Pages

Selasa, 04 November 2014

EKSISTENSIALISME & HUMANISME

PENDAHULUAN
 Lahirnya filsafat memberikan dampak positif bagi perkembangan ilmu di dunia, filsafat mampu menggali doktrin-doktrin yang bersifat dogmatik ke arah yang lebih rasional sehingga masayrakat mampu menerima hal-hal tersebut. Lahirnya filsafat tidak terlepas dari kekangan gereja pada jaman dahulu, dimana kekuasaan pemerintahan tunduk kepada gereja, semua ajaran bersumber dari wahyu tuhan yang tidak dapat di ganggu gugat, siapa yang menentang berarti menentang tuhan. Seiring perkembangan jaman, manusia jenuh akan hal tersebut semuanya diatur oleh kekangan gereja, sehingga muncul tokoh-tokoh pemikir pada waktu itu yang berani mengemukakan pendapant dan pandangan mereka yang bertentangan dengan pandangan gerej. Para pemikir pada waktu itu tidak sedikit yang dikenakan hukuman mati oleh kaum gereja, karena telah dianggap menentang tuhan. Filsafat dimulai dengan rasa ingin tahu dan keragu-raguan menurut Suriasumantri (1990 : 19) menyatakan bahwa berfilsafat berarti berendah hati bahwa tifdak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. jadi jelas bahwa alam semesta yang begitu besar masih banyak menyimpan berbagai misteri yang belum terjamah oleh manusia. Filsafat adalah proses memburu kebenaran dari hakekat seluruh realitas dan setiap hal yang dipermasalahkan. Oleh sebab itu, berfilsafat adalah memburu kebenaran tettang segala sesuatu. Kegiatan memburu kebenaran tersebut harus dilakukan secara kritis, terbuka, toleran, ditinjau dari berbagai sudut pandang tanpa prasangka, bebas dari mitos dan legenda ( Tim Penyusun, 2010 : 107). Seiring berkembangnya ilmu filsafat masyarakat sudah mulai berfikir menggunakan rasio mereka, tidak percaya lagi dengan adanya dogma-dogma sehingga filsafat melahirkan banyak aliran sepeti yang akan dibahas pada makalah ini yaitu eksistensialisme dan humanisme, aliran filsafat ini memberikan ciri khas tersendiri, seperti pendapat para tokoh-tokoh aliran ini yaitu Nietzshe, Sorean Kierkegaard dan Sartre, yang sangat menarik apabila di diskusikan.
PEMBAHASAN
Humanisme dan Eksistensialisme 
Istilah humanisme berasal dari humanitas, yang berarti pendidikan manusia. dalam bahasa Yunani disebut paideia. Kata ini populer pada masa Cirero dan Varro. Adapun humanisme pada pertengahan abad ke-14 M adalah gerakan filsafat yang timbul di Italia dan kemudian berkembang ke seluruh Eropa. Humanisme menegasakan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. Kebesaran manusia harus dihidupkan kembali, yang selama ini terkubur pada abad pertengahan. Oleh karena itu, warisan filsafat klasik harus dihidupakan dan warisan abad pertengahan ditinggalkan. Kebebasan manusia adalah salah satu tema pokok humanisme. Pico adalah salah seorang tokoh humanisme berkata, “ Manusia dianugrahi kebebbasan memilih oleh Tuhan dan menjadikannya pusat perhatian dunia. Dengan posisi itu dia bebas memandang dan memilih yang terbaik”. Valla, salah seorang tokoh huamnisme, menolak superioritas agama atas manusia. manusia menurut Valla, berhak menjadi dirinya dan sekaligus mennetukan nasibnya. Tujuan manusia adalah menikmati dunia dan bersenang-senang. Humanisme pada awalnya tidak anti agama. Humanisme ingin mengurangi peran intuisi gereja dan kerajaan yang begitu besar, sehingga manusia sebagai mahluk Tuhan kehilangan kebebasannya. Humanisme pada awal Renaisance berbeda dengan humanisme abad ke 19 dan ke-20, kendati dalam beberapa hal ada kesamaanya. Humanisme waktu itu bertujuan untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan alamiah manusia. pada waktu itu para humanis tidak menyangkal adanya Zat Yang Maha Tinggi. Haya saj mereka berpendapat bahwa hal-hal yang alamiah dalam diri manusia telah memiliki nilai cukup untuk dijadikan sasaran pengenalan manusia. tanpa wahyu pun, seseorang mampu berkarya dengan baik dan sempurna. Setelah beberapa abad kemudian, baru muncul gerakan humanisme yang melepaskan segala hal yang berkaitan dengan Tuhan dan akhirat dan hanya menerima hidup di dunia ini seperti apa adanya. Puncak perkembangan humanisme adalah eksistensialisme di Jerman, abad ke-19. Eksistensialisme mengakui bahwa eksistensi mendahului esensi (harkat). Sebagaimana Marxisme, eksistensialisme mengutamakan manusia sebagai individu yang bebas dan menghilangkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Kendati kedua paham tersebut mengutamakan manusia, Marxime mengutamakan perbaikan manusia dari segi sosial, sedangkan eksistensialisme mengutamakan kemajuan dan perbaikan pribadi. Eksistensialisme yang ekstrem tidak hanya sampai pada ketidakpercayaan kepada Tuhan, bahkan menyerang Tuhan, Nietzsche, salah seorang seorang tokoh eksistensialisme dengan lantang mengatakan bahwa Tuhan telah mati dan terkubur. Karena itu, para penganut agama tidak perlu lagi takut akan dosa. Berbeda dengan Nietzsche, Soren Kierkegaard masih mengakui keberadaan Tuhan, bahkan pencak petualangan pemikirannya berakhir pada Zat Yang Mutlak, yaitu Tuhanbaginya adalah tempat untuk menyerahkan segala kesejatian dan hidupnya. Pendapat Para Tokoh Humanisme dan Eksistensialisme Soren Abye Kierkegaard, salah seorang pelopor eksistensialisme, menekankan pembahasaannya pada individu yang otonaom dan menolak segala bentuk pengelompokan masyarakat. Dia menyatakan bahwa masyarakat, terutama opini yang dibentuk lewat pers, sangat berbahaya karena dengan opini itu eksistensi manusia hilang. Kierkegaard lebih lanjut mengatakan bahwa public adalah kekuatan yang paling berbahaya sebab orang bisa berpidato kepada seluruh bangsa atas nama public. Namun, public kurang artinya dibandingkan dengan seorang manusia tunggal, betapa pun ia tidak penting. Untuk itu, Kierkegaard meningkatkan kita pada kenyataan bahwa orang sering kali berusaha untuk diperhitungkan dengan jalan menggabungkan diri dalam kelompok-kelompok atau menggalang kekuatan dengan mengumpulkan tanda tangan. Ini sutu bukti bahwa orang-orang tersebut tidak mampu untuk tampil sendiri secara berarti; mereka ini adalah orang-orang yang lemah. Menagndalkan diri pada kekuatan numerik belaka adalah kelemahan etis, kata Kierkegaard. “Bukanlah dua puluh lima tanda tangan baisa menjadikan suatu ketotolan yang mengerikan berubah menjadi opini umum?” Tandas Kiekegaard. Tekanan pada pribadi sanagat menonjol dalam pemikiran Kiekegaard, sehingga dia dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan eksistensialisme dengan tepat. Tokoh-tokoh berikutnya, seperti Nietzsche dan Sartre, tidak lepas dari dasar ini. Perbedaan Kierkegaard dengan pelanjutnya adalah akhir petualangan pemikiran mereka. Kendati sama-sama berangkat untuk menonjolakan individu yang bebas, Kierkegaard tidak terjerumus pada atheisme, bahkan dia seorang yang percaya kepada tuhan. Nietzsche, tidak saja menolak wujud Tuhan, tetapi juga menyerang Tuhan. Dengan mematikan Tuhan, demikian Nietzsche, manusia baru bisa bebas bebuat dan bertindak. Sebab, selama ia masih didukung oleh niali-nilai agama, seperti phala dan dosa. Sekarang Tuhan sudah mati dan terkubur, oleh karena itu, manusia tidak usah takut lagi dengan dosa. Dia bebas untuk menentukan nasibnya dan menjadi manusai super. Manusia super, demikian Nietzsche, adalah tujuan manusia yang sempurna, lawannya adalah manusia budak yang tidak memiliki ambisi. Kebajiakn yang utama adalah kekuatan, yang kuatlah yang menang dan segala yang baik harus kuat. Sebaliknya, yang lemah pasti yang buruk. Perang, menurutnya adalah gejala yang wajar untuk menentukan siapa yang terkuat dari berbagai bangsa. Menurut Nietzsche, pikiran-pikiran tentang persamaan derajat manusia atau antar bangsa adalah mustahil dan bertentangan denga kodrat alam. Manusia, demikianlah Nietzsche, harus dilihat dalam konteks yang selalu berbeda dengan yang lain. Adanya usaha untuk menyamakan manusia, seperti demokrasi sebaenarnya menentang kodrat alam tentang diferensiasi. Manusia secara kodrati memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Adapun demokrasi menggembor-gemborkan tentang kesamaan hak, padahal yang berteriak-teriak tentang demokrasi adalah orang yang mementingkan diri sendiri dan ingin berbeda dengan yang lain. Menurut Nietzsche, demokrasi adalah prses pembusukan masyarakat dan akhirnya masyarakat itu tidak akan mampu melahirkan pimpinan yang agung. Peradabaan yang tinggi tidak berbentuk datar, tetapi seperti piramida. Piramida hanya bisa bertahan atas suatu landasan yang luas. Syaratnya adalah kekuatan-kekuatan dikonsolidasikan dengan ampuh dan tangguh. Yang terkuat berada puncak piramida. Individu dalam pemikiran Nietzsche, adalah titik sentral dari segala pembahasannya. Dia tidak saja menolak segala bentuk persamaan manusia, baik menurut adat maupun agama. Nilai baik buruk tidak tergantung pada agama atau adat. Nilai baik tergatung pada individu yang bebas. Nietzsche pernah berkata. “aku ajarkan kepada kamu, jadilah manusia agung. Dulu dosa yang terbesar adalah dosa melawan Tuhan. Tetapi Tuhan sudah mati dan bersamaan denga itu matilah pula pendosaan-pendosaan ini”. Jadilah manusia yang agung , seru Nietzsche sebab manusia ibarat samudra yang luas tidak akan luntur olah arus sungai yang kotor. Manusia harus terus menerus melampaui dirinya sendiri dan mencipta. Lagi pula sudah saatnya manusia menentukan nasib dan tujuannya sendiri serta menanam bibit harapan yang seunggul-unggulnya. Nietzsche, sebagaimana tokoh eksistensialis yang lain, berpendapat bahwa suatu kebenaran bernialai kalau kebenaran itu berhasil. Dia merasa tidak tertarik untuk meneliti apakah agama Kristen benar atau palsu sebab yang penting adalah hasilnya. Dia tidak merasa ragu-ragu untuk lebih mnyukai kebohongan dan kepalsuan asalkan hal-hal ini terbukti lebih berhasil dibandingkan dengan kebenaran. Dia berseru, “Saat ini tidak ada gunanya mempersoalkan apakah orang-orang percaya kepada Tuhan atau tidak. Sekarang, Tuhan hanyalah merupakan sautu kata yang tidak berarti, dan bahkan bukan merupakan konsep. Seperti kebnyakan kaum ateis sejak Feuerbach, Nietzsche juga menjelaskan fenomena keagamaan berdasarkan proses proyeksi yang tidak disadari. Manusia, pada saat tertentu, demikian Nietzsche, menjadisadar akan kekuatan yang terpendam dalam dirinya dan kemampuannya untuk mencinta. Karena tidak berani mengatakan bhwa kekuatan dan cinta itu berasal dari dirinya sendiri, manusai menganggap hal-hal tersebut berasal dari suatu mahluk superhuman (gaib) yang berbeda dengan dirinya. dengan demikian, dia membagi dua aspek dari sifatnya sendiri menjadi dua lingkungan. Aspek yang baisa, wajar, dan lemah milik lingkungan yang disebut ‘manusia’: aspek yang aneh dan luar baisadari sifatnya ditempatkan pada lingkungan lain yang disebut Tuhan. Jadi, dengan menjauhkan segala sesuatu yang sempurna dari dirinya sendiri, manusia berarti telah menyia-nyiakan dirinya sendiri. Dengan demikian, agama merupakan suatu proses pencemaran manusia. Agama, menurut Nietzsche, telah merendahkan derajat manusia, akibatnya segala kebaikan, keagungan, kebenaran bersifat superhuman. Untuk membebaskan pikiran manusia dari ide tentang Tuhan, menurut Nietzsche, seorangtidak harus menyalahkan bukti-bukti yang menduga tentang adanya Tuhan. Dia harus menyerang nilai-nilai Kristen yang merendahkan derajat manusia dan menggantikannya dengan nilai yang mulia dan agung. Dengan kemauan yang keras, manusia harus membebasakan dirinya sendiri dari nilai-nili Tuhan yang membebani. Atheisme, di mata Nietzsche, bukanlah suatu masalah spekulatif, tetapi lebih merupakan suatu pengukuhan eksistensial. Untuk menjadi yang benar-benar agunag, demikian Nietzsche, manusai harus gencar mrngumandangkan kematian tuhan. “Kita telah membunuh tuhan”. Tulis Nietzsche dalam suatu ketidak sadaran mistis. “Perbuatan ini terlalu agung bagi kita. Karena itu, tidak perlukah jika sebagai akibat dari tindakan ini, kita sendiri menjadi dewa-dewa? Jerit Nietzscehe.

Demikianlah jalan pikiran Nietzsche mengenai matinya Tuhan. Dengan kematian itu, terbuakalah kesempatan bagi manusia untuk menjulangkan dirinya setinggi-tingginya, yaitu sebagai pencipta. Dengan matinya tuhan, maka nista pula apa yang disebut dpsa. Kebijakan yang utama bagi manusia adalah mencipta. Tokoh eksistensialisme setelah Nietzsche adalah J.P. Sartre abad ke-20. Menurut pengakuannya, dia kehilangan keparcayaan ketika berumur 11 tahun. Tuhan, demikian Sartre, tidak merupakan hal yang snagt jelas bagi dia, sehingga dia menganggap sama sekali tidak ada gunanya untuk menyelidiki dan membuktikan kesalahan argument tradisional dan modern tentang eksistensi Tuhan. Dia menganggap bahwa Tuhan hanya merupakan proyaksi dari jiwa manusia. Hipotesis tentang Tuhan tidak diperlukan untuk mewujudkan dan memahami eksistensi manusia. Baik Tuhan ada atau tidak ada tidak mengubah kondisi nyata manusia, tulis Sartre. Sebab seandainya Tuhan ada, manusia ada sebagi pelindung par excellence, paling sempurna dari tatanan nilai-nilai moral dan rasional yang mapan, Tuhan harus ditolak atas nama kemerdekaan. Alasannya adalah bahwa manusia tidak akan menjadi bebas bila ada suatu tatanan nilai yang absolut dan universal. Kemerdekaan menurut Sartre adalah mutlak dan sekaligus merupakan suatu hukuman, sebagaimana pohon dihukum menjadi pohon, manusia dihukum menjadi bebas. Dibalik kebebasan itu, manusia dituntut bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tanggung jawab itu meliputi kemanusiaan secara umum, sebab dia dituntut memilih berbagai kemungkinan yang tersedia. Di sinilah letaknya seseorang yang memilih diliputi dengan kecemasan atas tanggung jawab. Artinya, dia menemukan kebebasan, tetapi justru kebebasan itu dirasakan sebagi beban yang berat. Tidak adayang dapat meringankan beban ini, termasuk Tuhan. Tuhan demikian Sartre, tidak dapat dimintai tanggung jawab dan tidak bisa dijadikan tempat untuk menggantungkan tanggung jawab. Tuhan tidak terlibat dalam keputusan yang diambil manusia. manusia adalah kebebasan dan hanya sebagai kebebasan ia bisa bertanggung jawab. Ketakutan dan kecemasan merupakan dasar kebebasan dalam pemikiran Sartre. Sartre membedakan antara ketakutan dan kecemasan. Menurutnya, ketakutan memiliki objek, yaitu benda-benda dalam dunia. Adapun kecemasan menyangkut dir sendiri dengan pernyataan bahwa eksistensi seseorang tergantung pada dirinya. sebuah contoh yang diberikan oleh Sartre adalah sebagai berikut “Saya berdiri ditepi jurang yang terjal, ketika menoleh di bawah, saya merasa cemas. Kemudian saya membanyangkan apa yang terjadi pada diri saya bila saya menerjunkan diri saya kedalam jurang tersebut. Terjun atau mundur kebelakang adalah keputusan diri saya sendiri dan saya bertanggung jawab atas keputusan itu. Tidak ada yang memaksa saya untuk menyelamatkan hidup dan tidak ada yang menghalangi saya terjun kedalam jurang. Saya yang bertanggung jawab atas perbuatan saya, saya mengakibatkan kecemasan. Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya seluruh berganting pada saya. Menurutnya, kebebasan manusia tampak dalam kecemasan. Kecemasan menyatakan kebebasan sama seperti rasa muak menyatakan anda. Bagaimana kebebasan berfingsi dalam tingkah laku manusia? untuk menjawab pertnayaan ini Sartre mengatakan bahwa kebebasan manusia bukan merupakan suatu kemampuan juga bukan merupakan suatu sifat kehendak. Kebebasan, demikian Sartre, adalah absolute, dan juga hukuman bagi manusia, kebebasan tidak dapat bertumpu pada sesuatu yang lainselain kebebasan itu sendiri. “Kita tidak bebas untuk bertindak bebas atau tidak. Melarikan diri dari kebebasan juga merupakan salah satu cara untuk merealisaikan kebebasan kita”, ungkap Sartre. Kensepsi tentang kebebasan menjadi salah satu alasan bagi atheisme Sartre. Seandainya Tuhan ada, demikian Sartre, tidak mungkin saya bebas. Tuhan Maha Tahu dan sudah mengetahui segala-galanya sebelum saya melakukan dan Tuhan pulalah yang akan menentukan hukuman moral. Kalau begitu, tidak ada peluang lagi bagi kreativitas dan kebebasan. Tuhan sebagai Ada yang Absolut sama sekali akan memusnahkan kebebasan manusia. Pada dasarnya humanisme dan eksistensialisme mendasari konsep ateisme mereka pada kebebasan manusia. manusia sebagi mahluk tertinggi dibandingkan dengan mahluk lain yang memiliki cara berada yang sama sekali berbeda. Perbedaan itu terletak pada kebebasan bertindak. Baik Nietzsche maupun Sartre sama-sama meletakan manusia sebagai focus sentral dan tertinggi. Segala betuk ketinggian lain yang berbentuk supranatural harus ditolak karena menghalangi kebebasan manusia. Disini yang ditolak oleh para eksistensialisme adalah nilai yang sudah begitu mapan sehingga nilai itu lama kelamaan semakin menjerat kehidupan manusia. instusi gereja diserang oleh kaum eksistensialisme karena gereja terlalu otoriter. Nietzsche meyerang gereja karena gereja terlalu menekankan pada persamaan dan kepasrahan. Padahal kepasrahan dan persamaan adalah bagian dari mental budak dan milik orang-orang yang lemah. Pers dan demokrasi juga dikritik habis-habisan oleh kaum eksistensialisme karena pers dan demokrasi melenyapkan eksistensi individual. Pers demikian Kiekegaard, adalah salah satu penyebab demoralisasi manusia. ketunggalan manusia lenyap dalam opini yang dibuat oleh pers dan lebih gawat lagi, seseorang tidak mampu menyatakan pendapat yang berbeda dengan opini umum itu. Menurut Kierkegaard, per situ tidak ubahnya seperti mesin yang merusak manusia dalam jumlah yang sebesar-besarnya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jati diri manusia menurut eksistensialisme selama ini telah digerogoti oleh agamadan intuisi intuisi yang mapan dan bersifat massif. Untuk mengembalikan jati diri yang asli, manusia harus membebaskan diri dari semua keterikatan tersebut. Dengan demikian, kaum eksistensialisme tidak saja anti agama, tetapi anti nilai-nilai yang mapan. Lahirnya eksistensialisme tidak dapat dilepaskan dari situasi Eropa pada waktu itu, yaitu mulai abad pencerahan dan munculnya proses massifikasi oleh berbagai intuisi, baik agama maupun negara. Pemikiran radikal tentang manusia ini tidak lain adalah reaksi atas titik ekstrem yang terjadi pada waktu itu. Titik ekstreem tersebut, seperti keabsolutan nilai, opini umum, dan hilanganya ketunggalan manusai, dalam kelompok yang direkayasa. Jadi eksistensialisme tidak hanya sebagai pemikiran filsafat yang murni, tetapi juga reaksi atas kejadian intuisi yang begitu mapan. Eksistensialisme tidak perlu dikhawatirkan oleh kaum agama dikawasan lian karena situasinya berbeda. Yang perlu diwaspadai adalah apabila suatu suatu pemikiran atau nialai terlalu diabsolutkan, maka reaksi akan muncul dari berbagai pihak,. Tuhan dibunuh oleh Nietzsche adalah tuhan ‘akibat’ bukan Tuhan ‘sebab’. Tuhan sebagai pencipta alam tidak disinggung olehnya karena memang tidak mendatangkan hasil bagi kehidupan. Yang ditentangnya adalah tuhan orang Eropa yang menyengsarakan rakyat, dan menjadikan rakyat penurut dan penakut. Seandainya ada Tuhan yang sesuai dengan ide Nietzsche, tentu dia mengakuainya. Dan untuk itu dia memang menciptakan tuhan sendiri yang bernama Zarathustra, yaitu dirinya sendiri.
PENUTUP 
Simpulan
Istilah humanisme berasal dari humanitas, yang berarti pendidikan manusia. dalam bahasa Yunani disebut paideia. Kata ini populer pada masa Cirero dan Varro. Adapun humanisme pada pertengahan abad ke-14 M adalah gerakan filsafat yang timbul di Italia dan kemudian berkembang ke seluruh Eropa. Humanisme menegasakan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. Kebesaran manusia harus dihidupkan kembali, yang selama ini terkubur pada abad pertengahan. Puncak perkembangan humanisme adalah eksistensialisme di Jerman, abad ke-19. Eksistensialisme mengakui bahwa eksistensi mendahului esensi (harkat). Sebagaimana Marxisme, eksistensialisme mengutamakan manusia sebagai individu yang bebas dan menghilangkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Eksistensialisme tidak perlu dikhawatirkan oleh kaum agama dikawasan lian karena situasinya berbeda. Yang perlu diwaspadai adalah apabila suatu suatu pemikiran atau nialai terlalu diabsolutkan, maka reaksi akan muncul dari berbagai pihak,. Tuhan dibunuh oleh Nietzsche adalah tuhan ‘akibat’ bukan Tuhan ‘sebab’. Tuhan sebagai pencipta alam tidak disinggung olehnya karena memang tidak mendatangkan hasil bagi kehidupan. Yang ditentangnya adalah tuhan orang Eropa yang menyengsarakan rakyat, dan menjadikan rakyat penurut dan penakut. Seandainya ada Tuhan yang sesuai dengan ide Nietzsche, tentu dia mengakuainya. Dan untuk itu dia memang menciptakan tuhan sendiri yang bernama Zarathustra, yaitu dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA 
Bhaktiar, Amsal, Prof. Dr. 2007. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 
Suriasumatri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Tim Penyusun. 2010. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta : Kencana Perdana Media Group.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar