengan kelakuan
suaminya. Bagus Dyarsa memiliki anak bernama I Wiracitta yang sangat berbakti
kepada kedua orang tuanya. Dalam perjudian Bagus Dyarsa tidak pernah menang
dalam bertaruh, sawah, tegalan serta isi rumahnya telah habis dijual untuk
berjudi. Tipu daya dalam arena perjudian membuatnya demikian, akan tetapi Bagus
Dyarsa tidak pernah merasa bosan dan selalu senag hatinya ketika berjudi.
Sehingga musim masa sulit (paceklik) tiba istrinya bekerja menjadi seorang
penenun untuk menghidupi anak dan suaminya.
Pada
suatu hari anak Agung mengadakan sabung ayam dalam kaitannya dengan upacara
keagamaan, anak Agung adalah seorang raja yang sangat terkenal karena selalu
bertaruh banyak dalam area perjudian. Bagus Dyarsa tidak hadir pada waktu itu
karena dirinya tidak memiliki uang untuk taruhan. Sehingga istrinya memberikannya
uang dari hasil menenun. Semua itu dilakukan oleh istrinya supaya Bagus Dyarsa
merasa senang. Datanglah Bagus Dyarsa ke arena perjudian, dengan bekal yang
sedikit Bagus Dyarsa mencoba untuk menghematnya dengan bertaruh
sedikit-sedikit. Meskipun demikian Bagus Dyarsa tidak pernah menang dalam
taruhan hingga uangnya hampir habis, Bagus Dyarsa mulai kebingungan dan keluar
dari area pertaruhan. Hari menjelang sore Bagus Dyarsa membeli makanan untuk
dimakannya karena merasa diri lapar. Baru memakan tiga suap nasi tiba-tiba
datang seorang pengemis yang tua renta, baunya sangat menyengat terdapat luka
yang keluar nanah dari kedua kakinya. Pengemis itu ingin meminta sisa makanan
Bagus Dyarsa. Tetapi Bagus Dyarsa tidak memberikannya sisa makanannya melainkan
diajak makan bersama tanpa rasa ragu.
Setelah
selesai makan pengemis itu ingin menginap dirumah Bagus Dyarsa, pengemis itu
berkata sesak nafasnya akan kumat apabila menempuh hawa dingin untuk pergi
kerumahnya di puncak gunung. Bagus Dyarsa mengijinkannya dan mengajak pengemis
itu bermalam dirumahnya. Setelah sampai dirumahnya, Bagus Dyarsa menyuruh
istrinya menyediakan hidangan untuk makan malam bersama pengemis itu. Sambil
menunggu, Bagus Dyarsa bercengkrama panjang lebar. Dalam perbincangannya
pengemis itu meminta anaknya I Wiracitta untuk diajak mengantarkan pengemis itu
dan tinggal bersamanya, suatu saat apabila sudah beranjak dewasa I Wiracitta
akan dikembalikan lagi oleh pengemis itu. Tanpa panjang lebar Bagus Dyarsa
mengijinkannya karena Bagus Dyarsa yakin pengemis itu akan mengajarkan anaknya
tentang kebenaran. Bagus Dyarsa menyuruh istrinya untuk memotong seekor ayam
untuk lauk yang akan dihidangkan, Ni Suddha Jnyāna menurutinya, pengemis itu
memita Bagus Dyarsa untuk mengambilkan tiga helai bulu ayam yang dipotonya tadi
dan dimita untuk menaruhnya di sanggah
kemulan. Pengemis itu berkata apabila suatu saat nanti Bagus Dyarsa ingin
bertemu dengannya maka Bagus Dyarsa disuruh untuk mencabut bulu ayam tersebut
dan menaruhnya ditengah jalan setelah itu ikuti kemana perginya bulu ayam itu.
Setelah hidangan disiapkan oleh Ni Suddha Jnyanā, Bagus Dyarsa mengajak
pengemis itu makan bersama keluarganya, dan Bagus Dyarsa memberitahukan kepada
istrinya bahwa anaknya akan diajak tinggal bersama pengemis itu, demikian juga
I Wiracitta diberi tahu bahwa dirinya akan tinggal bersama pengemis itu.
Esok
harinya pengemis itu dan I Wiracitta meninggalkan rumah Bagus Dyarsa, setelah
menempuh jalan yang begitu panjang, dan jalan yang sangat sulit mereka lalui, I
Wiracitta merasakan hal yang aneh kepada pengemis itu, pegemis itu seolah-olah
berjalan tiada halangan melewati batu cadas ditepi jurang yang curam. Sementara
I Wiracitta masih muda tetapi cepat sekali merasakan lelah. Tibalah mereka
ditempat peristirahatan, pengemis duduk diatas batu dan menunjukkan siapa
dirinya yang sebenarnya kepada I Wiracitta dibawah pohon jambu bahwa dirinya
adalah Bhatara Guru.
Diceritakan
sekarang warga desa telah selesai membuat alun-alun desa dan akan diadakan
sabung ayam yang berkaitan dengan upacara. Bagus Dyarsa diperintahkan oleh sang
raja supaya bertaruh dengannya sebanyak tigaratus ribu. Merasa diri seorang
yang miskin Bagus Dyarsa termenung dan ingat pada kata-kata pengemis itu, maka
Bagus Dyarsa berpamitan kepada istrinya untuk pergi kerumah pengemis itu untuk
memita ayam yang akan di adu dengan raja. saat fajar menyingsing Bagus Dyarsa
mengambil bulu ayam yang ditaruhnya di sanggah
kemulan, sesampai di pinggir jalan Bagus Dyarsa meletakkan bulu ayam
tersebut dan datanglah angin yang menerbangkannya, lalu diikuti arah terbangnya
bulu ayam tersebut oleh Bagus Dyarsa. Semakin jauh perjalanan Bagus Dyarsa
semakin aneh yang ditemuinya hingga sampai pada suatu tempat yang sangat luas
tidak ada pegunungan yang terlihat, yang ada hanya langit dan tanah sejauh mata
memandang. Disana terlihat Bhagawan Penyarikan dan banyak sekali terlihat atman yang kepanasan dan masih banyak
lagi atman dengan berbagai
penderitaan. Bagus Dyarsa melanjutkan perjalanannya, hingga sampai pada tempat
pengemis. Bulu ayam itu masuk ke dalam (jeroan)
sementara Bagus Dyarsa menunggu di luar (jaba).
Melihat hal tersebut Bhatara Guru menyuruh I Wiracitta menemui ayahnya, setelah
bertemu ayahnya I Wiracitta menceritakan semuanya bahwa pengemis itu adalah
penjelmaan Bhatara Guru, Bagus Dyarsa merasa heran sambil berjalan menemui
Bhatara Guru.
Bagus
Dyarsa diberikan wejangan oleh Bhatara Guru tentang kebenaran, setelah lama
diberikan suatu pencerahan, Bhatara Guru memberikan seekor ayam lengakap dengan
intan sebagai taruhnnya. Bagus Dyarsa pulang kerumahnya dengan membawa seekor
ayam. Sembilan hari lamanya datanglah perintah kedesa-desa untuk mempersiapkan
taruhan. Bagus Dyarsa datang dengan terlambat sehingga harus membayar denda dan
membawa seekor ayam yang takut (jerih), semua
pebotoh mengejeknya. Bagus Dyarsa
berkata siapapun termasuk manusia asalkan ayamnya galak ia akan bertaruh satu
kendi berlian, maka sang raja mencoba meminjam ayam Bagus Dyarsa, setelah
diberikan tiba-tiba ayam itu galak mematuk dan mencakar raja. karena tidak
mungkin seekor ayam melawan manusia maka raja itu mengambil ayamnya, setelah
diadu di arena, ayam Bagus Dyarsa takut (jerih)
lari kesana kemari dan sang raja beserta pebotoh
lainya menertawakannya. Setelah lari
kesana kemari ketakutan ayam milik Bagus Dyarsa, tanpa disangka ayam Bagus
Dyarsa menyerang ayam raja hingga mati, kemudian ayam tersebut menyerang raja
hingga terluka dibagian lambungnya, sang raja roboh dan meninggal karena
perbuatannya yang licik suka memeras rakyatnya dengan memungut pajak berlebih selain
itu raja juga selalu berkata-kata kasar kepada rakyatnya, sang raja hanya
meyenangkan keinginannya tanpa memperhatikan rakyatnya. Bagus Dyarsa pulang
dengan sembunyi-sembunyi. Para pengawal raja Gusti Sulaksana dan I Gusti Nyoman
Samirana menyerang rumah Bagus Dyarsa tetapi berkat anugrah Bhatara Guru semua
prajurit raja dikalahkan. Ayam yang diberikan oleh Bhatara Guru berubah menjadi
garuda dan Bagus Dyarsa mengendarainya dengan gagah. Ida Gede Siwa Buddha
datang dengan semua muridnya dan dirinya siap untuk menjadi abdi Bagus Dyarsa.
setelah kejadian itu Bagus Dyarsa dinobatkan menjadi raja dengan gelar Gusti
Agung Niti Yukti. dan kemudian digantikan oleh anaknya I Wiracitta dengan gelar
Prabhu Wijaya Kusuma berkat Bhatara Guru I Wiracitta telah menguasai ilmu
ketatanegaraan dengan baik sehingga kerajaan yang dipimpinnya aman dan terntram
tiada kejahatan yang terjadi. Semantara itu Bagus Dyarsa dan Istrinya di diksa oleh Hyang Narada. Setelah upacara
diksa Bagus Dyarsa diberi gelar Bhagawān
Mrettalociha dan istrinya diberi gelar Bhathara Nayopasuci. Mereka berdua
diajak ke surga tinggal bersama para dewa dan tanpa lahir kembali.
4.1.2
Tokoh atau Penokohan Teks Tutur Bagus
Dyarsa
Tarigan (1984: 150) menyatakan
bahwa keberhasilan sebuah cipta sastra sangat tergantung pada kecakapan
pengarang mengidupkan tokoh-tokoh melaui imajinasinya. Seorang pengarang tidak
boleh memikirkan tokoh tersebut sebagai potret yang mati dan statis, tetapi
harus memandang dan menyajikan sebagai hal yang hidup dan dinamis.
Esten Mursal dalam Duani (2013: 35) menyatakan
bahwa, apabila dilihat dari cara pengarang melukiskan watak-watak tokoh
ceritanya ada tiga cara yaitu (1) dengan cara analitik, pengarang secara
langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya. (2) dengan cara dramatik,
yaitu pengarang tidak langsung bagaimana watak tokoh-tokoh ceritanya, misalnya
melaui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk lahir (potongan tubuh
dan sebgaianya) melaui percakapan (dialog) melaui perbuatan sang tokoh, (3)
dengan cara gabungan yaitu dengan analitik dan dramatik, pengarang menceritaka
tokohnya dengan analitik dan dramatik atau sebaliknya.
Hutagalung (dalam Sukada, 1982: 11)
menyatakan bahwa perwatakan seorang tokoh memiliki dua dimensi sebagai struktur
pokok, yaitu pisikologis dan sosiologis. Kedua aspek tersebut memiliki beberapa
dimensi yaitu dimensi pisikologis (angan-angan, kekecewaan, cita-cita, ambisi,
tempramen seseoran dan sebagainya), dan dimensi sosiologis (lingkungan, agama,
bangsa, pangkat, keturunan atau asal-usul dan sebagainya).
Tokoh utama dan pelengkap
(komplementer), ditentukan oleh banyak atau sedikitnya seorang tokoh
berhubungan atau kontak dengan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh utama merupakan tokoh
yang terlibat dan dikuasai oleh serangkaian peristiwa, tempat mereka muncul
baik sebagai pemenang ataupun sebagai yang kalah, senang atau tidak senang,
lebih kaya atau lebih miskin, lebih baik atau lebih jelek, tetapi semuanya
merupakan yang lebih arif bijaksana bagi pengalaman dan menjadi orang baik mengagumkan
sekalipun dalam kematian atau kekalahan (Tarigan, 1984: 143). Sedangkan tokoh
skunder merupakan tokoh yang berperan dalam menghadapi atau bersama-sama tokoh
utama dalam membangun cerita, jadi gerakannya tidak sedominan tokoh utama,
berikutnya tokoh pelengkap atau penunjang merupakan tokoh yang berfungsi
membangun kelancaran gerak tokoh utama dan tokoh skunder dalam cerita.
Dari beberapa pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penokohan adalah cara
menggambarkan seorang tokoh cerita. Tokoh adalah seorang individu yang
mengalami berbagai peristiwa dalam sebuah cerita, sedangkan perwatakan mengacu
pada segi kejiwaan rohani yang menghidupi tokoh. Penokohan dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa dinilai dari segi
analitik dan dramatik sebagai tokoh utama adalah Bagus Dyarsa menjadi tokoh
pusat (ceter figure) dalam
pengisahannya. Bhatara Guru sebagai tokoh skunder, sedangkan Ni Suddha Jnyāna
(sebagai istri Bagus Dyarsa), I Wiracitta (sebagai anak Bagus Dyarsa), Hyang
Narada (utusan Bhatara Guru), Ida Gede Siwa Buddha (Brahmana), Anak Agung (Raja), I Gusti Nyoman Samirana dan Gusti
Sulaksana (sebagai patih Raja), pebotoh (pejudi),
prajurit raja dan Bhagawan Penyarikan merupakan tokoh pelengkap (komplementer).
4.1.2.1
Tokoh Primer (Utama) Teks Tutur Bagus
Dyarsa
Dari segi soisologis Bagus Dyarsa
adalah seorang pebotoh (pejudi),
pengarang melukiskan dengan kutipan berikut:
“Ada tuturan carita ilu satwa pagantian jani
unggahang di gurit ada jani kawuwus babotoh maambek rurus Bagus Dyarsa arané uling
cenik mangalilus twara surud ring palalyan manuukin legan manah”. (Bagus Dyarsa, 1b)
Terjemahannya:
‘Ada sebuah
cerita jaman dahulu sebagai gantinya didalam geguritan. Ada seorang pebotoh (pejudi) yang baik Bagus Dyarsa
namanya, dari kecil pekerjaannya adalah berjudi selalu mengikuti kesenangannya
semata’.
Begitulah pengarang melukiskan
Bagus Dyarsa lahir dilingkungan pejudi, sehingga dari kecil Bagus Dyarsa sudah
terbiasa dalam hal berjudi terutama judi sabung ayam. Bagus Dyarsa memiliki keluarga
yang sangat sederhana, mempunayi anak dan istri. Istrinya bekerja sebagai
tukang tenun demi mencukupi kehidupan keluarganya sehari-hari.
Dari segi psikologis Bagus Dyarsa adalah
seorang yang berhati baik pengarang melukiskan dengan kutipan sebagai berikut:
“déning suba paek sañja mablañja manumbas skul
dagangé éncong nadingang lantas mara madaaran. Bau mara mangesop ping telu
sagét ada teka gagéndong mangidih-idih matungked pati tuyud mangundit karoso
ibus – anak bungkut suba tuwa batis maka dadwa berung mecat banyahé macatcat
ebone banges malekag. Uled nyané liu paklejuh buyung masliweran buka nyawané
ngababin plis matané liu macéhcéh marabu-rabu manyongkok raris mangucap “Gustin
tityang Dewa Ratu tityang manunas lungsuran basang tityangé bes layah”. Bagus
Dyarsa mamunyi alus “mai ké menékan” bareng madaar kaki I tuwa lingña alus
“tityang mindah Déwa ratu tityang manunas lungsuran” Bagus Dyarsa masahut “Nah
kaki mai menékan bareng kén tityang madaar”. “Apan tityang kaki saja tanruh tan
hina wang wangsā tanruh ring sor pangālewih lagut kakiné gudgud tuwa bungkut
bwin berung kémad saja baan tityang mambahang kaki manglungsur” tumuli raris
kajemak kapradi kājak menékan. “Tabé tityang Gusti Déwa Ratu tityang janma
jelé” Bagus Dyarsa nyautin “manegak kaki ditu tumuli bareng manyekul” dagangé
mangadésemang ngelén mata mecik cunguh” (Bagus Dyarsa, 3a-3b).
Terjemahannya:
‘sebab sudah
agak senja kemudian membeli nasi,
dangangnya dengan sigap mengambilkan lalu Bagus Dyarsa makan, baru memakan tiga
suap makanan lalu datanglah pengemis memakai
tongkat dan sudah tua membawa tas dari daun ibus orangnya sudah tua, kakinya
keduanya borok, nanahnya keluar mengalir di kedua kakinya, baunya minta ampun,
apalagi ulatnya banyak sekali dikerubuti lalat seperti sarang lebah, matanya
yang sudah rabun kemudian dengan menraba
raba dia lalu berjongkok. Wahai Gusti, berikanlah saya makanan, saya sangat
lapar. Bagus Dyarsa lalu berkata duduklah disini kek, bareng-bareng makan
dengan saya, pengemis itu berkata halus, saya tidak berani tuan saya hanya
meminta sisa nasi tuan, Bagus Dyarsa berkata, wahai kakek, kemarilah duduklah
diatas dan mari makan bersama saya. Apakah yang menyebabkan kakek ragu tidak
ada manusia yang hina, tidak ada yang dibawah, walaupun kakek orang tua yang
sudah bongkok dan banyak borok, saya merasa berdosa apabila memberikan kakek
sisa makanan dari saya. Kemudian pengemis itu di papahnya kemudian diajak
keatas, maafkanlah kakek wahai anak muda kakek adalah orang hina. Bagus Dyarsaarsa
berkata, duduklah disana makanlah bersama saya. Dagangnya kemudian tersenyum kecut
sambil memegang hidungnya’.
Dari kutipan tersebut pengarang
melukiskan Bagus Dyarsa adalah seorang yang berhati sangat baik, meskipun semua
orang tidak tahan mecim bau pengemis itu tetapi Bagus Dyarsa mampu untuk
mengajak pengemis itu makan bersama dengan tanpa rasa ragu, pengarang juga
melukiskan bahwa sikap Bagus Dyarsa sangat berbakti kepada seorang yang lebih
tua, dengan perkataan yang halus, Bagus Dyarsa juga mempapah pengemis itu tanda
sikap bhakti Bagus Dyarsa kepada
seorang yang lebih tua yang sedang berjongkok semntara Bagus Dyarsa duduk di
atas hal tersebut menunjukkan sikap kesopanan yang tertanam dalam kepribadin
Bagus Dyarsa.
Selain itu dari segi psikologis
pengarang juga melukiskan Bagus Dyarsa memiliki karakter pemaaf dan memiliki
kasih sayang, hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:
“Bagus
Dyarsa kapiwelas kayun suka manguripang panjaké padha pajerit nunas urip
manungkul pajongkok makumpul sāmpun sami kanugrahan I Bagus Dyarsa tedun titib
kaparek bān panjak padha nunas kajanjinan” (Bagus Dyarsa, 29a-29b).
Terjemahannya:
‘Bagus Dyarsa
merasa kasihan dan menghidupkan kembali
pengawal sang raja. Semuanya kemudian bersujud menyembahnya. Dan semuanya
diberikan restu oleh Bagus Dyarsa. Kemudian turun dengan pelan pelan. Sebab di
sembah oleh para prajurit untuk memohon ampun’.
Dari kutipan diatas bahwa pengarang
melukiskan tokoh Bagus Dyarsa yang memiliki sifat humanisme tinggi, Bagus
Dyarsa tidak sombong dengan kemampuannya yang dianugrahkan oleh Bhatara Guru.
Bagus Dyarsa tidak ingin menyakiti sesama manusia ia hanya berjalan pada ajaran dharma (kebenaran). Selain itu juga
dari segi psikologis Bagus Dyarsa adalah raja yang bijaksana dan mampu
mengayomi rakyatnya.
4.1.2.2
Tokoh Skunder dalam Teks Tutur Bagus
Dyarsa
Bhatara Guru yang tinggal di gunung
Kailasa dilukiskan oleh pengarang menjadi seorang pengemis yang tua renta turun
kedunia dengan tujuan meminta I Wiracitta untuk tinggal bersamanya, I Wiracitta
adalah anak Bagus Dyarsa. Pengarang melukiskan seorang pengemis itu sudah tua
dan sangat bau, seperti kutipan berikut:
“anak bungkut suba tuwa batis maka dadwa berung
mecat banyahé macatcat ebone banges malekag. Uled nyané liu paklejuh buyung
masliweran buka nyawané ngababin plis matané liu macéhcéh marabu-rabu
manyongkok raris mangucap “Gustin tityang Dewa Ratu tityang manunas lungsuran
basang tityangé bes layah”.(Bagus Dyarsa, 3b).
Terjemahannya:
‘orangnya sudah
tua, kakinya keduanya borok, nanahnya keluar mengalir di kedua kakinya, baunya
minta ampun, apalagi ulatnya banyak sekali dikerubuti lalat seperti sarang
lebah, matanya yang sudah rabun kemudian
dengan menraba raba dia lalu berjongkok. Wahai Gusti, berikanlah saya makanan,
saya sangat lapar’.
Dari kutipan diatas bahwa pengarang
melukiskan seorang pengemis yang sangat bau dan kakinya bengkak yang keluar
nanah, dan berisi ulat didalamnya. Sebenarnya itu adalah penjelmaan Bhatara
Guru yang akan membantu Bagus Dyarsa menjadi seorang raja. Itulah ciri fisik
dari pengemis itu jika dilihat dari segi psikologi. Jika dilihat dari sosiologi
pengemis itu tinggal di sebuah gunung yang teramat dingin, gunung Kailasa
namanya, pengemis itu tinggal sendirian disana sehingga pengemis itu meminta I
Wiracitta untuk tinggal bersamanya.
4.1.2.3
Tokoh Pelengkap dalam Teks Tutur Bagus
Dyarsa
Adapun tokoh pelengkap
(komplementer) yang ditampilkan oleh pengarang antara lain: Ni Suddha Jnyāna
(sebagai istri Bagus Dyarsa), I Wiracitta (sebagai anak Bagus Dyarsa), Hyang
Narada (utusan Bhatara Guru), Ida Gede Siwa Buddha (Brahmana), Anak Agung (Raja), I Gusti Nyoman Samirana dan Gusti
Sulaksana (sebagai patih Raja), pejudi (pebotoh),
prajurit Raja dan Bhagawan Penyarikan merupakan tokoh pelengkap (komplementer).
Pengarang melukiskan Ni Suddha
Jnyāna memiliki sifat penurut kepada suami, tidak pernah menentang kehendak
suami. Seperti kutipan berikut:
“Néné istri patibrata anulus nulus kadharmané ajrih
ring sang guru laki satata manut kayun Ni Suddha Jnyanāran ipun nene muani
masih dharma palapan tekén né eluh sangkan suka makurenan twara taén macengilan”.
(Bagus Dyarsa,1b-2a).
Terjemahannya:
‘Istrinya sangat
setia dengan suami, selalu menjalankan kewajibannya dan tiada berani menentang
si suami, Ni Suddha Jnyanā namanya. Sedangkan suaminya juga sabar dan tidak gegabah dengan istrinya. Tidak pernah bertengkar’.
Tokoh
pelengkap lainnya adalah I Wiracitta merupakan anak dari Bagus Dyarsa. I
Wiracitta adalah anak yang selalu berbakti kepada kedua orang tuanya, I
Wiracita dari segi fisik baru berusia satu tahun. Karena sifatnya yang sangat
sopan sehingga banyak warga yang senang kepadanya. Seperti kutipan berikut:
“Mangelah pyanak
muani awukud lintang tutubadah degeng malih ngidhep munyi twara kakéhan laku
liu anak padha lulut I Wiracitta arané matuwuh bawu satahun lintang bhakti ring
kawitan mangleganin mémé bapa.” (Bagus Dyarsa, 1b).
Terjemahannya:
‘mempunyai
seorang anak laki-laki yang sangat penurut, pendiam serta selalu mendengarkan
perkataan orang tuanya, sehingga banyak sekali masyarakat yang menyukai I
Wiracitta namanya yang baru berumur satu tahun, selalu berbakti kepada orang
tua, dan mampu menyenangkan hati ayah dan ibunya’.
Demikian pengarang melukiskan sifat
I Wiracitta yang selalu berbakti kepada orang tuanya, tidak pernah berani
melawan orang tuanya. Sehingga ayah dan ibunya sangat menyayanginya.
Tokoh pelengkap lainnya adalah
Hyang Narada, pengarang melukiskan bahwa Hyang Narada adalah sosok dewa yang
menghantarkan I Wiracitta dari surga kepada Bagus Dyarsa. Hyang Narada adalah
utusan dari Bhatara Guru.
“Hyang Narada mésem tur amuwus “doning prāpta mangké
angater anak ta iki kinéndara Hyang Guru pawekas ira lan ingsun dén katekéng
sira mangké apan sira wus amangguh sira anda kawibhawan amuktya ring sura
krama. Anak ta angantyana nara tumaka sukaning rāt winari wreténg nāgari wus
antya ling Hyang Guru miteket anak ta iku wésaning anglus nāgara sāmpun sinang
sayéng tanuduran tan karaksa dénya apan pascat suréng swargga”. (Bagus Dyarsa, 31b-32a)
Terjemahannya:
‘Hyang narada
kemudian tersenyum kemudian bersabda: Kedatanganku kemari adalah untuk
mengantarkan anakmu kepada dirimu sang raja atas perintah Hyang Guru sebab kamu
telah berhasil mencapai segala tujuanmu untuk menjadi raja dan mensejahtrakan
rakyatmu kelak anakmu yang akan menggantikannmu untuk menciptakan kesejahtraan
rakyat dunia ini sebab beliau Bhatara Guru telah banyak sekali memberikan
petuah kepada anakmu dan kamu tiada usah merasa kawatir sebab anakmu telah
menjadi orang yang sangat pintar dalam ketatanegaraan, satriya wibawa dalam
medan tempur serta pandai mengayomi rakyatmu. Sekarag kamu hendaknya mulai
mempersiapkan diri untuk berbuat baik menuju kedamaian’.
Tokoh pelemgkaap selanjutnya adalah
Ida Gede Siwa Buddha dalam cerita ini pengarang melukiskan bahwa Ida Gede Siwa
Buddha adalah seorang Brahmana. Seperti
kutipan berikut:
“Ida Gede Siwa Buddha rawuh ada petang dasa para
Santana mangiring sami padha manyabuk mamepes ,masabda alus “duh Gusti Bagus
Dyarsa sāmpun mamanjangang sungsut bapa mangaturang awak bapa wantah mangawula.
Sakayun-kayun I Gusti nguduh bapa mangiringang tan piwal sadédé singgih” Bagus
Dyarsa gumuyu tumuli alon amuwus “sāmpun padandha sangsaya doh manah tityang
mamusuh ring ida maha pāndhita padandha patirtan tityang”.(Bagus Dyarsa, 29b)
Terjemahannya:
‘Ida Gede Siwa Buddha
kemudian datang bersama dengan empat puluh muridnya. Kemudian datang
bersujud dan memohon ampun. Wahai anakku
Gusti Bagus Dyarsa, janganlah engkau mengambil hati atas kejadian ini bapak
datang untuk menyerahkan jiwa dan raga untuk menjadi abdimu. Apapun yang ananda
Gusti perintahkan, bapak akan melaksanakannya tiada berani menentangnya. Bagus
Dyarsa kemudian tersenyum dan berkata
halus; janganlah Ratu Pranda kahwatir, tiada mungkin hamba akan memusuhi
seorang Brahmana sebab Brahmana adalah patirtan hamba’.
Dari kutipan diatas jelas bahwa
pengarang melukiskan tokoh Ida Gede Siwa Buddha sebagai seorang Brahmana yang menasehati Bagus Dyarsa ketika
terjadi suatu konflik. Seorang Brahmana
adalah seorang yang bijaksana, yang akan menjadi abdi Bagus Dyarsa beserta
dengan murid-muridnya. Tokoh pelengkap selanjutnya adalah Anak Agung sebagai
raja yang memerintah di tempat Bagus Dyarsa tinggal. Dari segi psikologi Anak
Agung dilukiskan oleh pengarang sebagai seorang raja yang sangat serakah,
selain itu raja tidak mencerminkan seorang raja karena selalu berkata-kata
kasar kepada raknyatnya. Seperti kutipan berikut:
“I Bagus Dyarsa wenang ya dosa ping kalih dosan
nyané sép tedun wenang dosa pitung atus kocap di awig-awigé bwin baan syap
nyané anggun masih yogya ka tengahang kocap wenang dosa domas”. “Apang jani jwa
manawur yén lebih alebak nikel dadi telung tali”(Bagus Dyarsa, 26b)
Terjemahannya:
‘I Bagus Dyarsa
selayaknya di kasi denda dua kali lipat
sebab terlambat datang patut kena
denda tujuh ratus, dan ayamnya yang penakut patut kena denda delapan ratus.
Supaya sekarang juga di bayar. Jika tidak dibayar akan dilipat gandakan menjadi
tiga ribu’.
Dari kutipan tersebut pengarang
menggambarkan Anak Agung sebagai seorang yang sangat serakah, memeras rakyatnya
dengan pajak. Keserakahan dari raja tersebut akan membawanya pada kehancuran.
Kata-kata kasar yang sering diucapkan sang raja kepada rakyatnya sehingga
banyak rakayat yang tidak suka padanya. Setelah Bagus Dyarsa menjadi raja semua
rakyat merasa senang.
Tokoh pelengkap selanjutnya adalah
Gusti Sulaksana dan Gusti Nyoman Samirana kedua tokoh ini adalah abdi sang
raja, yang selalu taat pada perintah raja. Mereka berdua sangat sombong dan
angkuh merasa diri menjadi abdi sang raja. Setelah meninggalnya sang raja Gusti
Samirana dan Gusti Nyoman Sulaksana dengan kesombongannya ingin menyerang Bagus
Dyarsa pada saat itu Bagus Dyarsa berada dirumahnya, sperti kutipan berikut:
“Gusti Sulaksana ngembus duhung miwah Gusti Nyoman
Samirana ngunus kris sāmpun manggebug kulkul panjaké teka patlebus sikepé katah
mangambyar pajalané pagrubug ngojog umah I Dyarsa sāmpun ngatepang kiteran” (Bagus
Dyarsa, 28a-28b).
Terjemahannya:
‘Gusti Sulaksana
menghunus pedang dan Gusti Nyoman Samirana menghunus keris, para pengawal telah
memukul kentongan. Para pengawal berdatangan dan berbaris untuk menyerang
rumahnya Bagus Dyarsa’.
Begitulah diceritakan oleh
pengarang bahwa Gusti Sulaksana dan Gusti Nyoman Samirana sangat patuh terhadap
rajanya. Seolah-olah membela raja yang sudah tidak benar. Kesombongannya
akhirnya tunduk ketika Bagus Dyarsa menunjukkan anugrah dari Bhatara Guru. Tokoh pelengkap selanjutnya adalah pejudi (pebotoh) di arena perjudian dan
memiliki karakter beragam, sebagian besar sifatnya mencela Bagus Dyarsa dan
mencainya. Pengarang juga menambahkan prajurit raja yang setia kepadanya, saat
sang raja meninggal prajurit ini ingin membalas dendam kepada Bagus Dyarsa
tetapi semuanya sia-sia.
Tokoh pelengkap yang trakhir adalah
Hyang Penyarikan, pengarang menggambarkan Hyang Penyarikan bertempat di neraka
yang bertugas menghukum para atman
yang semasa hidupnya melakukan kesalahan kesalahan, selalu berbuat tidak baik.
Seperti kutipan berikut:
“Hyang panyarikan muwus “né kita buin katepuk pipil
kitané dingehang kita kocapé ne malu mamati wong tanpa dosa laut kita
kailangang”. Twara kéto kāndhan bane malu kang atma angucap “duh ratu tityang”
panyarikan mawuwus “né pipil kitané katepuk kocap kita bisa ngléyak manaranjana
maneluh twara kéto kāndan iba eda iba matilas”. (Bagus Dyarsa, 16b)
Terjemahannya:
‘Hyang
penyarikan berkata. ada lagi catatanmu yang saya temukan, kamu dahulu telah
membunuh orang tanpa dosa kemudian kamu
kubur semuanya. Bukankah begitu yang kamu telah perbuat dahulu, atman kemudian berkata benar tuanku,
Penyarikan berkata saya juga temukan katanya kamu dahulu ngeleyak (black magic) neranjana, maneluh, bukankan demikian adanya’
Begitulah pengarang menggambarkan
tugas Bhagawan Penyarikan di neraka yang sangat panas, kemudian Bhagawan
Penyarikan bertemu dengan Bagus Dyarsa, Bhagawan Penyarikan sudah memiliki
catatan tentang riwayat hidup Bagus Dyarsa.
Penokohan dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa terdiri dari Bagus
Dyarsa (sebagai tokoh primer atau
utama), Bhatara Guru (sebagai tokoh sekunder) dan tokoh pelengkap
(komplementer) yaitu: Ni Suddha Jnyana (sebagai istri Bagus Dyarsa), I
Wiracitta (sebagai anak Bagus Dyarsa), Hyang Narada (utusan Bhatara Guru), Ida
Gede Siwa Buddha (sebagai Brahmana),
Anak Agung (sebagai Raja), Gusti Sulaksana dan Gusti Nyoman Samirana (patih
Raja), pejudi, prajurit raja, dan Bhagawan Penyarikan adalah tokoh pelengkap
atau komplementer.
4.1.3
Insiden dalam Teks Tutur Bagu Dyarsa
Menurut Panuti Sudjiman (1986: 35-46)
Kamus istilah sastra, yang dimaksud istilah insiden adalah suatu kejadian atau
pristiwa yang menjadi bagian yang dipilih dari lakuan. Insiden yang
dirangkaikan dengan cara tertentu, merupakan episode dalam alur, Berdasarkan
pengertian Kamus istilah sastra tersebut, yang dimaksud dengan pristiwa (event) adalah kejadian yang penting,
khususnya yang berhubungan dengan atau merupakan akibat peristiwa yang
mendahuluinya. Sedangkan lakuan diartikan sebagai deretan peristiwa nyata atau
fiksi membangun sebagian alur karya dramatik. Gerak, dialog, dan narasi
merupakan lakuan.
Insiden adalah suatu bagian dari
struktur cerita yang membentuk suatu karya sastra menjadi satu kesatuan yang
bulat dan utuh. Sukada (1987: 58) menyatakan bahwa insiden adalah kejadian-kejadian
atau pristiwa-pristiwa yang terkandung dalam cerita besar atau kecil yang
secara keseluruhan membangun atau membentuk struktur cerita. Dari beberapa
pengertian insiden dapat disimpulkan bahwa
bagian peristiwa yang terkandung dalam sebuah cerita. Berdasarkan
pengertian tersebut inseiden yang membentuk struktur cerita dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa sebagai berikut:
Insiden pertama, ditempat Bagus
Dyarsa berjudi sabung ayam (metajen)
Bagus Dyarsa membeli makanan karena merasa diri lapar dan hari sudah menjelang
sore. Bagus Dyarsa bertemu dengan seorang pengemis yang ingin meminta sisa nasi
Bagus Dyarsa. Bagus Dyarsa mengajak makan bersama pengemis itu tanpa rasa ragu,
seperti kutipan berikut:
“Angan apisan tong taén ngukup pipisé das onya
pitung atus suba bresih enu magantulan satus kasisi klingas klingus déning suba
paek sañja mablañja manumbas skul dagangé éncong nadingang lantas mara
madaaran. Bau mara mangesop ping telu sagét ada teka gagéndong mangidih-idih
matungked pati tuyud mangundit karoso ibus” – (Bagus Dyarsa, 3a)
Terjemahannya:
‘Sekalipun tidak
pernah menang, uangnya hampir habis sebanyak 700, sisannya hanya tinggal
seratus, lalu dia kepinggir arena kebingungan, sebab sudah agak senja kemudian membeli nasi, dangangnya dengan
sigap mengambilkan lalu Bagus Dyarsa makan, baru memakan tiga suap makanan lalu datanglah pengemis memakai tongkat dan
sudah tua membawa tas dari daun ibus’
Insiden yang ke dua terjadi di
rumah Bagus Dyarsa, ketika pengemis itu meminta menginap dirumahnya Bagus
Dyarsa karena hari sudah malam dan sesak nafas pengemis itu akan kumat apabila
terkena hawa malam yang dingin, Bagus Dyarsa mengijinkannya untuk bermalam
dirumahnya, tiba di rumahnya Bagus Dyarsa dibuatkan makanan oleh istri Bagus
Dyarsa dan Bagus Dyarsa menyuruh Istrinya utuk memotong seekor ayam sebagai
lauk makan malamnya bersama pengemis itu. Pengemis itu meminta agar Bagus
Dyarsa mengambilkan bulu ayam tiga helai saja dan diminta untuk menaruh bulu
ayam itu di sanggah kemulan.
Pengemis itu berkata pada Bagus
Dyarsa bahwa apabila nanti Bagus Dyarsa ingin bertemu dengannya maka bulu ayam
itu akan menghantarkan Bagus Dyarsa pada ruma pengemis itu. Pengemis itupun
meminta anak Bagus Dyarsa untuk menghantarkan pulang esok harinya. Dan Bagus
Dyarsa mengijinka hal tersebut. Adapun kutipan ceritanya sebagai berikut:
“Tumuli usan dané manyekul madaaran sedah i tuwa
hamuwus aris “Gusti tityang mahatur né mangkin sāmpun dasdalu dekah tityangé
mangentah boya dados tityang mantuk tityang nunas madunungan tityang mapamit né
béñjang”. Bagus Dyarsa raris ngajak mantuk, suba teked jumah masan anak ngeñjit
sundih Bagus Dyarsa amuwus “Né jani nyai matamyu kema dabdabang manyakan” né
eluh éñcong manguup ka paon raris manyakan, Bagus Dyarsa māneman. Satwa tan
ikangin tan ikawuh maideh-idehan sagét idup sagét mati anake odah muwus “Gusti
tityang lintang lucu agung pinunas tityangé bwat iccan Gustiné nulus anak Gusti
tunas tityang ajak tityang mantuk bénjang”. “Pungkur lamun dané sāmpun dugur
tityang mangastu kang kalih ngaturang ring Gusti apang wénten manunggu kubun
tityangé di gunung kāla tityang nénten jumah tityang jat luwas manganggur ka
sisin tukadé kaja ngalih Ong pacang janganan”. (Bagus Dyarsa, 4a-4b)
Terjemahannya:
‘setelah makan
lalu memakan sirih, sang kakek lalu berkata pelan, wahai Gusti, saya rasa sudah
akan malam, sesak nafasku kumat, saya tidak bisa pulang, ijinkanlah saya
bermalam dirumah tuan, saya akan pulang
besok pagi. Kemudian Bagus Dyarsa lalu membawa kakek itu pulang, setelah sudah
sampai dirumah sudah saatnya menyalakan lampu. Bagus Dyarsa berkata, wahai
adinda, ini ada tamu, cepatlah adinda siapkan makanan, cepatlah memasak,
istrinya kemudian pergi kedapur kemudian menanak nasi, Bagus Dyarsa kemudian
bercengkrama dengan pengemis tersebut, ngalor ngidul, setelah itu kemudian
berkatalah pengemis tersebut, wahai gusti kalau diijinkan hamba memohon dengan
sangat kerelaan Gusti untuk memberikan anakmu
untuk saya ajak besok, nanti apabila sudah dewasa saya akan memberikan
kembali kepada Gusti, sebab supaya ada yang menunggui rumah saya di pegunungan
pada saat saya pergi dan tidak ada dirumah, tatkala saya pergi mencari jamur
untuk lauk’
Insiden yang ketiga di bawah pohon
jambu dalam cerita ini terjadi pada saat I Wiracitta ikut berjalan kerumah
pengemis itu, setelah melewati jarak yang begitu jauh I Wiracitta melihat
kejadian aneh pada pengemis itu, seolah-olah pengemis itu berjalan tanpa ada
halangan sedikitpun padahal dia sudah tua jalan yang di tempuh sangat sulit batu
cadas yang sangat berbahaya ditepi jurang. Tibalah mereka pada peristirahatan,
mereka duduk diatas batu dibawah pohon jambu disanalah pengemis itu menunjukkan
dirnya adalah seorang dewa. Beliau bernama Bhatara Guru. Adapun kutipan adalah
sebagai berikut:
“Marérén negak di duur batu di batan nyambuné anaké
odah mamunyi “né apang tau, kaki dong manusa tau kaki Sanghyang Guru Déwa
mapinda jalema bungkut” tumuli masalin warnna Tri Nayana Catur Bhuja. I
Wiracitta nikel ping telu mendek angaksama ring pada Bhatara asih ring hina
guna kolug tan wruhing sor pangaluhur apan manusa jatiné lingira Sanghyang
amuwus karaningsun apinda janma tumeduning Madhya Loka.”(Bagus Dyarsa, 6b-7a)
Terjemahannya:
‘Kemudian
beristirahat duduk diatas batu dibawah
pohon jambu, kakek itu berkata, wahai engkau, kakek sebenarnya bukanlah manusia,
kakek adalah Sang Hyang Guru Dewa yang menjelma menjadi seorang kakek yang
bungkuk, lalu kakek itu berubah wujud menjadi manusia bermata tiga bertangan
empat, I Wiracitta kemudian bersujud tiga kali dan memohon ampun karena beliau berkenan kepada manusia yang
hina, yang tidak tahu mana yang tinggi dan rendah, sebab merasa sebagai manusia
hina, sang Hyang Bhatara berkata, yang menyebabkan aku turun kedunia menjelma
menjadi manusia’.
Insiden yang keempat yang terdapat pada Teks Tutur Bagus Dyarsa yaitu pada saat I
Wiracitta berada di jagat Siwaloka bersama Bhatara Guru. I Wiracitta merasa
sangat heran akan kemegahan jagat Siwaloka, dirinya dapat menyaksikan seluruh sthana semua para dewa yang begitu megah
dan menakjubkan. I Wiracitta dibersihkan secara lahir dan batin untuk layak
bersanding dengan semua yang ada di jagat Siwaloka. Selain itu I Wiracitta akan
diajarkan banyak mengenai ajaran kebenaran oleh Bhatara Guru supaya menjadi
raja yang bijaksana nantinya setelah menggantikan Bagus Dyarsa. Adapun kutipan
sastranya adalah sebagai berikut:
“IWiracitta né nguri muksah amoring awun hilang
katot tan kaduluha dasa muhur ta mangké katon ring purwwa samunuh kang swargga
ring siwapada téjané abhra dumilah. Sang sapta resi adulur-dulur amapag
Bhathāra widhyadara widhyadari sapta resi gumuruh sangkā sineranging garantung
sāmpun prapta ring bacñingah alungguh Hyang Déwa Guru ring padma mina-sutéja
pinareking widhyadara. Sang sapta resi awéda humung padha ngastungkara
angaturakna wajik tangan kālawan suku gandhaning dhupa merik arum apan mangkana
tingkahé ring kadéwatan winuwus IWiracitta kawengan apaning tembé umulat.
Tumuli angucap Sanghyang Guru watek resi kabeh lah dyusen reké wong iIdidiné
mari letuh wenang hana sapalungguh kālawaning widhyadara sang sapta resi hanuun
tumuli ginawa ring lwah suranadi dinyusan” (Bagus Dyarsa, 7a-7b)
Terjemahannya:
‘I Wiracitta
yang berada dibelakangnya seolah olah lenyap ditelan kabut tiada terasa telah
melewati sepuluh lapis alam, kemudian disebelah timur maka terlihatlah sorga di
jagat Siwaloka, yang bersinar terang.
Sang Sapta Rsi kemudian beriringan
menyambut Bhatara diiringi oleh widyadara widyadari, Sapta Rsi dengan
gemuruh menyampaikan puja hingga mereka
sampai di kedaton dan duduk, Hyang Dewa Guru kemudian duduk diatas sebuah teratai yang bersinar dengan diapit
oleh widyadara widyadari. Sang Sapta Rsi kemudian menyampaikan puja
mantra dan membersihkan kaki tangan beliau, bau dupa yang harum semerbak, sebab
seperti itulah tata cara di kedewatan, Berkatalah I Wiracitta sambil terkagum
kagum sebab baru pertama kali melihat. Kemudian berkatalah Sang Hyng Guru, para
Rsi semuanya, bersihkanlah dahulu
tubuh orang ini sebab sekarang masih dalam keadaan kotor sebelum layak duduk
bersanding dengan widyadara widyadari,
Sang Rsi kemudian semuanya menyembah
lalu membawa Iwiracitta ke sungai dan pancoran
kemudian di mandikan’.
Insiden kelima, setelah membuat alun-alun di desa
sang raja akan mengadakan sabung ayam yang berkaitan dengan upacara. Bagus
Dyarsa diperintahkan oleh sang raja agar bertaruh dengannya sebanyak tigaratus
ribu. Merasa diri seorang yang miskin ia merenung, dan teringatlah kepada
kata-kata pengemis itu, segeralah Bagus Dyarsa berpamitan kepada istrinya dan
mencabut bulu ayam yang ditaruhnya di sanggah
kemulan. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“Bagus Dyarsa jani kawuwus sedek wwang désané bau
suwud maaci-aci manyujukan tatarub twi wawidén anak agung uran metoh palaksayan
Bagus Dyarsa kawuwus kawidhi mangadu uran apang metoh tigang laksa. Bagus
Dyarsa bahané kerud mangrasa kadosén bane tiwas ngalisting inget tekén anaké
berung mamunyi tekén né luh “ira manipalimunan pacang ring anaké berung ngalih
syap pacang uran nyai jumah apang melah”. (Bagus Dyarsa, 12a)
Terjemahannya:
‘Diceritakan sekarang
Bagus Dyarsa, tatkala orang orang desa semuanya baru selesai melaksanakan
upacara persembahan mendirikan alun alun, pada saat itu dilaksanakan sabungan
ayam, anak Agung berratus ratus ribu. Bagus Dyarsa sekarang di perintahkan oleh
sang raja supaya bertaruh dengan sang raja tiga ratus ribu. Bagus Dyarsa karena
merasa dirinya orang miskin dan tiada mempunyai uang sebanyak itu. kemudian dia
termenung. Pada saat itu teringat akan perkataan pengemis itu. Dia berpamitan
dengan istrinya’.
Insiden keenam, terdapat pada perjalanan Bagus
Dyarsa ke rumah pengemis itu hingga sampai pada tempat Bhatara Guru untuk
meminta ayam yang akan di adu dengan sang raja. Dalam perjalanannya Bagus
Dyarsa menemukan hal-hal aneh, semakin jauh ia berjalan semakin aneh perjalanan
yang ia temukan, dan sampailah ia pada tempat yang tidak dikenalnya, tidak ada
perbukitan yang terlihat, yang ada hanyalah langit dan tanah sejauh mata
memandang. Banyak atman yang dilihat
Bagus Dyarsa yang kepanasan dan menderita disana. Selanjutnya bagus Dyarsa
terus berjalan menuruti terbangnya bulu ayam tersebut, setelah melewati ribuan atma yang tersiksa Bagus Dyarsa sampai
pada tempat Bhatara Guru tinggal, Bagus Dyarsa beristirahat da luar (jaba) sedangkan bulu ayam yang
diikutinya masuk kedalam (jroan).
Bhatara Guru ingat akan Bagus Dyarsa menunggunya di luar sehingga Bhatara Guru
meminta I Wiracitta untuk menemui ayahnya. setelah mendengar cerita dari
anaknya Bagus Dyarsa masuk menemui Bhatara Guru, banyak sekali dialog antara
Bhatara Guru dengan Bagus Dyarsa dan juga Bagus Dyarsa diberikan banyak
wejangan-wejangan tentang ajaran kebenaran. Setelah menerima banyak wejangan
dari Bhatara Guru kemudia diberikanlah ayam dan juga intan untuk bertaruh
melawan sang raja.
Insiden ketujuh, sembilan hari lamaya setelah Bagus
Dyarsa dianugrakan seekor ayam oleh Bhatara Guru diadakan sabung ayam berkaitan
dengan upacara karena warga desa baru selesai mendirikan alun-alun. Sang raja
telah datang untuk berjudi begitu juga dengan para pejudi lainnya. Bagus Dyarsa
juga hadir membawa ayam yang ketakutan (jerih),
karena semua pebotoh yang
mengejeknya maka Bagus Dyarsa berkata, siapaun kalau ayamnya galak akan dilawan
termasuk manusia dan Bagus Dyarsa akan bertaruh satu kendi berlian. Mendengar
hal tersebut raja mencoba meminjam ayam Bagus Dyarsa, tiba-tiba ayam yang takut
menjadi galak mematuk dan mencakar sang raja. karena tidak memungkinkan manusia
melawan seekor ayam, maka sang raja mengambilkan ayam miliknya untuk diadu
dengan ayam Bagus Dyarsa. setelah di adu ayam Bagus Dyarsa ketakutan dan lari
kesana-kemari sang raja tertawa beserta para pebotoh lainnya tanpa disangka ayam Bagus Dyarsa menerjang ayam
sang raja hingga mati, setelah itu ayam Bagus Dyarsa menyerang raja dan terluka
di bagian lambungnya raja itu akhirnya tewas. Adapun kutipannya sebagai
berikut:
“ngilgil mangelébang syap sāmpun syapé jerih kaburu
mailehan ring kalangan suraké mambata rubuh I Gusti Agung manyurak maméngkéng
ngagem sasatang. Di pahyunané I Gusti Agung mabalik syapé manarung ngruket
manggitik matiné ijo sangkur I Gusti Agung kajuluk kni telek ring lambungé
tumuli tiba kahantu paramancané rantaban manulung ada manyundang. Katungkul
mabyoyongan muug pada kamemegan Bagus Dyarsa kasisi mirahé kasaup kadut
manyarengseng lantas mantuk syapé nambung gagana manutug uli di pungkur teked
jumah masalinan lantas nugel patin tumbak. Kocap anaké batan tatarub padha
makolongan Gusti Agung karempegin panyampi akéh rawu pambabayon tetep bayuha
damang engkahin karnna pramanané sayan surud Gusti Agung sāmpun lebar elingé
kadi ampuhan”.(Bagus Dyarsa, 28a)
Terjemahannya:
‘dengan pura
pura takut gemetaran melepaskan ayamnya setelah ayamnya terlihat takut dikejar
kesana kemari mengitari arena sabungan tersebut, sangat riuh sorak sorai
penonton, Sang raja kemudian bersorak
berteriak memegang sasatang. suatu ketika ayamnya berbalik menerjang ayam ijo sangkur sang raja hingga mati ayam tersebut menyerang sang
raja, sang raja kena taji dibagian
lambungnya dan roboh. Dengan dibantu
oleh pengawalnya yang segera menolong
sebab terkejut. Bagus Dyarsa kemudian mengambil mirah tersebut kemudian pulang sembunyi sembunyi, ayamnya mengikuti
terbang dibelakangnya. sesampainya dirumah kemudian mengganti baju kemudian
memotong tangkai tombak diceritakan orang orang di arena pesabungan ayam
kemudian memapah sang raja memberikan obat penawar, karena hasil
perbuatannya maka semakin lemahlah keadaan
sang raja kemudian meninggal, ingatannya juga telah lenyap’.
Insiden kedelapan yaitu ketika rapat dengan
rakyatnya Bagus Dyarsa terlihat sangat tenang, murah senyum yang sangat berbeda
dengan raja yang terdahulu sehingga rakyat merasa sangat senang, adapun
kutipannya adalah sebagai berikut:
“tingkah dané Gusti Bagus munggwing panangkilan
somya srenggarā manis ngandika sungsung guyu tan wénten reged mwang jendul jati
twah jana nuraga asing pangandika metu mangleganin panangkilan nyandang
mamuterang jagat. Magenton paséngan Gusti Bagus né mangkin maparab Gusti Agung
niti yukti réh pangrawosé paguh twara bisa kasalimur rajah satwa pandadiné
sangkan manemu rahayu wyakti dulurin bhathara sangkan bagyané mangledag” (Bagus
Dyarsa, 30b)
Terjemahannya:
‘Sekarang
diceritakan mengenai tingkah sang raja pada saat di datangi oleh rakyatnya.
Sang raja pada saat di depan rapat sangat tenang, murah senyum dan berkata dengan diiringi senyuman tiada kekotoran dan tiada halangan. benar benar seorang raja
yang sangat mulya segala yang dikatakannya selalu membuat rakyat senang, dalam
rapat tentang kemakmuran rakyat. Kemudian beliau berganti gelar gusti bagus sekarang bernama I Gusti Agung
Niti Yukti, sebab segala yang dikatakannya selalu teguh tiada bisa
dipengaruhi rajas satwam yang menjadikan rakyat sejahtra apalagi di ayomi oleh
dewa. itulah yang menyebabkan rakyat bahagia’
Insiden yang terakhir ditempat kerajaan Bagus
Dyarsa, Hyang Narada akan membawa Bagus Dyarsa dan istrinya untuk tinggal di
surga bersama para dewa, sedangkan I Wiracitaa akan menjadi raja meneruskan
ayahnya. berikut kutipannya:
“Kyayi agung diniksan wus puput sareng istrinira
antuk Hyang Narada iIring Swargga wenang alungguh nyaput menge tan winuwus
wenang tan manjanma muwah respati awésa wiku sāmpun aparab Bhagawān “Bhagawān
Mrettalociha”. Punang istri inugrahan sāmpun paparabé mangké Bhathara
Nayopasuci. IWiracitta sāmpun mangké biniséka ratu nenggih nama-kretinira
kaprakaséng para ratu Prabhu Wijaya Kusuma byakta makasukaning rat.” (Bagus
Dyarsa, 32b-33a)
Terjemahannya:
‘Kyayi Agung
(Bagus Dyarsa) telah selesai diberikan Upacara Diksa bersama dengan
istrinya oleh Hyang Narada engkau sudah
sepatutnya tinggal di sorga menjadi
hamba dan tiada balik lagi menjelma menjadi manusia dari sekarang telah menjadi
bhagawanta dengan gelar “Bhagawan Mrettalociha”. demikian juga denga istrinya
diberi gelar Bhatara Nayopasuci. Sedangkan I Wiracitta telah dinobatkan menjadi
raja dan diberi upacara panjaya
jaya dan disaksikan oleh seluruh rakyat
dengan gelar Prabhu Wijaya Kusuma’.
4.1.4 Alur / Plot dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang yang
amat erat berkaitan, sehingga keduanya tidak mungkin dipisahkan. Bahkan lebih
dari itu objek pembicaraan cerita dan plot/alur boleh dikatakan sama. Baik
cerita maupun plot sama-sama mendasarkan diri pada rangkaian pristiwa,
sebagaimana yang disajikan dalam sebuah karya (Nurgiantoro, 2000: 94).
Selanjutnya Esten Mursal (1984: 39-40) berpendapat bahwa alur merupakan bagian
dari struktur sebuah cerita rekaan. Sebagai unsur dari sebuah karya sastra,
maka alur juga mempunyai kaitan dengan unsur-unsur struktur lainnya, termasuk
dengan amanat, karya sastra tersebut. Salah satu bentuk hubungan dengan bentuk
struktur-struktur yang lain adalah seperti hubungan pristiwa dengan tokoh,
pristiwa terjadi karena aksi dari tokoh-tokoh.
Sukada (1982: 24) berpendapat bahwa alur merupakan
lanjutan dari insiden, alur mendukung dan menyimpulkan kepada setiap pembaca
mengenai logis tidaknya insiden. Sementara itu Suharianto (1982: 29) menyatakan
bahwa alur menurut jenisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu alur rapat dan alur
longgar. Alur rapat adalah apabila dalam suatu cerita perkembangannya hanya
terpusat pada satu tokoh. Sedangkan alur longgar adalah apabila dalam suatu
cerita selain ada perkembangan cerita yang berkisar pada tokoh utama ada pula
perkembnagan tokoh-tokoh yang lain.
Suatu cerita pada garis besarnya dapat dibagi
menjadi lima bagian yang mengikuti pola tradisional dengan unsur-unsurnya
seperti: (1) Eksposition yaitu
pengenalan para tokoh, pembukaan hubungan menata adegan, menciptakan suasana,
penyajian sudut pandang. (2) Complication
yaitu pristiwa permulaan yang menimbulkan beberapa masalah kesukaran. (3) Rising Action yaitu mempertinggi atau
meningkatkan perhatian kegembiraan, kehebohan, saat bertambahnya kesukaran atau
kendala-kendala. (4) Turning Poin
yaitu krisis atau klimaks, titik emosi dan perhatian yang paling besar serta
mendebarkan. Ending yaitu
penyelesaian pristiwa-pristiwa bagaimana caranya para tokoh dipengaruhi dan apa
yang terjadi atas diri mereka masing-masing (Tarigan, 1984: 151).
Dari pengertian tersebut diatas maka plot adalah
unsur penggerak atau perangkai sebuah cerita, suatu sebab yang menimbulkan
akibat dan terlahirnya suatu peristiwa baru merupakan pengertian dari plot
dengan demikian plot dapat menimbulkan ketegangan dalam cerita, sehingga
menarik perhatian pembaca untuk bergerak menuntaskan membaca suatu karya
sastra. Berdasarkan pengertian tersebut
maka alur yang terdapat dalam teks Tutur
Bagus Dyarsa bergerak lurus, yaitu berawal dari pertemuan Bagus Dyarsa dengan seorang pengemis (eksposisi) di sebuah arena sabung ayam, yang
ingin meminta sisa makanan Bagus Dyarsa, dan
pada akhirnya meminta anak Bagus Dyarsa.
Bagus Dyarsa melayani pengemis itu
dengan baik. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“Angan apisan tong taén ngukup pipisé das onya
pitung atus suba bresih enu magantulan satus kasisi klingas klingus déning suba
paek sañja mablañja manumbas skul dagangé éncong nadingang lantas mara
madaaran. Bau mara mangesop ping telu sagét ada teka gagéndong mangidih-idih
matungked pati tuyud mangundit karoso ibus anak bungkut suba tuwa batis maka
dadwa berung mecat banyahé macatcat ebone banges malekag. Uled nyané liu
paklejuh buyung masliweran buka nyawané ngababin plis matané liu macéhcéh
marabu-rabu manyongkok raris mangucap “Gustin tityang Dewa Ratu tityang manunas
lungsuran basang tityangé bes layah”. Bagus Dyarsa mamunyi alus “mai ké
menékan” bareng madaar kaki I tuwa lingña alus “tityang mindah Déwa ratu tityang
manunas lungsuran” Bagus Dyarsa masahut “Nah kaki mai menékan bareng kén
tityang madaar”. “Apan tityang kaki saja tanruh tan hina wang wangsā tanruh
ring sor pangālewih lagut kakiné gudgud tuwa bungkut bwin berung kémad saja
baan tityang mambahang kaki manglungsur” tumuli raris kajemak kapradi kājak
menékan. “Tabé tityang Gusti Déwa Ratu tityang janma jelé” Bagus Dyarsa nyautin
“manegak kaki ditu tumuli bareng manyekul” dagangé mangadésemang ngelén mata
mecik cunguh” (Bagus Dyarsa, 3a-3b)
Terjemahannya:
‘Sekalipun tidak
pernah menang, uangnya hampir habis sebanyak 700, sisannya hanya tinggal
seratus, lalu dia kepinggir arena kebingungan, sebab sudah agak senja kemudian membeli nasi, dangangnya dengan
sigap mengambilkan lalu Bagus Dyarsa makan, baru memakan tiga suap makanan lalu datanglah pengemis memakai tongkat dan
sudah tua membawa tas dari daun ibus
(dedaunan) orangnya sudah tua, kakinya
keduanya borok, nanahnya keluar mengalir di kedua kakinya, baunya minta ampun,
apalagi ulatnya banyak sekali dikerubuti lalat seperti sarang lebah, matanya
yang sudah rabun kemudian dengan menraba
raba dia lalu berjongkok. Wahai Gusti, berikanlah saya makanan, saya sangat
lapar. Bagus Dyarsa lalu berkata duduklah disini kek, bareng-bareng makan dengan
saya, kakek itu berkata halus, saya tidak berani tuan saya hanya meminta sisa
nasi tuan, Bagus Dyarsa berkata, wahai kakek, kemarilah duduklah diatas dan
mari makan bersama saya. Apakah yang menyebabkan kakek ragu tidak ada manusia
yang hina, tidak ada yang dibawah, walaupun kakek orang tua yang sudah bongkok
dan banyak borok, saya merasa berdosa apabila memberikan kakek sisa makanan
dari saya. Kemudian kakek itu di papahnya kemudian diajak keatas, maafkanlah
kakek wahai anak muda kakek adalah orang hina. Bagus diharsa berkata, duduklah
disana makanlah bersama saya. Dagangnya kemudian tersenyum kecut sambil
memegang hidungnya’.
Alur selanjutnya complication yaitu Bagus Dyarsa diperintahkan oleh sang
raja untuk bertaruh sebesar tigaratus ribu, merasa diri miskin lalu Bagus Dyarsa
meminta bantuan kepada pengemis yang meminta anaknya itu. adapun kutipannya
sebagai berikut:
“Bagus Dyarsa jani kawuwus sedek wwang désané bau
suwud maaci-aci manyujukan tatarub twi wawidén anak agung uran metoh palaksayan
Bagus Dyarsa kawuwus kawidhi mangadu uran apang metoh tigang laksa. Bagus
Dyarsa bahané kerud mangrasa kadosén bane tiwas ngalisting inget tekén anaké
berung mamunyi tekén né luh “ira manipalimunan pacang ring anaké berung ngalih
syap pacang uran nyai jumah apang melah”. Tan kocap wengi daslemah sāmpun I
Bagus Dyarsa makikén jani mamargi ka sanggah lantas nyjemut bulun syapé tatelu
teked di marggané gedé léb angin maka tatelu nyeler ya ngaja kanginang Bagus
Dyarsa nuutang” (Bagus Dyarsa, 12a-12b)
Terjemahannya:
‘Diceritakan
sekarang Bagus Dyarsa, takkala orang orang desa semuanya baru selesai
melaksanakan upacara persembahan mendirikan alun alun, pada saat itu
dilaksanakan sabungan ayam, anak Agung ber ratus ratus ribu. Bagus Dyarsa
sekarang di perintahkan oleh sang raja supaya bertaruh dengan sang raja 3 ratus
ribu. Bagus Dyarsa karena merasa dirinya orang miskin dan tiada mempunyai uang
sebanyak itu . kemudian dia termenung. Pada saat itu teringat akan perkataan
pengemis itu. Dia berpamitan dengan istrinya. Wahai adinda besok fajar kanda
akan kerumahnya pengemis itu untuk meminta ayam. Dinda tinggallah dirumah
dengan baik. Tiada diceritakan lagi paginya saat fajar mulai menyingsing, Bagus
Dyarsa bersiap siap akan berangkat. Kemudian dia kesanggah kemudian mencabut
tiga batang bulu ayam yang ada di sanggah, setelah sampai di pinggir jalan bulu
ayam tersebut dilepaskan. Bersamaan dengan itu datang angin yang menerbangkan
bulu ayam tersebut kearah tenggara. Bagus Dyarsa kemudian mengikuti terbangnya
bulu ayam tersebut’.
Dari
kutipan diatas terlihat bahwa Bagus Dyarsa sedang menuju rumah pengemis itu
untuk meminta seekor ayam yang akan diadu sesuai perintah raja. setelah sampai
pada rumah seorang pengemis itu, Bagus Dyarsa bertemu dengan anaknya I
Wiracitta dan I Wiracitta menceritakan semua kepada ayahnya bahwa sebenarnya
pengemis itu adalah Bhatara Guru. Setelah mendapatkan banyak wejangan dari
Bhatara Guru Bagus Dyarsa diberikan seekor ayam beserta dengan berlian sebagai
taruhannya untuk melawan raja yang sombong dan juga angkuh.
Alur
selanjutnya yaitu terjadi suatu peristiwa ayam Bagus Dyarsa yang dianugrahkan
oleh Bhatara Guru mengalahkan ayam milik raja sekaligus menyerang raja hingga
raja tewas. Adapun kutipannya adalah sebagai berikut:
“Di pahyunané I Gusti Agung mabalik syapé manarung
ngruket manggitik matiné ijo sangkur I Gusti Agung kajuluk kni telek ring
lambungé tumuli tiba kahantu paramancané rantaban manulung ada manyundang.
Katungkul mabyoyongan muug pada kamemegan Bagus Dyarsa kasisi mirahé kasaup
kadut manyarengseng lantas mantuk syapé nambung gagana manutug uli di pungkur
teked jumah masalinan lantas nugel patin tumbak. Kocap anaké batan tatarub
padha makolongan Gusti Agung karempegin panyampi akéh rawu pambabayon tetep
bayuha damang engkahin karnna pramanané sayan surud Gusti Agung sāmpun lebar
elingé kadi ampuhan” (Bagus Dyarsa, 28a)
Terjemahannya:
‘suatu ketika
ayamnya berbalik menerjang ayam ijo sangkur
sang raja hingga mati ayam tersebut menyerang sang raja, sang raja kena taji
dibagian lambungnya dan roboh. Dengan
dibantu oleh pengawalnya yang segera menolong
sebab terkejut. Bagus Dyarsa kemudian mengambil mirah tersebut kemudian
pulang sembunyi sembunyi, ayamnya mengikuti terbang dibelakangnya. sesampainya
dirumah kemudian mengganti baju kemudian memotong tangkai tombak diceritakan
orang-orang di arena sabungan ayam kemudian memapah sang raja memberikan obat
penawar, karena hasil perbuatannya maka semakin lemahlah keadaan sang raja
kemudian meninggal, ingatannya juga telah lenyap’.
Kutipan
diatas menerangkan bahwa seorang raja yang angkuh dan sombong telah dikalahkan
oleh Bagus Dyarsa dan kemudian Bagus Dyarsa dinobatkan menjadi raja dengan gelar
I Gusti Agung Niti Yukti.
4.1.5 Latar dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Menurut Sudjiman (1986: 46) latar adalah suatu
keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana trerjadinya lakuan dalam karya
sastra. Berbeda dengan Atmazaki (1990: 62) mengatakan bahwa latar dalam karya
sastra adalah tempat atau suasana lingkungan yang mengenai pristiwa. Didalamnya
menyangkut lokasi pristiwa, lokasi suasana, sosial budaya setempat, dan bahkan
semua hati tokoh. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa dalam karya sastra latar
tidak mesti realistis objektif, tetapi bisa menjadi realitas imajinatif.
Sutrisno
dalam Duani (2013: 69) menyatakan bahwa, secara terperinci latar meliputi:
penggambaran lokasi geografis termasuk topografi, pandangan sampai kepada
perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari,
agama, moral, intelektual, sosial emosional para tokoh. Adapun latar yang
diambil dalam teks Tutur Bagus Dyarsa yaitu di kamar rumahnya, saat Bagus Dyarsa
tidak dapat hadir pada judi sambung ayam yang diadakan oleh sang raja. Bagus
Dyarsa tidak memiliki uang untuk bertaruh. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“Bagus Dyarsa kocap ida jumah medem malingkuh bāné
twara ngelah gelar makabun mamati awak” (Bagus Dyarsa, 2b)
Terjemahannya:
‘diceritakan Bagus
Dyarsa dirumahnya tidur sebab tiada
memiliki bekal untuk berjudi lalu dia menutupi dirinya dengan selimut’.
Latar selanjutnya, di arena sabungan ayam tempat
bertemunya Bagus Dyarsa dengan penjelmaan Bhatara Guru sebgai pengemis, adapun
kitipannya sebgai berikut:
“mangojog batan tatarub déning kidik makta gelar
majujuk metoh mamujang. Angan apisan tong taén ngukup pipisé das onya pitung
atus suba bresih enu magantulan satus kasisi klingas klingus déning suba paek
sañja mablañja manumbas skul dagangé éncong nadingang lantas mara madaaran. Bau
mara mangesop ping telu sagét ada teka gagéndong mangidih-idih matungked pati
tuyud mangundit karoso ibus” (Bagus Dyarsa, 3a)
Terjemahannya:
‘dia lalu
berdiri dibawah wantilan sebab merasa dirinya sedikit membawa modal, lalu
berdiri bertaruh sedikit sedikit. Sekalipun tidak pernah menang, uangnya hampir
habis sebanyak 700, sisannya hanya tinggal seratus, lalu dia kepinggir arena
kebingungan, sebab sudah agak senja
kemudian membeli nasi, dangangnya dengan sigap mengambilkan lalu Bagus
Dyarsa makan, baru memakan tiga suap makanan
lalu datanglah pengemis memakai tongkat dan sudah tua membawa tas dari
daun ibus’.
Latar selanjutnya dirumah Bagus Dyarsa, pengemis
tersebut ingin menumpang untuk menginap semalam, dan meminta anak Bagus Dyarsa,
adapun kutipannya sebagai berikut:
“Gusti tityang mahatur né mangkin sāmpun dasdalu
dekah tityangé mangentah boya dados tityang mantuk tityang nunas madunungan
tityang mapamit né béñjang” (Bagus Dyarsa, 4a)
Terjemahannya:
‘wahai Gusti,
saya rasa sudah akan malam, sesak nafasku kumat, saya tidak bisa pulang,
ijinkanlah saya bermalam dirumah tuan,
saya akan pulang besok pagi’.
Latar selanjutnya menjelang pagi, ketika pengemis
dan I Wiracitta akan menuju ke Kailasa, berikut kutipannya diceritaka udara yan
teramat dingin, mereka berdua memulai perjalanannya ke arah selatan, berikut
kutipannya:
“suba ada budaslemah galang bulan ngalemahang. Anaké
odah bangun manundun “cai Wiracitta lan ké majalan jani” I Wiracitta bangun
ngojog ka natahé tuun manyongkok maharep kaja manyumbah ring bapa ibu tumuli
raris majalan marérod bareng ngajanang, di marggané suwung tistis sampun suba
liwat désa pajalanné beneh kangin carik abyan kapungkur tegal padasan kalangkung
nyujur kawéra janggala galang kangin kedis muug tadaasih amlasar sake kéré
ngatag rahinā. Tuhu-tuhuné sawat karungu
kété-kété carukcuk munyi anguci raris munggah ka gunung-gunung kékélasa aran
ipun marggané liked” (Bagus Dyarsa, 6a-6b)
Terjemahannya:
‘kira kira
menjelang pagi, bulan bersinar hampir pagi, kakek itu bangun, orang tua itu
membangunkan I Wiracitta wahai Wiracitta sekarang bangunlah, I Wiracitta bangun
kemudian berjongkok memberikan sembah kepada ayah ibunya, menghadap keselatan,
kemudian mereka pergi bersamaan kearah selatan di perjalanan yang terasa sepi,
setelah melewati desa perjalanannya menuju ketimur, sawah tegalan terlewati, tegalan,
batu cadas teramat curam, yang temaram menjelang pagi suara burung kedasih yang
berkicau seolah olah mengantarkan kedatangan pagi, burung tuu-tuu yang terdengar sayup sayup, burung cerukcuk
terdengar berkicau kemudian terbang ke gunung gunung ke Kelasa namanya yang
amat sulit’
Latar selanjutnya dibawah pohon jambu, disanalah
Bhatara Guru menunjukkan kepada I Wiracitta bahwa pengemis itu adalah jelamaan
Bhatara Guru, berikut kutipannya:
“Marérén negak di duur batu di batan nyambuné anaké
odah mamunyi “né apang tau, kaki dong manusa tau kaki Sanghyang Guru Déwa
mapinda jalema bungkut” tumuli masalin warnna Tri Nayana Catur Bhuja. I
Wiracitta nikel ping telu mendek angaksama ring pada Bhatara asih ring hina”
(Bagus Dyarsa, 6b)
Terjemahannya:
‘Kemudian
beristirahat duduk diatas batu dibawah
pohon jambu, kakek itu berkata, wahai engkau, kakek sebenarnya bukanlah
manusia, kakeh adalah Sang Hyang Guru Dewa yang menjelma menjadi seorang kakek
yang bungkuk, lalu kakek itu berubah wujud menjadi manusia bermata tiga
bertangan empat, I Wiracitta kemudian bersujud tiga kali dan memohon ampun karena beliau berkenan kepada manusia yang
hina,’
Latar selanjutnya di sorga, I Wiracitta sangat
takjub dengan kemegahan istana para dewa,
“I Wiracitta mangké winuwus wonten ikang swargga
suka tan pabalik rusit, sainga langlang kalangun suka amangan anginum anonton
tang swargga kabéh” (Bagus Dyarsa, 8a)
Terjemahannya:
‘I Wiracitta
sekarang diceritakan yang berada di sorga, senangnya tiada terkira, setiap saat
menikmati keindahan dengan bahagia, makan dan minum sambil menikmati keindahan sorga’.
Latar selanjutnya perjalanan Bagus Dyarsa menuju
Kailasa tempat pengemis intuk untu meminta seekor ayam, dalam perjalanannya
Bagus Dyarsa menemukan banyak kejanggalan-kejanggalan, dan pada akhirnya Bagus
Dyarsa sampai pada tempat yang tidak ia kenal, disanan Bagus Dyarsa menemukan
banyak sekali roh-roh atau jiwa-jiwa manusia yang sedang dihukim karena
perbuatannya. Berikut kutipannya:
“Suba liwat gunungé papitu manggih tegal linggah
sawat kauh sawat kangin kaja kelod ngalintung twara ada pati kayu padhang
tekaning ambengan twara ada ngenah gunung sok langit tkaning tanah nyané
apalyat. Atmané liyu ditu katepuk soroh watek papa kapanasan” (Bagus Dyarsa,
12b)
Terjemahannya:
‘setelah
melewati tujuh buah gunung dia melihat
ada tegal yang sangat luas dan jauh
sekali, di sisi utara, selatan, sisi timur dan di sebelah baratnya tiada
menemukan sebatang kayupun yang tumbuh. Yang ada hanyalah hamparan rumput
ilalang yang snagt luas , tiada terlihat
puncak gunung, yang ada hanyalah tanah dan langit sejauh memandang. Disanalah dia menemukan
banyak sekali roh roh yang menderita
kepanasan’
Selanjutnya mengambil latar jagat Siwaloka di tempat Bhatara Guru, Bagus
Dyarsa sampai pada tempat Bhatara Guru di Kailasa yang merupakan sebuah sorga
yan indah, disanalah Bagus Dyarsa menerima wejangan-wejangan suci dari Bhatara
Guru. Berikut kutipannya:
“Bhathara ngandika aris “teka ko iba bagus apa gawén
bane” rawuh Bagus Dyarsa manyumbah mepes tumuli mahatur “tityang parek ring
Bhathara misadya nunas lungsuran”. “Antuk tityang né mangkin kalentuk kakninin
uran wawidén metoh akti antuk I gusti agung”(Bagus Dyarsa, 21a)
Terjemahannya:
‘Bhatara
bersabda. selamat atas kedatangannmu, lalu apakah tujuanmu dating kemari, kemudian
bagis diarsa menyumbah serta berkata: hamba dating kemari tiada lain untuk
meminta anugrahmu. Sebab hamba sekarang di jagat pada hamba dipaksa untuk
membayar urunan untuk bertaruh sebanyak satu keti olih I Gusti Agung’.
Setelah Bagus Dyarsa mendapatkan anugrah dari
Bhatara Guru sembilan hari kemudian datang perintah dari raja untuk
mempersiapkan taruhan dan ayam aduan melawan ayam sang raja. Di arena sabung
ayam menjadi latar ketika Bagus Dyarsa mengadu ayam yang diberikan Bhatara Guru
melawan ayam sang raja, ayam Bagus Dyarsa berhasil mengalahkan ayam sang raja
sekaligus membunuh raja tersebut. Berikut kutipannya:
“Di pahyunané I Gusti Agung mabalik syapé manarung
ngruket manggitik matiné ijo sangkur I Gusti Agung kajuluk kni telek ring
lambungé tumuli tiba kahantu paramancané rantaban manulung ada manyundang”
(Bagus Dyarsa, 28a)
Terjemahannya:
‘suatu ketika
ayamnya berbalik menerjang ayam ijo
sangkur sang raja hingga mati ayam tersebut menyerang sang raja, isang raja
kena taji dibagian lambungnya dan roboh’.
Latar selanjutnya dirumah Bagus Dyarsa, setelah ayam
Bagus Dyarsa membunuh sang raja, Bagus Dyarsa diserang oleh pengawal raja,
tetapi berkat anugrah dari Bhatara Guru semua pengawal raja dikalahkan.
“Bagus Dyarsa dong pesu jani nahang kadhirané
panjaké jani” pagrubug mangregah témbok masurak lén mambedil gumarédag” (Bagus
Dyarsa, 28a)
Terjemahannya:
‘Hai Bagus
Dyarsa keluarlah sekarang tunjukkan
kehebatanmu, ada lagi yang memanjat pagar
membawa bedil’.
Latar yang terakhir di kerajannya Bagus Dyarsa,
Hyang Narada datang bersama dengan anak Bagus Dyarsa, I Wiracitta yang akan
menjadi raja menggantikan ayahnya, sementara Bagus Dyarsa akan diajak kesorga
dan tidak akan terlahir kembali sebagai manusia. Berikut kutipannya:
“Kyayi agung diniksan wus puput sareng istrinira
antuk Hyang Narada iki ring Swargga wenang alungguh nyaput menge tan winuwus
wenang tan manjanma” (Bagus Dyarsa, 32b)
Terjemahannya:
‘Kyayi Agung
(Bagus Dyarsa) telah selesai diberikan Upacara
Diksa bersama dengan istrinya oleh Hyang Narada engkau sudah sepatutnya
tinggal di sorga menjadi hamba dan tiada
balik lagi menjelma menjadi manusia’
4.1.6 Tema dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Tema adalah suatu pokok persoalan atau pokok pikiran
yang menjadi dasar cerita. Menurut Brooks (dalam Tarigan, 1984: 125) tema
adalah pandangan hidup yang tertentu dan perasaan tertentu mengenai kehidupan,
rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan
utama dari suatu karya sastra. Sutrisno dalam Duani (2013: 77) Untuk menentukan sebuah tema dalam sebuah
karya sastra, seorang pemabaca harus membaca karya sasrtra itu secara langsung
beulang-ulang dengan seksama dan cermat.
Tema tidak lain adalah ide pokok, ide sentral atau
ide yang dominan dalam karya sastra (Sukada, 1987: 70). Disamping pengertian tema perlu juga
diketahui cara-cara menemukan tema suatu karya sastra. Ada tiga cara menentukan
tema yaitu: (1) dengan melihat persoalan yang paling menonjol. (2) dengan
melihat persoalan yang menimbulkan konflik-konflik yang melahirkan
pristiwa-pristiwa. (3) dengan menghitung waktu penceritaan, yaitu waktu yang
diperlukan untuk menceritakan pristiwa-pristiwa atau tokoh-tokoh dalam cerita
(Mursal, 1984: 88).
Berdasarkan pengertian tema diatas bahwa tema yang
terdapat dalam teks Tutur Bagus Dyarsa
terlihat pengarang mengearahkan ceritanya dengan memberikan pemecahan masalah
bagi tokohnya yang selalu mendapat rintangan-rintangan dalam perjalanan
hidupnya. Kejadian diawali ketika Bagus Dyarsa diperintahkan oleh sang raja
untuk bertaruh melawannya sebanyak tigaratus berikut kutipannya:
“Bagus Dyarsa jani kawuwus sedek wwang désané bau
suwud maaci-aci manyujukan tatarub twi wawidén anak agung uran metoh palaksayan
Bagus Dyarsa kawuwus kawidhi mangadu uran apang metoh tigang laksa. Bagus
Dyarsa bahané kerud mangrasa kadosén bane tiwas ngalisting inget tekén anaké
berung” (Bagus Dyarsa, 12a)
Terjemahannya:
‘Diceritakan
sekarang Bagus Dyarsa, takkala orang orang desa semuanya baru selesai
melaksanakan upacara persembahan mendirikan alun alun, pada saat itu
dilaksanakan sabungan ayam, anak Agung ber ratus ratus ribu. Bagus Dyarsa
sekarang di perintahkan oleh sang raja supaya bertaruh dengan sang raja 3 ratus
ribu. Bagus Dyarsa karena merasa dirinya orang miskin dan tiada mempunyai uang
sebanyak itu . kemudian dia termenung’.
Jika Bagus Dyarsa tidak bersedia mengadu ayam dan
bertaruh maka hidup Bagus Dyarsa akan disengsarakan oleh raja, merasa diri
miskin maka bagus Dyarsa teringat denga seorang pengemis yang akan memberikan
seekor ayam yang pernah dijanjikannya sejak pertemuannya dahulu. Pengemis itu
tiada lain adalah penjelmaan Bhatara Guru adapun kutipannya sebagai berikut:
“Bhathara ngandika aris “teka ko iba bagus apa gawén
bane” rawuh Bagus Dyarsa manyumbah mepes tumuli mahatur “tityang parek ring
Bhathara misadya nunas lungsuran”. “Antuk tityang né mangkin kalentuk kakninin
uran wawidén metoh akti antuk I gusti agung yan tityang tan wénten ngadu
kaborong kapaobatang”(Bagus Dyarsa, 21a)
Terjemahannya:
‘Bhatara
bersabda. selamat atas kedatangannmu, lalu apakah tujuanmu dating kemari, kemudian Bagus diarsa menyumbah serta
berkata: hamba dating kemari tiada lain untuk meminta anugrahmu. Sebab hamba
sekarang di jagat pada hamba dipaksa untuk membayar urunan untuk bertaruh sebanyak satu keti olih I Gusti Agung. Jika hamba tidak bersedia
untuk mengadu ayam maka hamba akan sengsara’
Sebelum Bagus Dyarsa diberikan seekor ayam, Bhatara
Guru memberikan banyak wejangan-wejangan sucinya kepada Bagus Dyarsa, karena
nantinya Bagus Dyarsa akan menjadi seorang raja menggantikan anak Agung raja
yang serakah. Setelah lama diberikan ajaran tentang kepemimpinan supaya menjadi
raja yang bijaksana. Bagus Dyarsa diberikan seekor ayam yang akan diadu dengan
ayam sang raja. Berikut kutipannya:
“I Gusti Agung manyurak maméngkéng ngagem sasatang.
Di pahyunané I Gusti Agung mabalik syapé manarung ngruket manggitik matiné ijo
sangkur I Gusti Agung kajuluk kni telek ring lambungé tumuli tiba kahantu
paramancané rantaban manulung ada manyundang’. (Bagus Dyarsa, 28a)
Terjemahannya:
‘Sang raja
kemudian bersorak berteriak memegang
sasatang. suatu ketika ayamnya berbalik
menerjang ayam ijo sangkur
sang raja hingga mati ayam tersebut menyerang sang raja, isang raja kena taji dibagian lambungnya dan roboh’.
Setelah sang raja yang serakah dikalahkan maka Bagus
Dyarsa diserang dari segala arah oleh para prajurit kerajaan, tetapi berkat
anugrah Bhatara Guru Bagus Dyarsa tidak dapat dikalahkan. Ayam yang diberikan
Bhatara Guru berubah wujud menjadi seekor garuda dan Bagus Dyarsa berada
diatasnya. Setelah semua prajurit mengigil ketakutan Bagus Dyarsa mengampuni
semua. Kemuadian Bagus Dyarsa dinobatkan menjadi raja dengan gelar I Gusti
Agung Niti Yukti.
Setelah lama memerintah Bagus Dyarsa kemudian
digantika oleh anaknya I Wiracitta yang lama diasuh oleh Bhatara Guru, sehingga
tidak diragukan lagi dalam memimpin suatu kerajaan. I Wiracitta kemuadian
dinobatkan menjadi raja dengan gelar Prabhu Wijaya Kusuma. Sementara itu Bagus
Dyarsa dan istrinya diberikan upacara dikas
oleh Hyang Narada. Setelah selesai didiksa
Bagus Dyarsa diberi gelar Bhagawan Mrettalociha kemudian istrinya diberi gelar
Bhatara Nayopasuci dan diajak kesurga tanpa terlahir kembali menjadi manusia.
berikut kutipannya:
“Kyayi agung diniksan wus puput sareng istrinira
antuk Hyang Narada iiring Swargga wenang alungguh nyaput menge tan winuwus
wenang tan manjanma” (Bagus Dyarsa, 32b)
Terjemahannya:
‘Kyayi Agung
(Bagus Dyarsa) telah selesai diberikan Upacara Diksa bersama dengan
istrinya oleh Hyang Narada engkau sudah
sepatutnya tinggal di sorga menjadi
hamba dan tiada balik lagi menjelma menjadi manusia’.
Tema dari Teks Tutur
Bagus Dyarsa adalah ketaan seorang dalam memahami, menghayati dan
menjalankan suatu kebenaran ajaran tentang ketuhanan, sehingga mampu untuk
mencapai suatu pembebasan dan tanpa menjelma kembali menjadi manusia hal
tersebut merupakan tujuan dari agama Hindu mencapai suatu kedamaian atau
mencapai suatu pembebasan. Dalam hal ini ketaan Bagus Dyarsa dalam menjalankan
semua ajaran-ajaran suci dari Bhatara Guru sehingga mampu untuk mencapai suatu
kesempurnaan dalam hidup dan setelah kematian.
4.1.7 Amanat dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Amanat adalah suatu gagasan yang mendasari karya
sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.
Amanat akan selalu berkaitan atau menyentuh hati nurani pembaca, untuk
menyadari atau menolaknya (Sudjiman, 1986: 5). Esten Mursal dalam Duani (2013:
81) berpendapat bahwa amanat yang baik adalah amanat yang berhasil membukakan
keyakinan-keyakinan yang luas dan baru bagi manusia dan kemanusiaan.
Amanat yang terkandung dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa bahwa ajaran ajaran
suci Bhatara Guru merupakan ajaran tentang pengendalian diri. Seseorang yang
ingin mencapai suatu pembebasan hendaknya tidak dibutakan dengan kesenangannya
sendiri, berikut kutipannya:
“Duryan yén iba suba agung salinin bikasé eda
nganggon daya piranti mamotoh iba suud to makada kasalimur sagatin-gatin gawéné
katungkul bān tuyuh rāga wisaya makejang eda mangraketang di manah. Sanghyang
sāstra gulik punduh-punduh resepang di manah susupang teked dyatihapan to
tungked kukuh krana pageh dadi agung sāstra panyuluh idhepé apang eda pati puug
manyalanang kapatutan uger-ugerin bān sāstra” (Bagus Dyarsa, 21a-21b)
Terjemahannya:
‘Nanti kelak
jika kamu sudah menjadi raja maka rubahlah kebiasaan burukmu janganlah memakai
alas an untuk berjudi . giatlah untuk bekerja janganlagi kamu dibutakan oleh
kesenangan dirimu sendiri. Pelajarilah kecap sastra kumpullkanlah lalu resapiklah dalam
hatimu itu adalah pedoman yang sangat
kuat sebab menjadi seorang raja yang
kuat sastralah sebagai tamengmu. Dan sebagai sinar menerangi jalanmu. Janganlah
kamu merasa ragu untuk menjalankan kebenaran dengan berdasarkan atas sastra
dharma’.
Bhatara Guru memberikan ajaran-ajaran sucinya kepada
Bagus Dyarsa bahwa menjadi sorang pemimpin harus memiliki suatu pengetahuan
dari sastra yang utama sebagai tameng yang kokoh dalam menjalankan suatu
pemerintahan. Seorang raja harus mampu mengendalikan dirinya dan tidak
dibutakan oleh kesenangannya sendiri.
4.2 Eksistensi Ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Ali (1991: 253) pada kamus besar Bahasa Indonesia
menyatakan bahwa, eksistensi adalah adanya keberadaan. Keberadaan yang dimaksud
adalah memeperlihatkan jati diri dengan berbagai kelebihan yang khas melekat
pada sesuatu. Eksistensi juga dapat diartikan sebagai suatu ciri tertentu untuk
bisa menampakan diri dibandingkan dengan yang lain. Sementara itu Zaenal (2007:
16) menyatakan eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau
mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari,
melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti.
Melainkan lentur atau kenyal dan dan
mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan
dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya.
Menurut I Made Sudirawan (wawancara, 07/04/2015)
eksistensi merupakan keberadaan sebuah ajaran yang terdapat dalam sebuah karya
sastra.
Lorens,
(1996: 183-185) menyatakan bahwa terdapat beberapa pengertian tentang
eksistensi yang dijelaskan menjadi empat pengetian. Pertama eksistensi adalah
apa yang ada. Kedua, eksistensi adalah apa yang memiliki aktualitas. Ketiga
eksistensi adalah segala sesuatu yang dialami dan menekankan bahwa sesuatu itu
ada. Keempat eksistensi adalah kesempurnaan. Dari pengertian tersebut maka
dalam penelitian ini, kata eksistensi
merujuk pada keberadaan ajaran Siwaistis dalam
teks tutur Bagus Dyarsa.
Dalam Teks Tutur
Bagus Dyarsa terdapat banyak keberadaan ajaran Siwaistis yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup, merujuk pada
teori semiotika yang digunakan dalam penelitian ini adalah bertujuan untuk
mengupas tanda-tanda dalam karya sastra khususnya Teks Tutur Bagus Dyarsa. Melalui tanda-tanda manusia dapat
berkomunikasi satu dengan yang lainnya, demikian juga tanda-tanda yang ingin
disampaikan Sang Pengawi kepada
pembaca melalui Teks Tutur Bagus Dyarsa berupa eksistensi atau keberadaan ajaran Siwaistis.
Tanda-tanda yang terkandung dalam ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa harus dimaknai.
Seperti eksistensi ajaran Siwaistis dalam
Teks Tutur Bagus Dyarsa. Adapun
tanda-tanda eksistensi ajaran Siwaistis
dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa seperti
kutipan berikut:
“Bagus Dyarsa raris ngajak mantuk, suba teked jumah
masan anak ngeñjit sundih Bagus Dyarsa amuwus “Né jani nyai matamyu kema
dabdabang manyakan” né eluh éñcong manguup ka paon raris manyakan, Bagus Dyarsa
māneman. Satwa tan ikangin tan ikawuh maideh-idehan sagét idup sagét mati anake
odah muwus “Gusti tityang lintang lucu agung pinunas tityangé bwat iccan
Gustiné nulus anak Gusti tunas tityang ajak tityang mantuk bénjang”. “Pungkur
lamun dané sāmpun dugur tityang mangastu kang kalih ngaturang ring Gusti apang
wénten manunggu kubun tityangé di gunung kāla tityang nénten jumah tityang jat
luwas manganggur ka sisin tukadé kaja ngalih Ong pacang janganan”. (Bagus
Dyarsa, 4a-4b)
Terjemahannya:
‘Kemudian Bagus
Dyarsa lalu membawa kakek itu pulang, setelah sudah sampai dirumah sudah
saatnya menyalakan lampu. Bagus Dyarsa berkata, wahai adinda, ini ada tamu,
cepatlah adinda siapkan makanan, cepatlah memasak, istrinya kemudian pergi
kedapur kemudian menanak nasi, Bagus Dyarsa kemudian bercengkrama dengan pengemis
tersebut, ngalor ngidul, setelah itu kemudian berkatalah pengemis tersebut,
wahai gusti kalau diijinkan hamba memohon dengan sangat kerelaan Gusti untuk
memberikan anakmu untuk saya ajak besok,
nanti apabila sudah dewasa saya akan memberikan kembali kepada Gusti, sebab
supaya ada yang menunggui rumah saya di pegunungan pada saat saya pergi dan
tidak ada dirumah, tatkala saya pergi mencari jamur untuk lauk’.
Dari
kutipan diatas tanda-tanda berupa eksistensi ajaran Siwaistis dalam teks Tutur
Bagus Dyarsa dapat dimaknai bahwa,
setiap manusia hendaknya tidak terikat pada duniawi untuk dapat mencapai suatu
kelepasan. Bhatara Guru dalam wujud pengemis meminta anak dari Bagus Dyarsa,
Bhatara Guru menguji keterikatan Bagus Dyarsa terhadap anaknya. Meskipun Bagus
Dyarsa hanya memiliki satu anak tetapi Bagus Dyarsa memberikan anaknya untuk
tinggal bersama pengemis tanpa rasa ragu. Karena Bagus Dyarsa yakin anaknya
akan diajarkan tentang kebenaran oleh pengemis tersebut. Bagus Dyarsa merupakan
seorang yang pemurah. Rgveda dalam
Titib (1996: 320) dijelaskan bahwa orang yang pemurah akan mencapai suatu
keabadian, berukut kutipannya:
“Daksinā vanto amrtam bhajante
Daksinā vantah pra tiranta āyuh”
Terjemahannya:
‘Orang yang
bermurah hati mencapai keabadian.
Mereka
memperpanjang usia mereka’
(Rgveda I. 125.6)
Keterikatan
duniawi akan membatasi atman untuk
bersatu dengan Brahman. Keterikatan membuat manusia takut mengalami perubahan,
keterikatan membuat manusia ingin mempertahankan sesuatu yang pada dasarnya
tidak abadi. Selain itu keterikatan juga menimbulkan keinginan untuk
mempertahankan sesuatu. Ketika manusia terikat dengan anaknya tentu akan
menjadi hal yang menyedihkan apabila berpisah dengannya. Bhatara Guru dalam
wujud pengemis meminta anak dari Bagus
Dyarsa, dan Bagus Dyarsa
memberikannya dengan iklas. Setiap manusia hendaknya berpedoman pada prilaku
Bagus Dyarsa yang tidak terikat pada duniawi sehingga mampu untuk mencapai suatu kelepasan tanpa
lahir kembali kedunia.
Eksistensi
ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa bahwa Bhatara Guru
mengajarkan umatnya untuk tidak terikat dengan kesenangan duniawi, supaya mampu
untuk mecapai tujuan hidup dari agama Hindu yaitu moksa, moksa adalah
menyatunya atman dengan Brahman (Tuhan), atman merupakan percikan terkecil dari Brahman (Tuhan) yang menghidupi setiap mahluk sehingga tidak
mengalami kelahiran kembali, sebab kelahiran adalah suatu penderitaan sehingga
perlu untuk diahkiri.
Kutipan
selanjutnya tentang eksistensi ajaran Siwaistis
yang terkandung dalam teks Tutur Bagus
Dyarsa yaitu perjalanan Bagus Dyarsa
menuju Kailasa kerumah pengemis untuk meminta seekor ayam, adapun kutipannya
sebagai berikut:
“Sayan joh pajalané andarung liwat carik abyan masih
enu mambeneh kangin alas wayah katepuk tuun jurang menék pangkung tembing
trebis pringga réjéng sayan joh lampahé andarung pragumyané sayan tawah mirib
twara sabéng janma. Suba liwat gunungé papitu manggih tegal linggah sawat kauh
sawat kangin kaja kelod ngalintung twara ada pati kayu padhang tekaning
ambengan twara ada ngenah gunung sok langit tkaning tanah nyané apalyat. Atmané
liyu ditu katepuk soroh watek papa kapanasan nandang sakit di tegalé matambun
makejang nyilapin damuh né di muñcuk ambengané lén atma raré katepuk
panggréñjeng padha manampa kawu-bulu makejang. Lén atma ada buin katepuk batan
manduriné masasambatan mangeling awaké
payah etuh mata cekok batis abuh munyiné patidula “mé nguda kéné dewa ratu swé
tityang kasakitan manandang pañca sangsara” (Bagus Dyarsa, 12b).
Terjemahannya:
‘semakin jauh
perjalannannya Bagus Dyarsa melewati sawah. Kebun, tetap saja bulu ayam tersebut
terbang ke tenggara. Hutan yang lebat kemudian turun jurang mendaki tebing yang curam, jurang terjal,
membuat pertjalanannya semakin jauh perjalanannya semakin aneh ditemukannya.
Dia merasa seolah olah bukan manusia.
setelah melewati tujuh buah gunung dia
melihat ada tegal yang sangat luas dan jauh
sekali, di sisi utara, selatan, sisi timur dan di sebelah baratnya tiada
menemukan sebatang kayupun yang tumbuh. Yang ada hanyalah hamparan rumput
ilalang yang sangat luas, tiada terlihat
puncak gunung, yang ada hanyalah tanah dan langit sejauh memandang. Disanalah dia menemukan
banyak sekali roh roh yang menderita
kepanasan, ditegal tersebut mereka berkumpul dan menjilat embun yang ada di ujung daun ilalang. Ada lagi atma
bayi yang berkerumun semuanya membawa kawu(batok Kelapa). ada lagi atma yang
ditemukannya berteduh dibawah pohon menduri kemudian mereka menangis sengsara,
tubuhnya kelelahan kurus kering, matanya mencorok kedalam, kakinya kecil kecil,
dia menagis sambil memanggil manggil” kenapa begini penderitaan ku, sudah lama
sekali aku menderita dan sakit menahan
lima penderitaan’.
Dari
kutipan tersebut diatas bahwa perjalanan Bagus Dyarsa merupakan suatu
penyadaran diri, dalam perjalanannya Bagus Dyarsa menemukan banyak sekali atman-atman yang menderita kesakitan itu
disebabkan oleh karmanya sendiri. Untuk
itu setiap manusia yang hidup di dunia ini hendaknya selalu berbuat baik atau dharma dalam ajaran agama Hindu. Atman-atman yang sedang menjalani
hukuman tersebut dikarenakan oleh perbuatan semasa hidupnya. Hukum karma phala berlaku adil bagi siapapun,
tidak memandang siapa si pelaku, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil
yang baik pula begitu sebaliknya perbuatan buruk akan mendapatkan hasil yang
buruk pula. Bhatara Guru mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat baik dalam
hidup ini, karena perbuatan yang baik dapat mengantarkan manusia menuju
pembebasan. Pernyataan tersebut sangat relevan dengan sloka yang terdapat pada Rgveda V.51.15 sebagai berikut:
“Svasti patham anu carema
surya-candramasav iva.
punar dadataghnata
janata sam gamemahi”.
Terjemahannya:
‘Mari kita terus
berjalan pada jalan yang benar seperti jalannya matahari dan bulan. Kita
seharusnya bergaul dengan orang-orang yang bermurah hati yang puas (dengan diri
sendiri) dan yang berpengetahuan tinggi’
Dalam
menjalani kehidupan hendaknya seseorang dalam berprilaku tidak terlepas dari
ajaran-ajaran agama, seperti halnya matahari dan bulan yang selalu mengikuti
hukum alam dan selalu berjalan pada kebenarannya, demikian halnya dengan
manusia akan menemui kehancurannya apabila mengabaikan ajaran dharma (kebaikan) dan menentang hukum
alam tersebut.
Eksistensi
ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa selanjutnya terdapat pada wejangan-wejangan
yang diberikan Bhatara Guru kepada Bagus
Dyarsa. Bhatara Guru mengajarkan umatnya untuk tidak dibutakan oleh kesenagan
yang bersifat duniawi seperti misalnya berjudi yang sering dilakukan oleh Bagus Dyarsa. Selain itu Bhatara Guru
juga memberikan banyak konsep tentang kepemimpinan, karena Bagus Dyarsa akan
menjadi raja menggantikan anak Agung raja yang selalu menyusahkan rakyatnya.
Adapun kutipannya sebagai berikut:
“Kai maang iba syap aukud ento gocék iba awanan
ibané molih suka wiryya tur agung ngentinin I gusti agung apan ento musuh iba
kranan ibané rutrut ento ngupayang iba gusti mangabletang panjak”. “Duryan yén
iba suba agung salinin bikasé eda nganggon daya piranti mamotoh iba suud to
makada kasalimur sagatin-gatin gawéné katungkul bān tuyuh rāga wisaya makejang
eda mangraketang di manah. Sanghyang sāstra gulik punduh-punduh resepang di
manah susupang teked dyatihapan to tungked kukuh krana pageh dadi agung sāstra
panyuluh idhepé apang eda pati puug manyalanang kapatutan uger-ugerin bān
sāstra. Tingkah panjaké dabdabang malu eda mbahang gambur alaksananya pariksain
eda iju-iju ngugu galih-galihin to malu apang eda kadunga éwér munyin nyané malu panut atepang kén laku
lampah ento inger apang pedas. Yén katangkil ditu ngalih unduk di tebeng
panjaké eda teka éncong mudalin wangsa-wangsanen ditu panjaké mahatur-hatur
trabang eda nyalumurang né salah tekén né patut to glik inger di manah mani
puan dong karwan. Mamunyi purukin eda sigug maperemin panjak pipitang teked ka
hati tidong bān kamben saput makada panjaké lulut kapatutan pangrawosé mangda
panjaké anut yan mangrasa kaungkulan bān kapatutan pangrasa. Panjaké eda
mambahang lucu lampah pwaranya sama bédané ya gisilyaté apang patut munyi seken
apang alus tata tété ujar ajér sya karana apang patut apang yatna jeroning
manah apang eda banyak acluwag. Yén ada prebekel mātur-atur eda ngaramangang
apang seken bān manampi tatasang ukud-ukud eda mambahang salah surup simpen
ingetang di manah mata bibih cidra ditu yén ada lāwan tong ada ya manguda twara
karuan. Tanding-tanding kalegané ditu kén sakit panjaké eda ngulaang demen hati
asing makrana sungsut ento pikpik eda manglur panjaké sampi samanyapa ngangon
nya anak agung yan patut baan ngangonang ya mokoh tanduké rénggah. Lanying
tajep nyén bani ngejuk ngres ya anaké yén nyapa yah etuh aking sing jalan
padang atub kema laku nyama nyunuk salah tindakan ka taban apa sih anggon
manebus ngenah belogé ngangonang kakedékin bān pisaga. Rāga wisané eda ngulur
eda mangretang eda twara mandemenin apang eda kapilug katenger bān anak liyu
bakat dadi undukinya lamun banya ngelah musuh ento anggon nyau payanadwang ebé
di tukad. Awake daropon belog utun manyaplok baréné twara tawang misi pancing
tulus payu matambus tong ingetang apang kukuh eda engsap tekén sāstra ida gede
sai pundut ajak mangrawosang sāstra mangdé purnna maning jagat. Apan tatelu
dadi pangulu yan umungguing sāstra Sanghyang Ongkāra kapuji ento dadi pangulu
para mas iwānggan ipun yan ring nāgara sang Natha Saddhasiwa anggan ipun yan ring gunung sang brāhmana apan to rumaga
siwa. To eda embahang belas né tatelu dadi tri purusa sakala niskala becik” Bagus
Dyarsa nuun manyumbah-nyumbah mangatur sandikan Ida Bhathara sapa wacana Hyang
Guru sāmpun sumusuping manah tutug ring dwa dasa guna” (Bagus Dyarsa, 21a-23a)
Terjemahannya:
‘Aku akan
memberimu ayam satu ekor, lalu adulah ayam itu sehingga kamu akan memperoleh
kemenangan dan kesuksesan kamu akan menjadi raja menggantikan I Gusti Agung sebab itu adalah musuhmu sebab dia adalah
raja yang suka sekali membuat penderitaan rakyat. Nanti kelak jika kamu sudah
menjadi raja maka rubahlah kebiasaan burukmu janganlah memakai alasan untuk berjudi.
giatlah untuk bekerja janganlagi kamu dibutakan oleh kesenangan dirimu sendiri.
Pelajarilah kecap sastra kumpullkanlah
lalu resapiklah dalam hatimu itu adalah
pedoman yang sangat kuat sebab menjadi
seorang raja yang kuat sastralah sebagai tamengmu. Dan sebagai sinar menerangi
jalanmu. Janganlah kamu merasa ragu untuk menjalankan kebenaran dengan
berdasarkan atas sastra dharma. Segala perbuatan rakyatmu perhatikan jangan
mereka di kasi berbuat sembarangan, periksalah
jangan kamu tergesa gesa
meyakininya, hendaknya kamu pertimbangkan dengan matang supaya jangan sampai terlanjur, segala
perkataannya hendaknya kamu resapi supaya sesuai antara perkataan dengan
perbuatannya. Jika kamu nanti didatangi
disanalah kamu mencari pengalaman jangan kamu langsung mengusirnya, perhatikanlah
kesejahtraan rakyatmu. disana rakyatmu akan menghadap dengan bahasa yang benar,
terapkanlah agar benar benar baik. janganlah kamu membela yang benar dan yang
salah itu yng patut kamu pikirkan dihati
nanti kamui akan mengerti. Belajar untuk mengeluarkan kata kata,
janganlah kamu berkata kasar terhadap
rakyat, dari dalam hatimu sampai pada yang keluar dari mulutmu. Jangan hanya manis
dibungkus oleh kata kata. Yang nanti menyebabkan rakyatmu akan cinta padamu.
perkataanmu supaya meyakinkan sehingga rakuyatmu merasa di ayomi oleh
kebenaran. Rakyatmu janganlah dibiarkan seenaknya antara perjalanan dan tujuannya, mampu
menjalankan kedudukan yang sama antara rakyatmu, membedakan yang salah dan
benar, itulah yang patut diterapkan agar rakyatmu bisa berbicara yang
benar dan serius serta berbahasa yang halus dan sopan. berhati
hatilah supaya jangan timbul
kecerobohan. Jika ada prebekel yang melapor janganlah kamu tiada
menghiraukannya. Supaya benar benar baik kamu terima, tanyakanlah supaya jelas
satu persatu. Janganlah kamu salah terima
simpan dan ingatlah selalu, mata bibir dan bahasamu disana jika ada
musuh maka semuanya tiada berani melawanmu. Buatlah agar rakyat bahagia dan
perhatikan segala penderitaan rakyatmu jangan kamu mencari kesenanganmu
sendiri, segala yang membuatmu sedih hilangkanlah
sedikit demi sedikit. Sama halnya memelihara kerbau, jika kamu berhasil memberi
mereka makan maka dia akan menjadi besar dan kuat serta mempunyai tanduk yang
kuat dan runcing, maka siapakah yang akan berani untuk menangkapnya. Pasti yang
menangkapnya akan takut. jika ada sapimu yang menuju tempat kering dan tandus
giringlah mereka ke lading yang subur penuh dengan rumput hijau, jika kamu
membiarkannya maka akan terlihat kamu
sangat bodoh untuk menggembala sapi dan di tertawakan oleh orang lain.
segala pikiranmu yang kotor buanglah jangan kamu biarkan dan jangan kamu
kurangi, tetapi kendalikanlah supaya jangan sampai membuat yang lain menderita.
sebab orang banyak akan gampang sekali untuk memperhatikanmu seorang, jika kamu
memiliki musuh itulah yang kamu pakai untuk menangkap sama seperti menjaring
ikan di sungai, orang yang ceroboh lalu memakan umpan tidak tahu berisi pancing sudah tentu kamu
akan di bakar. ingatlah dengan baik, jangan lupa denga sastra. Ida Gede selalu kamu bawa ajaklah membahas sastra supaya mencerahkan jagat sebab ada tiga yang
menjadi pemucuk yang ada di sastra Sang Hyang Ongkara yang utama, itulah yang
menjadi ujung tombak parama siwa beliau, jika pada Negara sang natha sada siwa perwujudan beliau, jika
di gunung sang brahmana sebab beliau
perwujudan siwa. itu janganlah sampai
terpisah ketiga hal itu menjadi Tri
Purusa sekala niskala supaya baik. Sang Bagus Dyarsa menyembah dan berkata hamba akan mengikuti segala
perintahmu. Segala perkataan Bhatara Guru setelah selesai menerima wejangan dan
meresapi dalam hatinya.selesai meresapi ajaran dasa guna’.
Dari kutipan diatas daapat diartikan bahwa, Bhatara
Guru mengajarkan kepada umatnya untuk tidak mengisi kesenangan semata seperti
misalnya berjudi yang sering dilakukan oleh Bagus Dyarsa, untuk memimpin suatu
kerajaan Bagus Dyarsa harus meninggalakan kesenangannya berjudi karena
kesenangan merupakan bagian dari keterikatan, apabila manusia masih merasa
senang maka disitu manusia masih terikat dengan keduniawian sehingga sulit
untuk mengakhiri rengkarnasi atau kelahiran berulang. Pernyataan tersebut
sangat relevan dengan sloka yang terdapat dalam Manawa Dharma Sastra dalam Pudja (1973: 493) seperti kutipan
berikut:
“Dyutam
samahvyam caiva
Raja
rastrannivarayet,
Rajyanta karana
vetau
Dvau dosau
prthivi ksitam”
Terjemahannya:
‘Perjudian dan
bertaruh supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya; kedua hal
itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota’.
Judi merupakan sesuatu yang memiliki nilai
kepuasan bagi penikmatnya, dengan berjudi seseorang dapat melupakan segalanya
yang menjadi kewajibannya, dengan berjudi seseorang akan merasa puas dan
senang, kesenangan merupakan sebuah keterikatan dalam hidup ini, seseorang
hendaknya dapat mengendalikan dirinya untuk tidak mengikuti kesenangan
tersebut, karena tidak selamanya seseorang akan merasa senang dalam menjalani
hidup. untuk dapat mencapai tujuan hidup dalam agama Hindu seseorang hendaknya
dapat mengendalikan dirinya dari kesenangan duniawi. Jiwa manusia sesungguhnya
berasal dari Tuhan sehingga untuk dapat mencapinya terdapat berbagai cara.
Adapun jalan yang dianjurkan untuk dapat mencapai Tuhan itu sendiri terdapat
dalam ajaran catur marga yoga dalam agama Hindu. Catur marga yoga berasal dari kata catur yang berarti empat, marga berarti jalan dan yoga berarti penyatuan dengan Tuhan,
jadi catur marga yoga merupakan empat jalan mencapai moksa.
Kutipan diatas lebih banyak menerangkan tentang
konsep kepemimpinan, Bhatara Guru memberikan banyak wejangan kepada Bagus Dyarsa yang akan menjadi raja
menggantikan anak Agung yang sewenang-wenang terhadap kekuasaanya menjadi
seorang raja. Wejangan-wejangan yang diberikan Bhatara Guru kepada Bagus Dyarsa sangat penting untuk
diketahui oleh para pemimpin negara pada masa kini, seorang pemimpin harus
mampu mengayomi rakyatnya tidak sewenang-wenang terhadap kekuasaannya dan mampu
memberikan perlindungan kepada rakyatnya tidak menyengsarakan rakyatnya. Adapun
cara untuk menjadi pemimpin yang baik berdasarkan teks dalam penelitian ini
yaitu seorang pemimpin harus mau belajar, sehingga dengan belajar maka seorang
memiliki pengetahuan yang luas yang akan digunakan untuk menata suatu negara.
Tameng yang paling kuat adalah sastra sebagai perlindungan, seorang pepmimpin
yang memiliki pengetahuan yang luas dan berdasarkan sastra maka akan mampu
menlindungi negaranya dari serangan-serangan yang akan merugikan negara yang
dipimpinnya.
Bhatara Guru mengandaikan seorang pemimpin layaknya
seorang pengembala sapi, seorang pengembala akan terlihat sangat bodoh apabila
membiarkan sapi-sapi peliharannya menuju lahan tandus dan kering, seorang
pengembala yang baik akan menggiring sapi-sapi peliharannya menuju ladang yang
hijau, sehingga dengan demikian sapi-sapi tersebut akan cepat besar dan sangat
kuat sehingga tidak akan ada yang berani untuk menggangunya. Demikian halnya
dengan seorang pemimpin, seorang pemimpin akan terlihat bodoh apabila
menyengsarakan rakyatnya dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang sangat
merugikan rakyatnya sehingga akan ditertawakan oleh negara-negara tetangga dan
dengan mudah untuk menaklukkan negara tersebut, sebaliknya seorang pemimpin
yang baik apabila mampu memberikan kesejahtraan kepada rakyatnya, dengan
kesejahteraan maka kemajuan akan semakin berkembang dan menjadi negara yang
kuat sehingga tidak akan ada yang berani untuk menyerang. Pernyataan tersebut
sangat relevan dengan sloka yang terdapat pada Atharvaveda XII.3.10
bahwa kesejahteraan warga negara menguatkan bangsa, seperti kutipan berikut:
“Uttaram rastram
prajaya
uttara vat”.
Terjemahannya:
‘Sebuah bangsa
yang kuat menjadi lebih kuat bila kesejahtraan warga negaranya meningkat’
(Titib, 1996: 488)
4.3. Konsep-konsep Ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa
Sesuai dengan teori yang diajukan dalam penelitian
ini yaitu teori simbol bahwa simbol adalah suatu hal atau keadaan yang
merupakan pemahaman. khususnya untuk menggambarkan sesuatu yang immaterial,
abstrak, suatu ide, kualitas, tanda-tanda suatu objek, proses dan lain-lain. Sehingga
dalam penelitian ini sangat penting menggunakan teori simbol yang akan
digunakan membahas lebih dalam kosep-konsep yang abstrak dalam objek penelitian
teks Tutur Bagus Dyarsa sehingga
dapat dipahami oleh masyarakat.
Komaruddin (1984) (dalam Poniman, 2012: 64-65)
menyatakan bahwa konsep berasal dari bahasa Latin yaitu “conceptus” yang berarti tangkapan. Dari segi subyektif adalah suatu
kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Dari segi obyektif adalah sesuatu
yang ditangkap oleh kegiatan intelek. Hasil dari tangkapan akal manusia itu
disebut konsep. Di dalam konsep akan terwakili tanda-tanda umum dari suatu
benda atau hal. Jika konsep itu dinyatakan dalam kata-kata, maka konsep itu
akan menjadi term. Konsep kadang-kadang disebut pula sebagai idea, yakni
lukisan benda atau hal yang bersifat umum yang terdapat dalam intelek (Poniman,
2012: 64-65). Aristoteles dalam “The
Classical Theory of Concepts” menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun
utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia.
Konsep merupakan abstraksi atau idea tau gambaran mental, yang dinyatakan dalam
suatu kata atau simbol. Selain itu konsep juga diartiakan sebagai sesuatu yang
memiliki komponen, unsur, ciri-ciri yang dapat diberi nama. Adapun konsep-konsep
ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
4.3.1
Konsep Tattwa dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Wojowasito dalam Ariwidayani (2013:
19) pada kamus kawi Jawa Kuno-Indonesia bahwa tattwa diartikan sebagai kebenaran, hakekat, riwayat dan cerita. Menurut
Rudia dalam Dwipayanti (2012: 78) menyatakan bahwa tattwa adalah inti atau kebenaran dasar ajaran agama.
Nyoman
Sukadana (wawancara, 07/04/2015) bahwa tattwa
merupakan kebenaran dalam agama Hindu yang penting untuk diketahui.
Sumber-sumber ajaran tattwa
adalah pustaka-pustaka Hindu yang merupakan sumber atau asal ajaran kebenaran
atau kenyataan. Tattwa adalah ilmu
filsafat. Yang menjadi bagian terpenting dalam tattwa adalah ajaran Panca
Sradha yaitu lima dasar kepercayaan dan keyakinan umat Hindu. Tanpa
menghayati dan memahami Panca Sradha
maka umat Hindu tidak memiliki keyakinan yang kuat. Lima dasar keyakinan agama
Hindu yang disebut Panca Sradha yaitu
(1) percaya dengan adanya Brahman
(Tuhan), (2) percaya dengan adanya atman yang
memberi kehidupan bagi semua mahluk, (3) percaya dengan adanya Karma Phala yaitu baik buruk suatu
perbuatan yang akan menentukan kehidupan selanjutnya, (4) percaya dengan adanya
punarbawa atau kelahiran berulang,
yang dipengaruhi oleh karma phala, (5)
percaya dengan adanya moksa yaitu
tujuan akhir dari agama Hindu menyatunya atman
dengan Brahman suatu kedamaian abadi.
Tattwa
secara
etimologi berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kebenaran, kenyataan sebenarnya,
sesungguhnya, sungguh-sungguh, hakekat hidup. Menurut Watra dalam Poniman
(2012: 67) menyatakan tattwa merupakan
suatu kebenaran, perlu diketahui bahwa antara tattwa agama dengan kebenaran ilmiah berbeda, karena kebenaran agama
terkait religiusitas. Ia menyimpulkan pengertian tattwa yaitu merupakan kebenaran yang bersifat abstrak (niskala) dan kongkret (skala) yang dapat dibuktikan secara
rasional dan nyata. Selanjutnya Pudja dkk, dalam Ariwidayani (2013: 19)
menyatakan bahwa istilah tattwa
berasal dari bahasa Sanskerta yang dalam statusnya sebagai noun-masculine mengandung maksud “azas-azas atau intisari kebenaran
sejati.
Berdasarkan konsep tattwa diatas bahwa tattwa merupakan intisari kebenaran sejati, dan hubungannya dengan
penelitian ini adalah bagaimana manusia untuk menemukan kebenaran sejati
sehingga memperoleh suatu kesempurnaan hidup dan memperoleh suatu kesadaran
tentang jati diri dan tujuan hidup sebagai manusia. Konsep ajaran tattwa dalam teks Tutur Bagus Dyarsa bhawa setiap manusia harus mampu melepaskan
kesenangan yang bersifat duniawi untuk dapat mencapai suatu kelepasan. Manusia
harus mampu menarik setiap indera dari kesenangannya, seperti misalnya indera
pengeliatan yang sangat senang melihat sesuatu yang indah, tetapi benci dengan
sesuatu yang buruk atau jelek, selain itu hukum karma phala sangat berlaku untuk menentukan kehidupan selanjutnya, karma phala merupakan hasil dari tingkah
laku manusia semasa hidupnya. Perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang
baik pula sedangkan perbuatan yang buruk akan mendapatkan hasil yang buruk.
Untuk itu manusia dituntun untuk selalu berbuat baik untuk dapat mengantarkan
jiwa menuju pembebasan. Adapun kutipannya sebagai berikut:
“swargga putih hanéng purwwa merunya atumpang sangā.
Atepnya salaka putih alas laléyan salaka maulap-ulap sarwa putih Iswara pada
iku kahyangan Iswara iku ulian sang tapa brata” (, Bagus Dyarsa, 8a)
Terjemahannya:
‘ada sorga putih
yang dilihatnya yang berada di timur, berisi meru tingkat sembilan, beratapkan
selaka berwarna putih, beralaskan permadani selaka berwarna putih, serta berisi
ulap ulap berwarna putih, itulah istana jagat Iswara, sebagai istanannya Dewa
Iswara, sebagai wujud keteguhan sang tapa
melaksanakan tapa brata’.
Dari kutipan diatas terlihat bahwa
kebenaran Tuhan Yang Maha Esa dapat diraksakan melalui Tapa. Tapa brata
merupakan pengendalian diri terutama mengendalikan pikiran, dengan
terkendailinya pikiran manusaia maka perilaku maupun ucapan akan ikut terkendali
dan kedamaian akan terwujud. Selnjutnya konsep tapa juga dijelaskan dalam Rgveda
dalam Titib (1996: 449) yang dapat
dikutip sebagai berikut:
“Ataptatanûr
na tadāmo ašnute”.
Terjemahannya:
‘Orang yang
tanpa menjalankan tapa (pengekangan
diri) yang keras, tidak dapat menyadari Tuhan Yang Maha Esa’
(Rgveda XIX.83.1)
Dengan melaksanakan tapa (pengendalian diri) maka seseorang
akan mampu untuk menyadari keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan menyadari
sepenuhnya tentang keberadaan Tuhan maka seseorang akan selalu berbuat kebikan
dalam hidup, sehingga hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam lingkungan akan harmonis. Konsep tattwa selanjunta tedapat pada kutipan
berikut:
“hana ta malih kadulu ring dhaksina swargga mirah
mérunya atumpang sangā. Atep laléyanya mirah luung téjanya dumilah brahma loka
arané Ikahyangan Hyang Brāhma iku hulian sang legéng kayun purusa ring smara
laga” (Bagus Dyarsa, 8a)
Terjemahannya:
‘Ada lagi yang
terlihat di sebelah selatan, sorga mirah yang memiliki meru tingkat sembilan, atap
dan alasnya berwarna merah, sangatlah bagus bersinar, Brahma loka namanya,
sebagai istananya Sang Hyang Brahma, itu dikarenakan orang yang memiliki
keteguhan hati, berani dalam peperangan’.
Kutipan tersebut menyatakan bahwa
setiap manusia haruslah memiliki keteguhan hati supaya dalam menghadapi suatu
masalah tidak mengalami keraguan dalam hati, berani dalam peprangan yang
dimaksud adalah manusia setiap harinya mengalami peperangan dalam dirinya,
menentukan suatu pilihan merupakan contoh dari peperangan dalam diri, untuk itu
manusia harus memiliki keteguhan hati dalam menentukan plihannya. Konsep tattwa selanjutnya terdapat pada kutipan
berikut:
“hana ta malih kadulu swargga kuning ring pascima
mérunya tumpang sangā. Atep laléyanya mās catur téjanya dumilah ring Buddha
loka arané IPuran Mahādéwa iku hulian sang yasa danguh apnanya sarwwa drewéné”
(Bagus Dyarsa, 8a-8b)
Terjemahnannya
‘ada lagi yang
terlihat swarga kuning, di sebelah barat merunya tingkat sembilan, atap serta
alasnya berwarna keemasan bersinar
terang, di Budha loka namanya itu, sebagai Istananya Sang Hyang Mahadewa, itu
disebabkan orang yang memiliki keinginan yang kuat dan tidak terikat akan semua
barang miliknya’.
Kekayan
merupakan suatu yang berbentuk materi yang mampu memberikan kepuasan dalam diri
seseorang, tetapi keterikatan dengan hal tersebut dapat menyebabkan seseorang
akan lahir kembali kedunia. Manusia hendaknya memiliki keinginan yang kuat agar
dapat mencapai kedamaian abadi. Konsep tattwa
selanjutnya dapat dipaparkan dalam kutipan berikut:
“hana ta malih kadulu swargga ireng ring Uttara
merunya atumpang sangā. Tambak laléyanya wesi halus ring Wisnu bhawana
kahyangan Bhathara ari ulihan sang akaryya hayu sura suréng ring ayun bhakti
mrihaken ingucap” (Bagus Dyarsa, 8b)
Terjemahannya:
‘Ada lagi yang
dilihatnya sorga hitam, disebelah utara merunya tingkat 9, beratapkan dan
beralaskan besi halus di Wisnu loka sebagai istananya Sang Hyang Ari (Wisnu),
sebagi hasil dari seseorang yang giat bekerja berbuat dharma/kebajikan, dan
selalu bhakti menepati apa yang telah
diucapkannya’.
Untuk
dapat menjalankan suatu kehidupan manusia harus bekerja, tanpa bekerja roda
kehidupan ini tidak akan berputar, demikian halnya dengan Tuhan dalam mencipta,
memelihara maupun melebur Tuhan juga melakukan suatu pekerjaan, supaya
kehidupan ini seimbang. Selain bekerja, bhakti
kepada Tuhan merupakan hal yang wajib untuk mendapatkan anugrahnya. Dalam Bhagawad Gita. III. 4 juga dijelaskan
mengenai karma, seperti kutipan
berikut:
“Na karmanam anarambhan
Naiskarmyam purusa snute
Na ca samnyasad eva
Siddhim samadhigacchati”
Terjemahannya:
‘Orang tidak
akan mencapai kebebasan karena diam tiada bekerja
Juga ia tak akan
mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja’
Melakukan
suatu pekerjaan merupakan hal yang wajib dalam menjalani kehidupan ini karena
pada dasarnya perlu makanan untu bertahan hidup, mustahil apabila seseorang
yang hanya berdiam saja bisa mememnuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,
pernyataan tersebut sangat di dukung oleh sloka dalam Bhagawad Gita. III. 14, dijeaskan bahwa hidup adalah tindakan dan
kerja, seperti kutipan berikut:
“Annad bhavati bhutani
Parjanyad annasambhavah
Yajnah bhavati parjanyo
Yajnah karma samudhavah”
Terjemahannya:
‘Dari makanan
mahluk menjelma
Dari hujan
lahirlah makanan
Dari yadnya munculah hujan
Dan yadnya lahir dari pekerjaan’
Demikianlah
sloka dalam kitab Bhagawad Gita menjelaskan mengenai karma, bahwa hidup adalah tindakan dan kerja untuk dapat memutar
roda kehidupan ini. Konsep tattwa selanjutnya terdapat pada kutipan
berikut:
“hana ta malih kadulu swargga biru Ersanya miru
parunggu dumilah. Tumpang sangā atepnya parunggu tambak laléyané parunggu anyar
sinangling kiri sakila mayu kahyangan Bhathāra Sambu ulihaning sang akaryya
hami lepasing laluhur” (Bagus Dyarsa, 8b)
Terjemahannya:
‘Ada lagi yang
terlihat swarga Biru, di sebelah
tenggara meru dari perunggu, yang bersinar, tingkat sembilan, atapnya perunggu
dan beralaskan perunggu halus yang dihiasi sakila manyu, kahyanga Bhatara Sambu
karena orang yang bekerja tidak pernah lupa dengan leluhur’.
Leluhur
merupakan para pendahulu yang harus selalu di ingat supaya mendapatkan suatu
perlindungan darinya. Berbakti kepada leluhur merupakan wujdud bhakti kepada Tuhan. Dalam agama Hindu
tuhan memiliki sifat berada dimana-mana, untuk itu memuja leluhur adalah memuja
Tuhan itu sendiri. Selain kitipan diatas masih banyak konsep tattwa yang terdapat dalam ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa. Dalam kehidupan ini
seseorang dituntut memiliki suatu keteguhan hati, dan manusia harus selalu
bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Setia terhadap perkatan
serta mengindari kebimbangan. Seseorang yang mampu untuk melakukan tapa brata
dan memahami hakekat kelepasan itu sendiri maka untuk menyatu dengan Tuhan
sangat mungkin. Kutipan selanjutnya tentang konsep tattwa ajaran Siwaistis
dalam teks Tutur Bagus Dyarsa sebagai
berikut:
“malih Lor Wétan prenah ipun méru tumpang solas
agung abhra sinang bang ing mirah rahina wengi humurub gopura manik kumenyar
tambak laléyanya dumilah. Kahyangan Sang Saraswati iku ulihan sang prajnyan brata
widhya wruhing aji bisahang ri petak idung” (Bagus Dyarsa, 9b)
Terjemahannya:
‘ada sebuah
gapura manik yang bersinar dengan beralaskan permata mulia, Kahyangan Dewi Saraswati
namanya, sebagai tujuan sang pradnyan, melaksanakan Brata sastra, mengetahui tentang
segala ilmu pengetahuan’.
Ilmu
pengetahuan sangat penting untuk dimiliki setiap orang, dengan ilmu pengetahuan
maka akan berpengaruh terhadap prilaku seseorang. Ilmu pengetahuan juga
dikatakan sebagai senjata untuk membedah setiap persoalan dalam hidup ini
sehingga untuk mejalani kehidupan akan menjadi lebih mudah. Dewi Saraswati
merupakan lambang dari ilmu pengetahuan dalam agama Hindu. Pengetahuan tentang
kebenaran agama sangat perlu untuk dipelajari, sehingga dengan mengetahui
kebenaran agama maka pikiran seseorang akan terkendali, sehingga perilaku
maupun ucapan juga akan terkendali.
Untuk
dapat mencapai kelepasan yaitu menyatunya atman
dengan Brahman seseorang
hendaknya memegang teguh ajaran kebenaran, dan semua keterikatan dengan
keduniawian harus dilepaskan. Memiliki rasa kasih sayang yang tak terikat.
Kasih sayang yang tak terikat yang dimaksud adalah mengaggap semuanya sama
tanpa adanya perbedaan, semua yang ada ini akan kembali keasalnya termasuk diri
kita. contohnya tidak terikat dengan kekayaan yang berlimpah, sehingga mampu
untuk berderma kepada sesama yang lebih membutuhkan dengan rasa tulus iklas.
4.3.2
Konsep Etika dalam Teks Tutur Bagus
Dyarsa
Etika berasal dari bahasa Yunani
yaitu ethis yang berarti kesusialaan
lebih tepatnya to ethos yang berarti
kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan. Etika ialah pengetahuan tentang
kesusilaan, kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan
untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam etika akan terdapat ajaran-ajaran
tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk (Sura dkk, 2002: 32). Pengertian
etika lebih jauh diuraikan juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi tahun 1988 (Bertens, 2004) Kamus
tersebut membedakan tiga makna mengenai etika yaitu:
a. Ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).
b. Kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
c. Nilai
mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan dalam masyarakat.
Dengan
urutan yang dibalik, pengertian etika
itu masih tetap dibedakan dalam tiga makna (Bertens K, 2004):
a. Nilai-nilai
dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam hal ini etika dirumuskan
sebagai sistem nilai yang khas
berfungsi baik dalam kehidupan manusia perseorangan maupun pada tarap sosial.
b. Kumpulan
asas atau nilai moral, dalam hal ini sebagai kode etik
c. Ilmu
tentang yang baik atau buruk, diartikan sebagai filsafat moral
Berdasarkan
pengertian tersebut diatas etika merupakan suatu ajaran tentang baik-buruknya
perilaku seseorang, terkait dengan penelitian ini konsep etika dimaksudkan agar
dapat mengantar manusia bagaimana bertingkah laku sesuai dengan ajaran etika.
Dalam teks Tutur Bagus Dyarsa
terkandung berbagai konsep etika, adapun konsep etika yang dimaksud adalah
Bagus Dyarsa adalah seorang yang baik hati perlu untuk dijadikan contoh dalam
menjalani kehidupan ini, Bagus Dyarsa memiliki konsep bahwa semua manusia itu
adalah sama tidak ada manusia yang hina, konsep pemikiran Bagus Dyarsa
merupakan konsep pemikiran yang perlu untuk ditiru sehingga tidak terjadi suatu
diskriminasi suku antar ras dan agama. Ketika seorang pengemis datang untuk
meminta sisa makanan kepada Bagus Dyarsa, Bagus Dyarsa mengajaknya makan bersama
meskipun pengemis itu memiliki keaadan fisik yang bau dan jorok, tetapi Bagus
Dyarsa mampu untuk mengajaknya makan bersama. Adapun kutipannya sebagai
berikut:
“Gustin tityang Dewa Ratu tityang manunas lungsuran
basang tityangé bes layah”. Bagus Dyarsa mamunyi alus “mai ké menékan” bareng
madaar kaki I tuwa lingña alus “tityang mindah Déwa ratu tityang manunas
lungsuran” Bagus Dyarsa masahut “Nah kaki mai menékan bareng kén tityang
madaar”. “Apan tityang kaki saja tanruh tan hina wang wangsā tanruh ring sor
pangālewih lagut kakiné gudgud tuwa bungkut bwin berung kémad saja baan tityang
mambahang kaki manglungsur” tumuli raris kajemak kapradi kājak menékan. “Tabé
tityang Gusti Déwa Ratu tityang janma jelé” Bagus Dyarsa nyautin “manegak kaki
ditu tumuli bareng manyekul”(Bagus Dyarsa, 3b-4a)
Terjemahannya:
‘Wahai Gusti,
berikanlah saya makanan, saya sangat lapar. Bagus Dyarsa lalu berkata duduklah
disini kek, bareng-bareng makan dengan saya, kakek itu berkata halus, saya
tidak berani tuan saya hanya meminta sisa nasi tuan, Bagus Dyarsa berkata,
wahai kakek, kemarilah duduklah diatas dan mari makan bersama saya. Apakah yang
menyebabkan kakek ragu tidak ada manusia yang hina, tidak ada yang dibawah,
walaupun kakek orang tua yang sudah bongkok dan banyak borok, saya merasa
berdosa apabila memberikan kakek sisa makanan dari saya. Kemudian kakek itu di
papahnya kemudian diajak keatas, maafkanlah kakek wahai anak muda kakek adalah
orang hina. Bagus diharsa berkata, duduklah disana makanlah bersama saya’.
Dari
kutipan diatas bahwa Bagus Dyarsa
merupakan seorang yang sangat menghormati orang tua, sesuai ajaran etika bahwa
seseorang yang berbakti kepada orang yang lebih tua dianggap seorang yang baik
dan memiliki etika dan hal tersebut merupakan suatu bentuk ajaran dharma dalam
agama Hindu. Kehidupan ini dipandang sebagi siklus perputaran, hukum karma mengatur segala proses putaran
tersebut. Semua yang ada tiada yang abadi, seperti kutipan diatas bahwa Bagus
Dyarsa sebagai orang yang lebih muda dari pengemis itu, dan suatu saat Bagus Dyarsa akan menjadi sosok yang tua
seperti pengemis tersebut. Hukum karma
akan berlaku adil bagi pelaku, Bagus
Dyarsa akan mendapatkan pengormatan nantinya ketika ia tua sesuai dengan karma yang ia lakukan.
Dari
kutipan diatas dapat dijadikan pedoman dalam hidup bahwa menghormati orang yang
lebih tua sangat penting, karena tidak selamanya manusia itu muda. Semua akan
mengalami proses penuaan sesuai hukum alam yang mengatur. Untuk itu masa muda
adalah waktu yang tepat untuk menghormati orang yang lebih tua sehingga
nantinya seseorang tersebut akan mendapatkan penghormatan ketika ia tua.
Baik
dan buruk suatu perbuatan akan berpengaruh terhadap perjalanan atman nantinya ketika seseorang
meninggalakan dunia ini, seseorang yang dalam hudupnya selalu berbuat buruk
atau adharma akan mempengaruhi ataman untuk menjelma kembali keduania
dengan mengambil tubuh yang berbeda sesuai karma
yang dilakukannya terdahulu. Sehingga untuk mengakhiri siklus kelahiran
berulang-ulang seseorang harus berpegang teguh dengan ajaran dharma. Kedamaian abadi akan terwujud
apabila dalam kehidupan ini selalu bebuat kebaiakan. Adapun pantangan pantangan
seseorang agar mencapai suatu kedamaian abadi dalam teks Tutur Bagus Dyarsa dapat diuraikan dalam kutipan berikut:
“Ada atma to ngenah magantung di carang kepuhé batan
nyané misi api to atma janma dudu misuna mangaduh-aduh ada buin ngenah atma
kepung céléng muwah asu kagutgut makuyayangan matatu ngeling mangengkak. Ento
atma tan hina wang tutur tingkah dadi janma tang pangétang lingning aji satata
mungpang laku padha-padha tekén pasu ada malih katon atma pinacoking paksi
agung muñcar getihé sumirat tatuné dekdek ngurañjang. Ento atma manusané
punggung mangulahang awak apang suka padidiin ada atma lén rawuh pagrubug padha
mahawug ngambekang kabrahmantyané kéné phalanya katepuk malih katah katon atma
malablab mungguwing jambangan. Mangruduk malwab kedas kedus watek yama bala
padha girang manujahin baan suligi buluh pajerit padha mangaduh ento atmaning
dursila ambeknya paka dahaku merih tekén gelah anak kirang taros lewih krodha”
( Bagus Dyarsa, 13a-13b).
Terjemahannya:
‘ada lagi atma yang
digantung di pohon kepuh, dibawahnya ada api. itu adalah atma yang suka berbohong dan sering mempitnah, menjerit jerit, ada
lagi atma yang dikejar kejar babi, digigit anjing dipenuhi luka menanis
bergulingan, itu adalah atma dari orang yang tiada meyakini ajaran agama,
selalu berbuat yang bertentangan dengan ajaran agama. ada lagi atma yang dikejar dan di patuk oleh burung besar, keluar darahnya berceceran disana sini, itu adalah atma yang
bodoh yang selalu mencari kesenangannya sendiri. ada lagi atma yang datang tergesa gesa sama sama sedang dilanda
kemarahannya. Pada sata di bumi kini bertemu lagi, banyak lagi yang terlihat
atma yang di rebus di dalam wajan yang
sangat besar yang mendidih dan mengeluarkan asap, para penjaga yama bala
dengan gembiranya menusuk atma tersebut dengan sebilah bambu runcing mereka semuanya menjerit. Itu adalah atma
yang dursila, menginginkan yang bukan miliknya, sombong dan berkata kasar
disertai dengan kemarahan’.
Dalam
perjalanan Bagus Dyarsa menuju tempat
Bhatara Guru, Bagus Dyarsa menemukan atman-atman
yang sedang dihukum karena dosa-dosanya, dihukum karena perbuatannya pada masa
hidupnya. Atman merupakan percikan
terkecil dari Tuhan sehingga tidak mengalami kematian, Bhagawad
Gita. II. 20 dalam Titib (1996: 144) dijelaskan mengenai rahasia atman sebagai berikut:
“Na jayate mriyate va kadacit
Nayam bhutva bahvita van a bhuyah
Ajo nityah sasvato’yam purano
Na Hanyate hanyamane sarir”
Terjemahannya:
‘Jiwa ini tidak
terlahirkan dan tidak pernah binasa. Baik dimasa lampau dan dimasa datang, ini
juga tak akan terjadi. Hanya badan yang rusak (binasa) sedangkan jiwa tidak’.
Jiwa-jiwa
manusia yang bersumber dari Tuhan terlahir akibat pebuatan yang dilakukannya, karma phala mengatur semuanya tidak ada
yang terlepas dari hukum karma
tersebut. Segala yang menimbulkan sebab akan melahirkan akibat. Untuk itu dalam
bertingkahlaku hendaknya berpedoman dengan adanya hukum karma yang mengatur semua ini. Kutipan diatas merupakan
pantangan-pantangan sebagai seorang manusia yang masih menjalani kehidupan di
dunia ini, dari kutipan tersebut dapat dijadikan contoh dalam hidup ini bahwa
seseorang harus selalu jujur dalam hudupnya. Menurut Titib, (1996: 308)
menyatakan bahwa kebenaran/kejujuran (satyam)
merupakan prinsip dasar hudup dan kehidupan. Bila seseorang senantiasa
mengikuti kebenaran, maka hidupnya akan selamat, sejahtera, terhindar dari
bencana, memperoleh kebijaksanaan dan kemuliaan. Kebenaran/kejujuran dapat
dilaksanakan dengan mudah, bila seseorang memiliki keyakinan (Sradha). Dengan keyakinan ini seseorang
akan mantap bertindak dijalan yang benar, menuju yang benar.
Pantangan-pantangan
selanjutnya yaitu manusia pada masa hidupnya tidak diperbolehkan memfitnah
orang lain, karena menebarkan fitnah merupakan tidakan yang tidak benar, tidak
percaya dengan ajaran agama merupakan pantangan selanjutnya sebagai manusia.
seseorang hendaknya mengetahui sastra agama dan yakin terhadap ajarannya. Dengan
memiliki keyakinan yang kuat maka kedamaian abadi dapat tercapai. Menginginkan
sesuatu yang bukan miliknya dianggap perbuatan yang dursila untuk itu pada saat atman
meninggalkan badan kasar ini, perjalanan sang atman akan menderita. Ajaran etika merupakan ajaran tentang baik
dan buruk seseorang dalam bertingkah laku, dalam teks Tutur Bagus Dyarsa juga dijelaskan bahwa manusia hendaknya apabila
memiliki kekayan lebih berderma kepada sesama yang lebih membutuhkan.
Semua
contoh-contoh penderitaan sang atman
tersebut diatas adalah mengajarkan kepada semua manusia dalam menjalani
kehidupan ini agar menghindari perbuatan-perbuatan yang buruk, seseorang
dituntun untuk selalu berbuat dharma
berbuat kebaikan dalam hidup, sehingga kedamian di dunia akan terwujud. Hukum karma phala berlaku adil dan tidak dapat untuk ditawar, sangsinya tegas
bagi pelaku, untuk itu seseorang hendaknya mulai menyadari siapa sebenarnya
diri kita.
4.3.3 Konsep Upacara dalam Teks Tutur
Bagus Dyarsa
Secara
etimologi upacara berasal dari kata “Upa
dan Cara”. Upa yang berarti sekeliling atau menunjukka segala cara, dan kata cara yang berarti aktifitas, jadi yang
dimaksud dengan upacara adalah gerakan disekeliling kehidupan manusia dalam
upaya menghubungkan diri dengan Sang
Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa (Purwita, 1989: 3). sementara itu Poerwadarmita
(1983: 485), menyatakan kata upacara mengandung dua pengertian penting yaitu
upacara adalah tanda-tanda kebesaran, dan upacara dalam arti peralatan (menurut
alat) melakukan suatu perbuatan tertentu menurut adat kebiasaan atau agama.
Selain
itu upacara juga dapat berarti : (1) Kelakuan, tindak tanduk, atau kelakuan
baik dalam pelaksanaan agama Hindu, (2) adat atau suatu praktik dalam
pelaksanaan agama Hindu, dan (3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan
agama Hindu. Antara tattwa, etika dan
upacara ketiganya merupakan tri kerangka dasar agama Hindu yang tidak dapat
dipisahkan. Tattwa menjadi landasan
teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Etika menjadi
landasan etis dari semua perilaku umat
Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusai dan dengan alam
lingkungan. Sedangkan upacara atau acara menjadi landasan prilaku keagamaan,
tradisi dan kebudayaan religius.
Dari
pengertian upacara tersebut diatas maka konsep upacara dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk membahas lebih dalam mengenai hubungan manusia dengan Tuhan
yang terdapat dalam teks Tutur Bagus
Dyarsa yang patut untuk dijadikan pedoman dalam hidup untuk mencapai suatu
keseimbangan antara skala dan niskala. Manusia merupakan ciptaan
Tuhan, jiwa manusia merupakan percikan terkecil dari Tuhan sehingga manusia
dapat hidup. Jika dilihat dari hal tersebut maka manusia bersumber dari Tuhan
maka manusia hendaknya kembali kepada sumber penciptanya itu. Dengan
diberikannya sinar hidup yang menyebabkan manusia itu hidup maka setiap manusia
hendaknya wajib berterima kasih, berbhakti,
dan selalu sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun rasa sujud tersebut dapat
dinyatakan dalam bentuk puja dan puji kebesannya yaitu dengan melakukan bhakti, dengan melakukan tapa brata,
dan mempelajari, menghayati dan mengamalkan setiap ajaran-ajaran agama
khususnya agama Hindu. Dalam teks Tutur Bagus Dyarsa terdapat beberapa
konsep upacara dalam kainnya dengan hubungan manusia dengan Tuhan dapat
dipaparkan dalam kutipan berikut:
“Hyang panyarikan amuwus “kita atma kabéh nira
matakon dén jati suba ké padha kamu makinkin mangulah ayun déwa yadnya bhuta yadnya
mapitra yadnya mambukur madana punya ring jagat maguru kreto padésa”. (Bagus
Dyarsa, 16a)
Terjemahannya:
‘Hyang
penyarikan berkata: wahai kamu atma semuanya. Saya bertanya kepadamu sekarang
sudahkah kamu melaksanakan sesuatu yang menyenangkan para dewa , bhuta yadnya melaksanakan pitra yadnya, mamukur dan berderma
di dunia dan berguru’.
Dalam
agama Hindu terdapat macam-macam yadnya
yang harus dilaksanakan sebagai rasa bhakti
dan rasa berterimakasih kepada Tuhan. Yadnya
merupakan korban suci yang dipersembahakan secara tulus iklas untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan. Dalam kutipan diatas bahwa manusia hendaknya melaksanakan
upacara Dewa Yadnya, sebagai rasa bhakti
kita kepada Tuhan karena telah memberikan sinar hidup bagi semua mahluk di alam
semesta ini. Dewa Yadnya merupakan
upacara yang tulus iklas yang ditujukan kepada para dewa. Selain upacara dewa yadnya, upacara Bhuta yadnya juga perlu untuk dilakukan
sehingga alam semesta ini memperoleh suatu keseimbangan. Selain upacara
tersebut Pitra Yadnya juga sangat penting untuk dilakukan, Pitra Yadnya merupakan
korban suci yang tulus iklas yang ditujukan kepada para leluhur, pada
hakekatnya para leluhur adalah perwujudan pengejawantahan Tuhan, untuk itu
perlu untuk dipuja, leluhur yang telah mencapai moksa dan menyatu dengan Tuhan seseorang dapat meminta karunianya,
sementara leluhur yang berada di alam neraka karena karmanya keturunannya patut untuk mendoakan dan selalu berbuat baik
agar para leluhur terangkat dari kesengsaraan di neraka. Kutipan diatas juga
menjelaskan bahwa upacara mamukur
penting untuk dilakukan, mamukur
merupakan kelanjutan dari upacara ngaben
sebagai bentuk penyucian atman (roh)
fase kedua. Mamukur berasal dari kata
Bhukur, Bhu yang berarti alam dan Ur
berarti atas. Jadi mamukur adalah
penyucian atman agar terlepas dari
badan halusnya (suksam sarira) berupa
sifat-sifat manusia dan keinginan-keinginannya sehingga bisa menyatu dengan
sang pencipta menjadi roh suci (dewa
pitara).
Dari
kutipan diatas bahwa agama Hindu mengajarkan kita untuk selalu berbakti kepada
Tuhan sebagai pencipta, rasa bhakti
seseorang dapat diwujudkan dalam bentuk yadnya
sebagai rasa terima kasih kita kepada Tuhan, yadnya juga sebagai media mendekatkan diri dengan sang pencipta.
Melaksanakan suatu yadnya tidak harus
megah dan mewah, sesuai dengan kemampuan umatnya, Agama Hindu yang bersifat
fleksibel membagi tingkatan yadnya
kedalam tiga tingkatan, yaitu yadnya utama, yadnya madya
dan yadnya nista. Rasa tulus
iklas yang menjadi dasar dalam melakukan setiap upacara yadnya. Mengenai yadnya
merupakan seuatu pekerjaan maka dalam Bhagawad
Gita III. 30 dikutip sebagai berikut:
“Mayi sarvani karmani
Samnyasyadhyatma cetasa
Nirasir nirmano bhatva
Yudhyasva vigata jvarah”
Terjemahannya:
‘Persembahkanlah
segala pekerjaan kepada-Ku dengan memusatkan pikiran kepada-Ku. Lepaskanlah
dirimu dari pamrih dan rasa keakuan serta bagkitlah, engkau akan terbebas dari
pikiran yang susah’ (Titib: 1996: 144).
Dari
kutipan sloka diatas dapat dijelaskan bahwa seseorang dalam melakukan pekerjaan
ataupun beryadnya hendaknya dilandasi
dengan rasa tulus iklas tanpa adanya rasa pamrih, dan melakukan suatu pekerjaan
haruslah dengan berfikir positif sehingga pekerjaan ataupun yadnya memiliki kualitas yang baik.
Berbicara
masalah konsep upacara dalam kaitannya hubungan manusia dengan Tuhan tapa brata
juga termasuk kedalam hubungan manusia dengan pencipta. Adapun kutipannya
sebagai berikut:
“hana ta swargga kadulu swargga putih hanéng purwwa
merunya atumpang sangā. Atepnya salaka putih alas laléyan salaka maulap-ulap
sarwa putih Iswara pada iku kahyangan Iswara iku ulian sang tapa brata”(Bagus
Dyarsa, 8a)
Terjemahannya:
‘ada sorga putih
yang dilihatnya yang berada di timur, berisi meru tingkat sembilan, beratapkan
selaka berwarna putih, beralaskan permadani selaka berwarna putih, serta berisi ulap ulap berwarna
putih, itulah istana jagat Iswara, sebagai istanannya dewa Iswara, sebagai
wujud keteguhan sang tapa
melaksanakan tapa brata’.
Dari
kutipan diatas jelas bahwa manusia hendaknya melakukan tapa brata untuk
memperoleh sorga menurut Titib, (1996: 448) menyatakan bahwa Brata atau Vrata adalah janji dengan sungguh-sungguh dengan melaksanakan
disiplin atau latihan rohani tertentu. Brata
dapat diartikan disiplin tertentu. Seseorang yang melaksanakan brata akan memperoleh penyucian diri (diksa). Brata harus dilandasi dengan Sraddha
(keimanan) yang mantap. Keberadaan Tuhan yang maha esa dapat dirasakan melaui brata, dan dengan tapa seseorang mencapai sorga. Dengan demikian hendaknya umat Hindu
melaksanakan tapa brata agar mampu untuk mencapai sorga
dengan mencapai sorga maka kelahiran berikutnya seseorang akan mendapatkan
kehidupan yang jauh lebih baik dari kelahiran sebelumnya
4.4. Makna Filosofis Ajaran Siwaistis Dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Berbicara mengenai makna yang terkendung dalam
Teks Tutur Bagus Dyarsa tidak
terlepas dari pengertian makna itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Kedua (1994) yang dimaksud dengan makna adalah sebagai berikut: (1) arti;
(2) Maksud pembicaraan atau penulis; (3) pengertian yang diberikan kepada
bentuk kebahasaan. Selanjutnya Menurut Sutrisno (dalam
Suwita, 2005 : 34) memaparkan tentang makna yaitu sebuah kata atau maksud yang
terkandung dalam sesuatu hal. Sementara itu filosofis atau filsafat yang
digunakan kajian dalam penelitian ini menurut Achmadi, (2008: 1) menyatakan
bahwa filsafat berasal dari kata Yunani yaitu filosofia, berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Secara etimologi
istilah filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia yaitu dari kata philein
yang berarti mencintai dan Sophia
yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat dapat diartikan sebagai cinta
kebijaksanaan. Cinta kebijaksanaan yang dimaksud adalah hakekat. Hakekat
merupakan kebenaran yang benar-benar ada, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
hakekat memiliki pengertian intisari atau dasar. Sejalan dengan pengertian
hakekat tersebut diatas bahwa filsafat merupakan studi tentang seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep
mendasar.
Berdasarkan
hal tersebut diatas bahwa untuk mendapatkan kebenaran yang benar-benar ada atau
mendapatkan suatu hakekat manusia perlu untuk berfilsafat, karena filsafat dan
hakekat memiliki pengertian yang sejalan. Secara umum filsafat diklasifikasikan
kedalam tiga jenis, yaitu epistemologi (filsafat pengetahuan), aksiologi
(filsafat nilai) dan ontologi (filsafat tentang eksistensi atau keberadaan).
Berdasarkan
pengertian makna dan filosofis diatas bahwa makna merupakan sebuah arti atau
maksud yang terkandung dalam suatu hal.
Dan filosofis memiliki pengertian sama dengan hakekat yakni kebenaran yang
benar-benar ada. Terkait dengan
penelitian ini kata makna filosofis dimaksudkan untuk membahas lebih dalam
mengenai makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Siwaistis dalam teks Tutur
Bagus Dyarsa. Adapun makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Siwaistis dalam teks Tutur Bagus Dyarsa sebagai berikut:
4.4.1 Hakekat Estetika dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
Hakekat
merupakan kebenaran yang benar-benar ada sementara itu, estetika merupakan
salah satu cabang filsafat yang membahas keindahan. Estetika merupakan ilmu membahas bagaimana
keindahan itu terbentuk, dan bagaimana supaya dapat merasakannya. Estetika
berasal dari bahasa Yunani dari kata aesthetis
yang berarti perasaan atau sesitivitas. Keindahan memang erat sekali
hubungannya dengan selera, perasaan dan dalam bahasa Jerman disebut gescemack
dan dalam bahasa Inggris disebut sence
yang artinya segala pemikiran filosofis tentang seni. Terkait dengan penelitian
ini estetika merupakan segala hal yang menyangkut keindahan yang ada pada
pandangan seseorang. Pandangan itu sendiri dapat dianggap sebagai sesuatu yang
bersifat relative dan tidak bisa dipastikan sama. Tetapi didalamnya terdapat
dua nilai yang penting yang perlu untuk diketahui nilai tersebut yaitu nilai
interinsik dan nilai ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang terkandung
dari dalam suatu kenindahan, artinya nilai intrinsik biasanya dapat dirasakan
dari dalam hati oleh penikmat atau penerimanya, sendangkan nilai nilai
ekstrinsik adalah nilai yang terlihat dari luar yang dapat dinilai secara
langsung secara kasat mata.
Pada teks
Tutur Bagus Dyarsa nilai ekstrinsik
dapat dilihat dari segi bentuk lontar,
tulisan, maupun tempat penyimpanan Lontar
Bagus Dyarsa. sedangkan nilai intrinsik menilai tentang hakekat yang
terkandung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa
yang dapat diterima oleh pembaca sehingga pembaca akan mengerti alur daripada
teks Tutur Bagus Dyarsa. dari
pengertian tentang estetika diatas maka pesan yang ingin disampaikan oleh
penulis teks Tutur Bagus Dyarsa
kepada pembaca adalah bahwa penulis ingin memperkenalkan ajaran Siwaistis yang terkandung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa. adapun ajaran-ajaran
Siwaistis yang terdapat dalam teks Tutur Bagus Dyarsa dapat dipaparkan
sebagai berikut:
“Kai maang iba syap aukud ento gocék iba awanan
ibané molih suka wiryya tur agung ngentinin I gusti agung apan ento musuh iba
kranan ibané rutrut ento ngupayang iba gusti mangabletang panjak”. “Duryan yén
iba suba agung salinin bikasé eda nganggon daya piranti mamotoh iba suud to
makada kasalimur sagatin-gatin gawéné katungkul bān tuyuh rāga wisaya makejang
eda mangraketang di manah” (Bagus Dyarsa, 21a-21b)
Terjemahannya:
‘Aku akan
memberimu ayam satu ekor, lalu adu lah ayam itu sehingga kamu akan memperoleh
kemenangan dan kesuksesan kamu akan menjadi raja menggantikan I Gusti
agung sebab itu adalah musuhmu sebab dia
adalah raja yang suka sekali membuat penderitaan rakyat. Nanti kelak jika kamu sudah
menjadi raja maka rubahlah kebiasaan burukmu janganlah memakai alasan untuk
berjudi. giatlah untuk bekerja jangan lagi kamu dibutakan oleh kesenangan
dirimu sendiri’.
Berbicara masalah hakekat estetika yang ditinjau
dari sudut pandang nilai intrinsik bahwa pesan-pesan yang ingin disampaikan
penulis teks Tutur Bagus Dyarsa kepada
pembaca sehingga pembaca mampu untuk memahami pesan yang ingin disampaikannya.
Dari kutipan diatas bahwa teks Tutur
Bagus Dyarsa merupakan teks berpaham Siwaisme
adapun ajaran–ajaran yang ingin disampikan kepada pembaca yaitu manusia harus
mampu mengendalikan diri terutama mengendalikan pikiran, karena pikiranlah yang
sifatnya liar yang akan berpengaruh terhadap indra-indra yang lainnya. Dalam
teks Tutur Bagus Dyarsa juga banyak
dijelaskan mengenai konsep kepemimpinan seorang raja yang bijaksana adalah seorang
raja yang menguasai sastra sebagai tameng yang paling kuat untuk negaranya,
mampu untuk mengayomi rakayat dan mendengarkan aspirasi rakyat
Seorang pemimpin dalam teks Tutur Bagus Dyarsa diibaratkan sebagai seorang pengembala sapi,
pengemabala tersebut akan terlihat bodaoh apabila membiarkan sapi-sapi
peliharaanya menuju ladang kering dan tandus, sebaliknya pengembala yang baik
akan menggiring sapi-sapi peliharannya untuk menuju ladang yang subur dan
hijau, sehingga sapi-sapi akan cepat bertumbuh besar dan kuat. Dengan demikian
tiada seorang pua yang akan berani untuk menggangunya. Sama halnya dengan
seorang pemimpin suatu negara, bahwa pemimpin tersebut akan terlihat bodoh dan
akan ditertawakan oleh pemimpin-pemimpin negara tetangga apabila seorang pemimpin
menyengsarakan rakyatnya dengan kebijakan-kebijakannya sehingga rakyat akan
mengalami suatu penderitaan. Demikian juga sebaliknya pemimpin akan terlihat
baik jika mampu untuk memberikan kesejahtraan rakyat sehingga negara tersebut
akan berkembang kearah yang lebih maju.
Konsep kepemimpinan dalam teks Tutur Bagus Dyarsa diatas jika di hubungkan kedalam diri individu
maka setiap individu memiliki kewajiaban dalam memimpin diri. Memimpin diri
yang dimaksud adalah manusia harus mampu mengedalikan diri dengan mempelajari
sastra sebagai sumber pengetahuan. Memimpin diri juga dapat diartika menguasai
pikiran yang memiliki sifat liar dan mampu untuk mengendalikannya.
Terkendalinya pikiran akan mampu untuk menghindari prilaku-prilaku yang
bersifat negatif. Demikian sebaliknya seorang individu akan hancur apabila
tidak mampu untuk mengendalikan pikirannya, pikiran yang menguasai diri
seseorang maka akan menjadi budak oleh pikirannya sendiri, seperti contoh
dibutakan oleh kesenangan berjudi misalnya, dengan mengisi kesenangan saja maka
seseorang akan lupa tujuan hidup sebagai manusia, melupakan kewajiban sebagai
ciptaan Tuhan.
Hakekat estetika ditinjau dari sudut pandang nilai
intrinsik yang terkandung dalam ajaran Siwaistis
dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa
yang ingin disampaikan pengawi (penulis)
kepada pembaca bahwa pengawi (penulis)
lontar Bagus Dyarsa ingin
memperkenalkan ajaran berpaham Siwaistik
melaui teks Tutur Bagus Dyarsa.
wejangan-wejangan Bhatara Guru kepada Bagus Dyarsa yang patut dijadikan pedoman
dalam hidup bahwa manusia harus mampu dalam memimpin diri meguasai pikiran
sehingga tidak dibutakan oleh kesenangan yang bessifat duniawi, dengan
pengendalian diri terutama mengendalikan pikiran seseorang akan terhindar dari
perbuatan-perbuatan yang bersifat negatif. Pengendalian pikiran dapat dilakukan
dengan mengisi pikiran dengan pengetahuan-pengetahuan tentang kebenaran agama. Pernyataan
tersebut didikung pustaka suci Manawa
Dharmasastra V.109 dikutip sebagai berikut:
“Adbhigatrani
suddhayanti manah satyena suddhayanti,
Widyatapobhyam
bhutatma buddhir jnanena cuddhayanti”
Terjemahan:
‘Tubuh
dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan
pelajaran suci dan tapa brata kecardasan dengan pengetahuan yang
benar’
4.4.2 Hakekat Kehidupan
Sosio-politik dalam Teks Tutur Bagus
Dyarsa
Pada
dasarnya dalam kehidupan sehari-hari setiap individu selalu berinteraksi dengan
individu lainnya, baik secara lisan
maupun isyarat. iteraksi itu terjadi karena manusia tidak dapat hidup dengan
sendirinya oleh kerena itu manusia juga disebut makhluk sosial. Kumpulan atau
persatuan individu-individu akan membentuk suatu masyarakat, jadi masyarakat
terbentuk apabila dua orang atau lebih hidup secara bersama-sama, sehingga
timbul berbagai hubungan yang menyebabkan mereka saling mengenal dan
mempengaruhi, dan dalam hubungannya antara individu satu dengan yang lainnya
memiliki suatu politik didalam kebersamaannya. Berbicara masalah politik tidak
selalu membahas mengenai penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, tetapi
politik juga membahas mengenai hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam
hal suatu kepentingan.
Istilah
politk memang selalu dekat dengan istilah kepentingan. Karena didalam politik
selalu terdapat unsur kepentingan. Politik menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dengan kepentingan. Akan tetapi politik tidak sama dengan
kepentingan. jawaban akhir dari suatu politik adalah kepentingan. Dengan
demikian, ajaran Siwaistis dalam Teks
Tutur Bagus Dyarsa memiliki suatu
kepentingan yang terkandung didalamnnya. Adapun kepantingan-kepntingan yang
dimaksud agar seseorang menjadi sadar terhadap diri bahwa semua yang ada di
alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua ajaran-ajaran dituangkan
lewat wejangan-wejangan yang diberikan Bhatara Guru kepada Bagus Dyarsa. Semua
ajaran-ajaran yang diberikan memiliki suatu kepentingan yang bersifat positif,
yaitu menyadarkan seseorang agar selalu berpegang teguh terhadap ajaran agama..
Adapun kepentingan-kepentingan yang dimaksud dapat dipaparkan dalam kutipan berikut:
“Duryan yén iba suba agung salinin bikasé eda
nganggon daya piranti mamotoh iba suud to makada kasalimur sagatin-gatin gawéné
katungkul bān tuyuh rāga wisaya makejang eda mangraketang di manah. Sanghyang
sāstra gulik punduh-punduh resepang di manah susupang teked dyatihapan to
tungked kukuh krana pageh dadi agung sāstra panyuluh idhepé apang eda pati puug
manyalanang kapatutan uger-ugerin bān sāstra. Tingkah panjaké dabdabang malu
eda mbahang gambur alaksananya pariksain eda iju-iju ngugu galih-galihin to
malu apang eda kadunga éwér munyin nyané
malu panut atepang kén laku lampah ento inger apang pedas. Yén katangkil ditu
ngalih unduk di tebeng panjaké eda teka éncong mudalin wangsa-wangsanen ditu
panjaké mahatur-hatur trabang eda nyalumurang né salah tekén né patut to glik
inger di manah mani puan dong karwan. Mamunyi purukin eda sigug maperemin
panjak pipitang teked ka hati tidong bān kamben saput makada panjaké lulut
kapatutan pangrawosé mangda panjaké anut yan mangrasa kaungkulan bān kapatutan
pangrasa. Panjaké eda mambahang lucu lampah pwaranya sama bédané ya gisilyaté
apang patut munyi seken apang alus tata tété ujar ajér sya karana apang patut
apang yatna jeroning manah apang eda banyak acluwag. Yén ada prebekel
mātur-atur eda ngaramangang apang seken bān manampi tatasang ukud-ukud eda
mambahang salah surup simpen ingetang di manah mata bibih cidra ditu yén ada
lāwan tong ada ya manguda twara karuan. Tanding-tanding kalegané ditu kén sakit
panjaké eda ngulaang demen hati asing makrana sungsut ento pikpik eda manglur
panjaké sampi samanyapa ngangon nya anak agung yan patut baan ngangonang ya
mokoh tanduké rénggah. Lanying tajep nyén bani ngejuk ngres ya anaké yén nyapa
yah etuh aking sing jalan padang atub kema laku nyama nyunuk salah tindakan ka
taban apa sih anggon manebus ngenah belogé ngangonang kakedékin bān pisaga.
Rāga wisané eda ngulur eda mangretang eda twara mandemenin apang eda kapilug
katenger bān anak liyu bakat dadi undukinya lamun banya ngelah musuh ento
anggon nyau payanadwang ebé di tukad. Awake daropon belog utun manyaplok baréné
twara tawang misi pancing tulus payu matambus tong ingetang apang kukuh eda
engsap tekén sāstra ida gede sai pundut ajak mangrawosang sāstra mangdé purnna
maning jagat. Apan tatelu dadi pangulu yan umungguing sāstra Sanghyang Ongkāra
kapuji ento dadi pangulu para mas iwānggan ipun yan ring nāgara sang Natha
Saddhasiwa anggan ipun yan ring gunung
sang brāhmana apan to rumaga siwa. To eda embahang belas né tatelu dadi tri
purusa sakala niskala becik” Bagus Dyarsa nuun manyumbah-nyumbah mangatur
sandikan Ida Bhathara sapa wacana Hyang Guru sāmpun sumusuping manah tutug ring
dwa dasa guna” (Bagus Dyarsa, 21a-23a)
Terjemahnnya:
Nanti kelak jika
kamu sudah menjadi raja maka rubahlah kebiasaan burukmu janganlah memakai alasan
untuk berjudi. giatlah untuk bekerja janganlagi kamu dibutakan oleh kesenangan
dirimu sendiri. Pelajarilah kecap sastra
kumpullkanlah lalu resapiklah dalam hatimu itu adalah pedoman yang sangat kuat sebab menjadi seorang raja yang kuat
sastralah sebagai tamengmu. Dan sebagai sinar menerangi jalanmu. Janganlah kamu
merasa ragu untuk menjalankan kebenaran dengan berdasarkan atas sastra dharma.
Segala perbuatan rakyatmu perhatikan jangan mereka di kasi berbuat sembarangan,
periksalah jangan kamu tergesa gesa meyakininya, hendaknya kamu pertimbangkan
dengan matang supaya jangan sampai
terlanjur, segala perkataannya hendaknya kamu resapi supaya sesuai antara
perkataan dengan perbuatannya. Jika kamu nanti didatangi disanalah kamu mencari pengalaman jangan kamu
langsung mengusirnya, perhatikanlah kesejahtraan rakyatmu. disana rakyatmu akan
menghadap dengan bahasa yang benar, terapkanlah agar benar benar baik.
janganlah kamu membela yang benar dan yang salah itu yng patut kamu pikirkan
dihati nanti kamui akan mengerti. Belajar
untuk mengeluarkan kata kata, janganlah kamu berkata kasar terhadap rakyat, dari dalam hatimu sampai
pada yang keluar dari mulutmu. Jangan hanya manis dibungkus oleh kata kata. Yang
nanti menyebabkan rakyatmu akan cinta padamu. perkataanmu supaya meyakinkan
sehingga rakuyatmu merasa di ayomi oleh kebenaran. Rakyatmu janganlah dibiarkan
seenaknya antara perjalanan dan
tujuannya, mampu menjalankan kedudukan yang sama antara rakyatmu, membedakan
yang salah dan benar, itulah yang patut diterapkan agar rakyatmu bisa berbicara
yang benar dan serius serta berbahasa yang halus dan sopan. berhati
hatilah supaya jangan timbul
kecerobohan. Jika ada prebekel yang melapor janganlah kamu tiada
menghiraukannya. Supaya benar benar baik kamu terima, tanyakanlah supaya jelas
satu persatu. Janganlah kamu salah terima
simpan dan ingatlah selalu, mata bibir dan bahasamu disana jika ada
musuh maka semuanya tiada berani melawanmu. Buatlah agar rakyat bahagia dan
perhatikan segala penderitaan rakyatmu jangan kamu mencari kesenanganmu
sendiri, segala yang membuatmu sedih hilangkanlah
sedikit demi sedikit. Sama halnya memelihara kerbau, jika kamu berhasil memberi
mereka makan maka dia akan menjadi besar dan kuat serta mempunyai tanduk yang
kuat dan runcing, maka siapakah yang akan berani untuk menangkapnya. Pasti yang
menangkapnya akan takut. jika ada sapimu yang menuju tempat kering dan tandus
giringlah mereka ke lading yang subur penuh dengan rumput hijau, jika kamu
membiarkannya maka akan terlihat kamu
sangat bodoh untuk menggembala sapi dan di tertawakan oleh orang lain.
segala pikiranmu yang kotor buanglah jangan kamu biarkan dan jangan kamu
kurangi, tetapi kendalikanlah supaya jangan sampai membuat yang lain menderita.
sebab orang banyak akan gampang sekali untuk memperhatikanmu seorang, jika kamu
memiliki musuh itulah yang kamu pakai untuk menangkap sama seperti menjaring
ikan di sungai, orang yang ceroboh lalu memakan umpan tidak tahu berisi pancing sudah tentu kamu
akan di bakar. ingatlah dengan baik, jangan lupa denga sastra. Ida Gede selalu kamu bawa ajaklah membahas sastra supaya mencerahkan jagat sebab ada tiga yang
menjadi pemucuk yang ada di sastra Sang Hyang Ongkara yang utama, itulah yang
menjadi ujung tombak parama siwa beliau, jika pada Negara sang natha sada siwa perwujudan beliau, jika
di gunung sang brahmana sebab beliau
perwujudan siwa. itu janganlah sampai
terpisah ketiga hal itu menjadi Tri
Purusa sekala niskala supaya baik. Sang Bagus Dyarsa menyembah dan berkata hamba akan mengikuti segala
perintahmu. Segala perkataan Bhatara Guru setelah selesai menerima wejangan dan
meresapi dalam hatinya.selesai meresapi ajaran dasa guna.
Dari
kutipan diatas kepentingan-kepentingan yang ingin disampaikan dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa dapat dijelaskan
bahwa setiap pemimpin harus berpengetahuan dalam menata suatu negara, mampu
mengayomi rakyat, tidak menyengsarakan rakyat dan yang paling terpenting adalah
tidak mengisi kesenangannya menjadi sorang pemimpin. Apabila seorang pemimpin
masih dibutakan oleh kesenangan yang bersifat indrawi maka pemimpin tersebut
akan sewenag-wenag terhadap rakyat dan korupsi akan berkembang di negara negara
yang dipimpinnya. Untuk itu pengawi berpolitik
menyebarkan ajaran-ajaran kebenaran kepada seluruh pemimpin di muka bumi ini
agar mampu untuk menjadi pemimpin yang bijaksana. Selanjutnya dalam pustaka sarasamuscaya sloka 129 dijelaskan
tentang satya (kebenaran) sebagai
berikut:
“Na yajna phaladanani niyamatstarayanthi hi, yatha
Atyam param loke purusam purusarshaba.
Nihan ta kattamaning kasatyan, nang yajna, nang
dana, nang brata, kapwa wenang ika megentasaken , sor ika dening kasatyam, ring
kapwa
angentasaken”
Terjemahannya:
‘Keutamaan
kebenaran adalah demikian, yadnya
(pengorbanan), dana (amal sedekah),
maupun brata janji diri (sumpah
batin); semuanya itu dapat membebaskan; akan tetapi masih dikalahkan oleh satya (kebenaran) dalam hal sama-sama
membebaskan diri dari kehidupan di dunia ini’ (Kajeng, dkk, 2003: 103).
Jadi
berdasarkan kutipan tersebut bahwa kebenaran merupakan yang utama dalam hal
pembebasan diri, ajaran-ajaran Bhatara Guru memiliki suatu kebenaran yang patut
untuk dilaksanakan, sehingga pembebasan diri dapat tercapai.
Selain
itu Bagus Dyarsa sebagai tokoh
sentral perlu dijadikan pedoman dalam hidup ini yang mampu mengamalkan semua
ajaran-ajaran dari Bhatara Guru meskipun Bagus Dyarsa adalah seorang pebotoh (pejudi) sehingga Bagus Dyarsa mampu
untuk mencapai moksa dan tidak
mengalami kelahiran kembali sebagai manusia. Bagus Dyarsa memiliki karakter
yang baik mampu untuk melewati semua ujian dari Bhatara Guru sebelum ia
mendapatkan suatu anugrah dari Bhatara Guru. Pengawi ingin memperkenalkan ajaran-ajaran berpaham Siwaistis, karena dengan tersebarnya
ajaran-ajran suci tersebut maka tidak akan ada penderitaan di dunia dan manusia
akan menyadari sepenuhnya siapa dirinya yang sebenarnya. Tuhan Yang Maha Esa
tidak pernah membedakan umatnya, semuanya manusia dapat menyatu denganNya dan
terbebas dari ikatan duniawi sehingga terlepas dari kelahiran berulang kedunia,
semua itu tergantung pada diri dari masing-masing individu, seberapa besar
seseorang tersebut menyadari jati dirinya sebagai manusia. seperti contohnya
Bagus Dyarsa yang dikenal sebagai pejudi, tetapi dirinya mampu untuk
mengamalkan dengan baik setiap ajaran yang diberikan oleh Bhatara Guru, hal
tersebut sesungguhnya patut untuk dijadikan pedoman dalam menjalani hidup ini. Sesungguhnya
nilai-nilai yang terkandung dalam teks Tutur
Bagus Dyarsa sangat relevan apabila dijalankan dalam kehidupan masa kini. Dari
pembahasan diatas bahwa sesungguhnya pengarang ataupun pengawi teks Tutur Bagus
Dyarsa memiliki kepentingan untuk memperkenalkan ajaran Siwaistis kepada masyarakat. Dengan
berkembangnya ajaran suci tersebut maka akan tercapai suatu tujuan yaitu
tercapainya suatu pemahaman ajaran Siwaistis
dalam teks Tutur Bagus Dyarsa di
masyarakat.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Simpulan
Berdasarkan
analisis data yang ada dari uraian bab terdahulu maka dapat disimpulkan
beberapa simpulan dalam pembahasan ini sebagai berikut:
1.
Eksistensi ajaran Siwaistis dalam Teks Tutur
Bagus Dyarsa dapat terlihat ketika Bhatara Guru turun kedunia dan menjelma
sebagai pengemis untuk menguji Bagus
Dyarsa dan memberikan pencerahan kepadanya, bahwa menjadi manusia di dunia
supaya tidak dibutakan oleh kesenagan diniawi. Tujuan hidup umat Hindu adalah
mencapai pembebasan yaitu menyatunya Atman
dengan Brahman. Seperti halnya Bagus Dyarsa yang mampu mejalankan
setiap ajaran yang diberikan oleh Bhatara Guru maka Bagus Dyarsa dapat mencapai suatu kelepasan tanpa lahir kembali
kedunia.
2.
Konsep-konsep
yang terdapat pada ajaran Siwaistis dalam
teks Tutur Bagus Dyarsa yaitu
meliputi konsep tattwa, etika dan
upacara. Ketiga konsep tersebut sangat berkaitan konsep tattwa yang dimaksud adalah ajaran tentang kebenaran bahwa
seseorang hendaknya meyakini adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini,
konsep etika yang dimaksud adalah tingkah laku baik ataupun buruk yang akan
berpengaruh terhadap kehidupan selanjutnya. Konsep upacara yang dimaksud adalah
hubungan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta.
3.
Adapun makna yang terkandung dalam teks Tutur Bagus Dyarsa yaitu hakekat
estetika dan hakekat kehidupan sosio-politik. Hakekat estetika jika dipandang
dari nilai intrinsik suatu karya sastra bahwa pengawi ingin menyampaikan kepada pembaca, dengan mempelajari
ajaran ketuhanan khususnya ajaran Siwaistis
dalam Teks Tutur Bagus Dyarsa maka akan terwujud suatu pemahaman di
masyarakat mengenai teks Tutur Bagus
Dyarsa dan apabila mampu untuk menjalankannya maka kebahagian semasa hidup
dan setelah kehidupan akan tercapai. Hakekat
kehidupan sosio-politik yang dimaksud adalah seseorang yang masih menjalani
kehidupan didunia agar berpedoman pada perjalanan hidup Bagus Dyarsa, Bagus Dyarsa adalah seorang pejudi yang mampu
mencapai suatu kelepasan tanpa terlahir kedunia sebagai manusia.
5.2 Saran
1.
Teks Tutur
Bagus Dyarsa ini perlu untuk dilestarikan, dipelajari, dipahami dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, mengingat makna-makna yang
terkandung didalamnya sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam menjalani
hidup.
2.
Kepada para peneliti agar menjadikan
karya sastra sebagai objek penelitian, karena dalam karya sastra terdapat
makna-makna yang perlu dikaji sehingga mampu untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat.
3.
Kepada pemeritah dan lembaga-lembaga
Hindu diharapkan memberikan dukungan dan fasilitas sehingga generasi muda Hindu
tertarik untuk mempelajari naskah-naskah kuno, sehingga warisan budaya tetap
terjaga dan tidak punah.
4.
Kepada masyarakat agar mempelajari lebih
dalam karya sastra klasik berupa lontar,
karena karya sastra klasik berupa lontar
merupakan ilmu pengetahuan yang bersumber dari kitab suci Veda.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi,
Asmoro. 2008. Filsafat Umum. Jakarta:
PT RajaGrafindo.
Afriadi, Dewa Nyoman. 2008. Eksistensi dan Efektivitas Sistem Banjar Suka Duka Pada Masyarakat
Hindu Etnis Bali di Luar Bali. Surabaya: Paramita
Ashshofa,
Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Atmaja,
Jiwa. 1988. Masyarakat dan Sastra.
Denpasar: Himsa
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Bagus,
Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bakhtiar,
Amsal. 2012. Filsafat Ilmu Edisi Revisi.
Jakarta: Rajawali Pers
Daryono. 1997. Kamus
Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apolo
Djajasudarma, Fatimah, T. 1993. Sematik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT Refika Aditama.
Duani, Ni
Made. 2013. Makna Filosofis yang Terkandung Dalam Gaguritan Jambanegara. (Skripsi).
Denpasar: IHDN Denpasar.
Endra Wirawan, I Komang. 2013. (Skripsi). Teks Bhisma
Para Leluhur Pasek Maha Gotra Pasek Sanak
Sapta Rsi (Kajian Aksiologi).
Denpasar: IHDN
Esten, Mursal.
1984. Kristik Sastra Indonesia.
Padang: Angkasa Raya.
Gulo.
W. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Hadi, Sutrisno.
1983. Metodologi Research 1.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Hamidi.
2005 Penelitian Kualitatif. Surabaya:
Paramita
James, A. Black
dan Dean J. Champion, 1999. Metode dan
Masalah Penenlitian Sosial. Bandung: Refika Aditama
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang
Filsafat. Yogyakarta: Pradigma
Kattsoft, Luis
O. 2004. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga
Knapp, Stephen,
dkk. 2005. Hindu Agama Terbesar di Dunia
(Hinduism, the Greatest Religion in the World). Denpasar: Media Hindu
Maswinara, I
Wayan. 2003. Sistem Filsafat Hindu (Sarva
Darsana Samgraha). Surabaya : Paramita
Masyuri dan
Zainuddin. 2008. Metodologi Penelitian
Pendekatan Praktis dan Aplikatif. Bandung: PT Refika Aditama.
Montana, Ayu Febry. 2013. (Skripsi). Kajian Filosofis Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Nilacandra. Denpasar: IHDN
Muhadjir, Noeng.
1998. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Rake Sarasin
Mukajir.
1994. Metode Penelitian. Bandung:
IKIP Bandung.
Nurgiantoro.
2000. Teori Pengkajian Fiksi. Jakarta:
Gajah Mada University press.
Pals, Daniel L.
2001. The Seven Theories of Religion. Terjemahan,
Ali Noerjaman. Yogyakarta: Qalam
Panuti,
Sudjiman. 1986. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: PT Gramedia
Panya, I Wayan.
2007. (Skripsi). Makna Ajaran Kalepasan Ditinjau Dari Lontar Tutur Angkus Prana. Denpasar:
IHDN.
Poerwadarminta,
WJS, 1984 a. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika
Poerwadarminta,
WJS, 1984 b. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Poniman. 2012. (Artikel). Konsep Wiku Sejati Dalam Teks
Tattwa Dhangdhang Bang Bunghalan. (Sanjiwani
Jurnal filsafat). Denpasar: IHDN
Rahmat, Aceng, dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tehnik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Belajar
Riduwan.
2004. Metode dan Tehnik Penyusunan Tesis.
Bandung: Alfa Beta
Sara Sastra,
Gede. 2005. Konsepsi Monotheisme dalam
Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Sivananda, Sri
Swami. 2007. Tuhan Siwa dan Pemujannya.Surabaya:
Paramita
Suci Hartini, I
Wayani. 2011. (Skripsi) Nilai
Pendidikan Agama Hindu Dalam Geguritan
Prasthanika Parwa. Denpasar : IHDN.
Sudarsono.
2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta
Rineka Cipta
Sugiyono. 2009. Metode Penenlitian Kuantitatif Kualitatif
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suharianto, S.
1982. Dasar-dasar Teori Sastra.
Jakarta: Widya Duta.
Suharto, dan
Iryanto. 1996. Kamus Bahasa Indonesia
Lengkap. Surabaya: Indah
Sukada. 1982. Masalah Sistimasi Analisis Cipta Sastra
Prosa. Denpasar: Lembaga Penelitian Dokumentasi dan Publikasi Fakultas
Sastra Unud.
Sukada. 1987.
Pembinaan Krotik Sastra Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Surajio. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Suriasumantri,
Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif
moral, Sosial dan Politik. Jakarta: Gramedia
Suriasumantri,
Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujun S. 1991. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia
Suweta, I Made,
2012. (Artikel) “Kajian Ringkas Nilai
Filsafat Hindu Dalam Lontar Tutur Siwagama”. Denpasar: IHDN
Suwita. 2005. Nilai-nilai
Pendidikan Kerohanian Dalam Lontar Tutur Purna Candra. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Tarigan, Hendri
Guntur. 1984. Prinsip-prinsip dasar sastra. Bandung: Angkasa
Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra (Pengantar Teori
Sastra). Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Kajian Teks
dan Terjemahan. 1995. Wrhaspati Tattwa. Denpasar:
Upada Sastra
Tim
Penyusun. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya:
Paramita
Tim
Penyusun.1978. Kamus Bali Indonesia. Denpasar:
Dinas Pengajaran Propinsi Bali
Titib, I Made.
2001. Teologi dan Simbol-simbol dalam
Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Titib. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu.
Surabaya: Paramita.
Triguna, IB
Yudha. 2000. “Perubahan Sosial dan Respon Kultural Masyarakat Hindu Bali, Widya
Satya”. Singaraja: Jurnal Kajian Hindu
Budaya dan Pembangunan STIE Satya Dharma.
Usman, Husaini
dan Purnomo Setiady Akbar. 2003. Metodologi Penenlitian Sosial. Jakarta:
Bumi Aksara.
Watra, Wayan.
dkk. 2007. Pandangan Filosofis Etika dan
Upakara dalam Siwaratri Di Era Modrn. Surabaya: Paramita
Wiana,
I Ketut. 2004. Mengapa Bali disebut
Bali?. Surabaya: Paramita
Widya Sena, I
Gusti Made. 2013. (Artikel).“Belajar Mengenal Siva dan Segala Aspeknya (Perspektif
Filsafat Siva Siddhanta)” Sanjiwani
Filsafat volume 7 IHDN Denpasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar